part 1
Malam itu...di rumah sakit Tiffa sedang menyelesaikan giliran malamnya, mengenakan seragam putih yang mulai basah oleh keringat, tangan nya cekatan memeriksa tanda vital pasien, sementara fikiran nya tetap fokus pada prosedur. Pekerjaan sebagai dokter selalu menuntun fokus dan ketenangan, - tapi malam itu ketenangan Tiffa akan segera terguncang.
Telepon genggamnya bergetar di saku, ia menoleh.. melihat layar menyala nomor ibunya terpampang di layar panggilan.. Tiffa berhenti sejenak, ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menyeruak di hatinya. Ia segera menyelesaikan pekerjaan nya dan berlalu keluar ruangan untuk mengangkat telpon.
"Ada apa Ma? " Ucap nya pelan.
Tapi Di ujung telepon suara ibunya terdengar bergetar, seperti mencoba menahan tangis.
"Tiffa..." Panggilan akrab ibunya.. perasaan Tiffa semakin tidak enak tapi ia tetap mencoba tenang. Mendengarkan ibunya selesai bicara.
"papamu sekarang berada di rumah sakit CENDANA, masuk ke ruang ICU dokter bilang keadaan nya kritis, "
Sejenak Tiffa merasa dunia nya berhenti berputar dan jantung nya berhenti berdetak, nafasnya tertahan.
"Apa... Apa yang terjadi ma?!"
"mama juga tidak tahu,, tiba tiba saja asisten kantor nya menghubungi mama dan.. papamu sudah berada di rumah sakit.."
Suara ibunya terdengar semakin bergetar, ada Isak tangis disana..
Tiffa tidak sempat lagi memikirkan hal lain.. yang ada di fikiran nya saat ini adalah ayahnya.
"mama tunggu saja..aku kesana sekarang."
Dengan langkah tergesa, Tiffa kembali ke ruangan nya menyimpan stetoskop, membuka jas dokter nya dan meraih tas yang tergeletak di samping meja. ia berlari menembus lorong rumah sakit menuju parkiran. Angin malam menampar wajahnya, seakan ikut menyesuaikan Irma hatinya yang kacau.
Di dalam mobil, tangannya gemetar saat menyalakan mesin.. "Tuhan.. kumohon jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi pada papa" bisiknya dalam hati. Air mata tidak terasa menetes di pipi putihnya.
Perjalanan ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat terasa seperti perjalanan tanpa akhir, setiap lampu merah seperti mengulur waktu. Setiap mobil yang melintas seperti mengingatkan nya akan ketidak berdayaan.
Sesampainya di rumah sakit, Tiffa berlari masuk, melewati pintu darurat. Ia berjalan tergesa menuju ruang ICU. Dan di sana - ibunya sedang menunggu di ujung lorong..duduk di kursi dengan mata sembab dan wajah pucat, tanpa kata mereka saling memandang, saling memahami kesedihan yang sama.. kehilangan sosok yang mereka cintai begitu mendalam.
Tiffa duduk disamping ibunya, meraih tangan nya yang dingin, mencoba menenangkan meski hati nya juga terasa sakit.
"Kita berdoa saja semoga papa baik baik saja"
Tak berselang lama seorang pria dengan jas dokternya keluar dari ruangan, Tiffa dan ibunya sontak berdiri menghampiri.
"Bagaimana keadaan nya dokter" suara ibunya memecah rasa kekhawatiran yang tergambar jelas dari wajah nya
"Keadaan Tuan Adam kritis,, serangan jantung mendadak membuat jantung nya berhenti berfungsi. kami berusaha melakukan yang terbaik..." Kata dokter itu lembut..tapi tegas.
Tiffa menelan ludah, dunia di sekeliling terasa hampa, hanya suara detak jantung nya yang terdengar jelas di telinga.. Tiffa dan ibunya masuk ke ruang ICU disana ayahnya terbaring lemah di ranjang, alat bantu pernafasan berderit lembut, jarum infus menempel di tangan nya, monitor jantung berdetak tidak menentu, kadang cepat kadang lambat, Tiffa. menahan nafas setiap kali alarm berbunyi, tangan nya gemetar tapi ia terus memegang tangan ayahnya.
Malam itu teras seperti abadi, setiap detik yang berlalu adalah siksaan, Tiffa berbicara pelan pada ayahnya mengingatkan setiap kenangan manis, saat ayah nya mengajarinya naik sepeda, membacakan buku cerita yang ia suka, menemaninya di setiap langkah..
Namun di sudut hatinya, ia tahu,, dunia bisa berubah dalam satu detik, setiap detak jantung yang tidak stabil adalah pengingat akan ketidakpastian hidup. Yg
Tanpa mereka sadari air mata yang menetes di ujung mata ayahnya, seolah ayah nya mendengar setiap kata yang di ucapkan Tiffa,, mengingat setiap momen bersama putri kecilnya dulu.
Alarm monitor berdetak semakin tidak stabil,, Tiffa menatap layar, nafasnya tertahan, jantung nya seperti ingin meledak.
"papa..jangan tinggalkan Tiffa" bisiknya, suara nya pecah oleh tangis
Ibunya menggenggam tangan Tiffa erat, air mata nya mengalir deras.
"Kita akan tetep bersama sayang...."
Detak jantung di monitor mulai melambat.. kemudian terhenti.
"T..tidak...papaaaa" Tiffa menjerit, tubuhnya menekuk di samping ranjang, air mata dan tangisannya membasahi tangan ayahnya yang kini dingin dan tak bernyawa. Ia merasakan hampa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.. dunianya seakan runtuh dalam sekejap.
Ibunya terduduk di kursi, tubuhnya lemas, kepala tertunduk, ia menundukkan wajahnya, menahan jeritan yang ingin meledak. Dan hanya bisa menggenggam tangan Tiffa. Rasa sakit nya begitu dalam.. kehilangan suami, kehilangan sahabat hidupnya, dan kini harus berdiri untuk anaknya yang hancur.
Tiffa menatap wajah ayahnya yang diam, kenangan manis mereka terlintas cepat di matanya...senyum, pelukan hangat, tawa bersama.. semuanya kini hanya tinggal kenangan.
"papa...aku sayang papa..kenapa papa harus pergi begitu cepat.." ia menangis tersedu-sedu merasakan dinginnya kenyataan yang menembus jantung nya.
Ibunya perlahan menarik Tiffa ke pelukan nya,
"mama juga kehilangan... Tapi kita harus saling menguatkan sayang... papa ingin kita tetap hidup... untuk nya"
Mereka berdua duduk di sisi ranjang, menumpahkan kesedihan yang tidak tertahankan..di luar hujan mulai turun seakan ikut bersedih bersama mereka.
Tiffa menutup mata sejenak, mengucapkan doa terakhir untuk ayahnya.
"Semoga tenang disana papa... aku janji akan menjadi putrimu yang kuat.. untuk ibu juga "
****
Matahari pagi tertutup awan kelabu ketika Tiffa dan ibunya tiba di pemakaman. Hujan rintik-rintik menambah suasana suram, seolah alam ikut meratapi kepergian ayah nya.
Tiffa berjalan perlahan di samping ibunya, tangan mereka saling menggenggam erat. Setiap langkah terasa berat, seakan tanah itu menahan mereka dari melangkah maju.
Di depan liang lahat, keranda kayu telah siap. Sejumlah kerabat dan tetangga berdiri dengan wajah muram, beberapa meneteskan air mata. Namun bagi Tiffa. semua terasa kabur; dunia di sekitarnya hanya tinggal ayahnya yang kini tiada.
“papa… selamat jalan…” Tiffa menunduk, suaranya bergetar. “Aku… akan merindukanmu selamanya.”
Ibunya menggenggam tangan Tiffa lebih erat lagi. “Tiffa...kamu selalu di hati mama… dan mama akan terus hidup… untukmu, untuk kenangan papa” bisiknya.
Ketika keranda diturunkan ke liang lahat, Tiffa menatap tanah yang menelan sosok ayahnya. Suara tangisnya pecah, bercampur dengan suara hujan. Ibunya pun tak mampu menahan jeritan hatinya, terduduk di dekat Tiffa, memeluk putrinya.
Para pelayat berdiri hening, memberi ruang bagi Tiffa dan ibunya untuk menumpahkan duka. Setiap tetes air mata mereka adalah doa, harapan, dan perpisahan terakhir yang begitu menyakitkan.
Tiffa menutup mata sejenak, membayangkan senyum ayahnya, suaranya yang menenangkan, dan pelukan hangatnya. Hatinya terasa hampa, tapi ada tekad yang perlahan tumbuh: ia harus kuat, meski kehilangan ini terasa tak tertahankan.
Hujan semakin deras, tanah menjadi basah, namun Tiffa dan ibunya tetap di sana, berdiri di samping liang lahat. Mereka saling menenangkan, saling menopang, menatap dunia yang kini terasa berbeda tanpa seseorang yang berharga yang mereka cintai.
Pemakaman telah selesai, namun Tiffa masih merasakan dingin yang menusuk hatinya. Ia dan ibunya berjalan pelan menuju mobil, tubuh mereka lelah dan jiwa mereka hancur. Namun di kejauhan, sesuatu menarik perhatian nya.
Keluarga besar ayahnya,, Om Gavin dan istrinya Anita, Tante Lydia bersama suaminya Andre, dan sepupu perempuannya Cindy,
Mereka berdiri di tepi liang lahat. Sekilas Tiffany menangkap raut wajah mereka. Alih-alih kesedihan, beberapa dari mereka tampak… puas. Sebuah senyum tipis yang dingin, seolah menikmati situasi ini.
Tiffany menegakkan tubuh, jantungnya berdebar. “maa… lihat mereka…” bisiknya pelan. Ibunya mengikuti pandangannya dan menelan ludah. Wajahnya menegang.
“Sudahlah, Tiffa… kita fokus pada diri kita. Jangan biarkan mereka menguasai emosimu,” kata ibunya, mencoba menenangkan putrinya. Tapi Tiffa tahu, itu bukan hanya sekadar pemakluman; ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang bisa membahayakan mereka.
Selama perjalanan pulang, Tiffa tidak bisa berhenti memikirkan senyum mereka yang dingin itu. Apakah mereka… senang ayahnya pergi? Apakah ini tentang warisan? Atau… sesuatu yang lebih gelap?
Sesampainya di rumah, Tiffa dan ibunya duduk di ruang tamu, keheningan menyelimuti keduanya. Ibunya menarik napas panjang. “Tiffa… kita harus berhati-hati. Keluarga papamu… beberapa dari mereka… tidak seperti yang kita kira.”
Tiffa menunduk, menatap tangannya sendiri. “Aku… aku merasa mereka menunggu… menunggu sesuatu dari kita, ma. Tapi aku tidak tahu apa.”
Rasa sakit kehilangan ayahnya kini bercampur dengan ketegangan baru: ketidakpercayaan, kecurigaan, dan ancaman tersembunyi dari orang-orang yang seharusnya menjadi keluarga. sejak dulu Tiffa tau keluarga ayah nya, tidak menyukai ibu dan dirinya. Hanya saja ada kakek yang selalu berdiri paling depan membela dia dan ibunya..
Malam itu, Tiffa menatap langit melalui jendela kamar, hujan rintik-rintik masih turun, seolah ikut menangis. “papa… aku akan melindungi mama… dan aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa pun dari kita,” bisiknya, tekadnya mulai muncul di tengah kepedihan yang mendalam.
***
Beberapa hari setelah pemakaman, Tiffa dan ibunya mulai merapikan dokumen-dokumen yang ditinggalkan ayahnya. Namun ketenangan mereka terganggu oleh kunjungan tak terduga dari keluarga ayah nya.
Tante Lydia bersama suaminya Andre.. mereka datang dengan senyum yang terlalu rapi, mata yang tampak hangat namun menyimpan dingin di dalamnya. Mereka membawa ucapan bela sungkawa, tapi Tiffa bisa merasakan sesuatu yang berbeda—sebuah niat tersembunyi yang sulit diabaikan.
“Kami turut berduka atas meninggalnya Adam,” kata Tante Lydia sambil menatap ibunya. “Tapi tentu saja, ada banyak hal yang perlu kita selesaikan mengenai harta peninggalan almarhum.”
Tiffa menelan ludah. Setiap kata mereka terasa seperti duri. Ibunya tetap tenang, meski matanya menatap keluarga itu dengan waspada. “Kami akan mengurus semuanya dengan baik. Tidak perlu terburu-buru,” jawabnya pelan.
Namun keluarga besar ayahnya tidak mudah mundur. Mereka mulai mempertanyakan dokumen, menyinggung soal hak waris, dan bahkan secara terselubung menuduh ibunya terlalu lemah untuk mengurus harta dan perusahaan yang di kelola suami nya. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk Tiffa dan ibunya.
"Aku ingin kalian menandatangani dokumen ini" Tante Lydia menaruh sebuah map di atas meja. "Ini mengenai perusahaan yang di tinggalkan Adam, aku yakin kalian tidak akan mampu mengurusnya.. jadi penting untuk segera di ambil alih"
Sorot mata Tante Lydia tajam, menatap Tiffa dan ibunya... seolah memberi isyarat bahwa kata kata nya tidak bisa di bantah.
Tiffa menegakkan tubuhnya mengambil map itu, lembaran kertas dengan tinta hitam di atasnya, memberi tahu Tiffa, bahwa ia harus menyerahkan perusahaan yang di kelola atas nama ayahnya juga seluruh aset keluarga termasuk rumah dan kendaraan..
Tiffa menatap Tante Lydia tak percaya. "Kalian akan mengambil semuanya!?" Tiffa menekankan ucapannya, "kami memiliki hak atas harta itu..."
"Kau seorang dokter,, tidak memiliki keahlian dalam urusan bisnis, dan perusahaan itu akan di ambil alih olehku selaku anak sulung keluarga Wiratama "
Dada Tiffany terasa sesak mendengar penuturan Tante Lydia... Secara tidak langsung mereka ingin merampas semua harta ayahnya.
"Dan ingat..." Ucapnya lagi.. tatapan nya tajam mengarah pada Tiffa. "Perusahaan yang dikelola ayahmu sepenuhnya milik keluarga Wiratama. "
"Baiklah.." ibunya akhirnya bicara, ia merasa perdebatan ini percuma."kalian bisa mengambil alih perusahaan,,, tapi untuk rumah ini..ini adalah hak kami"
Tante Lydia tersenyum licik.."Sayang sekali...rumah ini juga akan di ambil alih oleh keluarga Gavin.. "
Tiffa dan ibunya melotot tak percaya, Tiffa meremas ujung kemeja nya. Rumah yang selama ini ia tinggali dari hasil kerja keras ayahnya. Tak akan ia biarkan jatuh ke tangan keluarga Gavin.
"Dengar tante...Kami tidak akan menandatangani penyerahan rumah ini..sampai kapanpun " ucap Tiffa nadanya tegas membuat Lydia mendelik padanya..
"Terserah...jika kau sanggup mempertahankan nya"
Ucap Lydia sebelum bangkit dari duduk nya dan berjalan keluar dengan angkuh di ikuti Andre suaminya.
Tiffa mengatur nafasnya,, perasaan ingin meledak seketika.. tapi tangan ibunya menggenggam nya..
"Kita pasti bisa mempertahankan rumah ini."
Tiffa mengangguk, menggenggam tangan ibunya,, karena saat ini ibunya lah yang menjadi kekuatan untuk Tiffa.
Malam itu, Tiffa duduk di meja belajarnya, menatap dokumen-dokumen ayahnya yang menumpuk. Tekadnya mulai mengeras: ia tidak akan membiarkan keluarga besar ayahnya mengambil apa yang menjadi hak mereka,
Disinilah perlawanan dan penderitaan nya di mulai