Prolog

996 Kata
Riana Anggara Archer. Gadis imut yang kini tengah berlenggak-lenggok di atas panggung fashion show itu terlihat sangat cantik. Gaun merah sepaha tanpa lengan membuat tubuh seksinya terpancar mempesona. Sepatu berhak itu tak mempersulit dirinya sedikit pun ketika ia harus berjalan cepat. Rambut coklat tergerai indah. Begitu sempurna. Beberapa kali gadis itu berhenti ketika ada yang memotretnya. Lalu kembali berjalan ketika flash kilat itu terhenti. Senyumnya mengembang kala penonton menepuk tangan. Walau mereka sebagian melihat dari gaun dan anting yang ia pakai. Percayalah, sebagian lagi jelas menepuk tangan untuk dirinya. Bukan bermaksud percaya diri, tapi mata mereka tampaknya tak bisa dibohongi. Menatap lapar padanya yang kini akan berakhir ke ruang pergantian kostum. "Gila! Lo beneran ngehipnotis semuanya! Perfect banget tau, gak! Gak sia-sia gua bayar lo setiap ada ajang busana gini." Riana hanya membalas dengan tersenyum kecil. Wanita itu segera mengambil minum yang disodorkan salah satu pegawai di sana. Tenggorokannya seakan kembali berfungsi setelah sekian lama berjalan dan berganti baju tanpa jeda. Ia akhirnya bisa bernapas lega. "Makan sekarang?" Tanya seorang lelaki yang kini duduk tak jauh dari Riana. Mata gadis itu langsung berbinar. Tangannya terbuka lebar menyambut pelukan hangat yang mungkin akan lelaki itu berikan. "Abang! Ana kangen!" Pekiknya manja. Tubuh tegap yang terbalut jas hitam dan kemeja putih itu terasa sangat nyaman. Bahkan baru seminggu Riana rasakan kehangatan ini, ia sudah merindukannya lagi. Lelaki itu mengusap kepala Riana sayang. Mengecupnya sekali dan melepaskan pelukan ketika merasa ada yang berdehem keras di belakangnya. Riana sontak menoleh dan membebelak tak percaya melihat seorang wanita cantik yang tersenyum penuh makna padanya. "Kak Iba!" Teriak Riana dan berhambur ke pelukan wanita yang ia panggil Iba. Meninggalkan lelaki tadi yang tengah mendengkus sebal. "Kamu hebat banget! Cantik banget lagi." Riana mengangguk kecil sebelum bercipika-cipiki dengan wanita itu. "Aku selalu cantik, kalau Kakak lupa," ujar Riana pede. "Kapan pulang? Mau makan sekarang?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir lelaki di belakangnya. Erlan. Kakak tertua sekaligus Kakak satu-satunya. Lelaki yang hanya terpaut lima tahun darinya itu sangat tampan. Tubuh tegapnya tak bisa Riana pungkiri sangat nyaman jika dipeluk. Mungkin itu sebab dari wanita yang Riana panggil Iba itu mencintai Kakaknya. "Gak tau. Riana masih butuh waktu buat pulang. Mama pasti nanya ini itu. Pengen di apartemen dulu.. boleh, ya? Eh, Abang pasti belum makan, kan?" Erlan mengernyit mendengar ucapan Riana. "Kenapa kamu nanya hal itu?" "Soalnya dari tadi ngajakin makan terus. Pasti belum makan, kan?" Tebak Riana yang langsung tertawa bersamaan dengan Iba. Wanita di sebelahnya ini sebenarnya punya nama panjang. Adiba Stevenson Rick. Atau lebih dikenal dengan Adiba. Profesinya sama dengan Riana. Model. Tapi Adiba juga seorang pramugari beberapa tahun lalu sebelum akhirnya menikah dengan Kakaknya dan memilih keluar dari dunia penerbangan itu. "Terserah kamu. Ayo, makan!" Ajak Erlan tak sabaran. "Kakak kamu risih sama lelaki yang di ujung sana." Riana melihat ke arah pojok ruangan. Di mana berdiri seorang lelaki sedikit melambai yang secara terang-terangan menatap Kakaknya. "Dapika? Lho? Emangnya kenapa?" Tanya Riana penasaran. "Dari pertama masuk, Erlan digodain terus." Bibir Riana jelas langsung mempout. Merasakan jika dirinya akan tertawa saat itu juga. "Beneran?" Tanyanya dengan tawa yang ditahan. Melihat Adiba yang mengangguk, tawa Riana langsung menguar. Membuat Erlan menatapnya tajam dan menarik lengannya keluar. "Ya ampun! Gak papa kali, Bang. Dia cuman godain doang," goda Riana yang dibalas anggukan dari Adiba. "Kamu kira itu lucu? Orang kaya gitu? Cuman kamu bilang?" Riana mengangguk kecil sebelum akhirnya terperanjat karena tangannya dihempas cukup kuat oleh Erlan. "Kamu bilang cuman?! Kalau kamu yang ada di posisi Abang, apa yang bakal kamu lakuin? Balas ngegoda gitu?" Adiba kelabakan sendiri melihat suaminya yang akan marah. Apalagi melihat wajah Riana yang berubah pias karena ketakutan dibentak. "Mas, ih! Jangan di sini. Orang-orang pada liatin." "Seharusnya kamu tau, Abang gak bisa liat kaya gitu karena kamu, kan?" Riana menunduk. Mengingat masa kecil mereka di mana Riana yang menarik seorang banci di sekitar komplek lalu menyuruhnya mencium pipi Erlan. Dan semenjak saat itu, Erlan paling takut melihat lelaki yang berubah menjadi wanita. "Mas!" Erlan mengerjap ketika teriakan dari istrinya berhasil menyadarkannya. Ia menatap Riana yang kini ketakutan. Wajahnya menunduk. Menutupi warna pucat yang menyeluruh di setiap lekuk tubuhnya. Dan ketika Adiba memegang lengan gadis itu, Riana terisak. Adiba tersentak. Bukan. Bukan karena tangis Riana. Melainkan rasa dingin yang menerpa kulitnya ketika menyentuh kulit Riana. Ia segera melihat wajah Erlan dan meminta lelaki itu menenangkan Riana. Atau hal fatal akan terjadi di sini. Baru akan memegan bahu adiknya, Erlan menarik kembali lengannya. Saat seorang lelaki besar memeluk Riana hangat. Mengecup kepala adiknya itu dengan lembut dan penuh rasa sayang. "Sstt.. don't cry, honey. It's Okay." Mata Erlan memicing mendengar ucapan melantur dari lelaki besar di depannya. Siapa dia? Pacar Riana? Sejak kapan? "Anda siapa?" Tanya Erlan yang tak bisa menutupi rasa penasarannya saat ini. Ia tarik lengan besar itu agar menghadapnya segera. Tapi bukannya berbalik seperti yang ia inginkan, lelaki itu malah semakin erat memeluk Riana. "Hikss.. A-Abang galak." Erlan membelalak. Ada hubungan apa sebenarnya lelaki ini dengan adiknya? Tubuhnya yang tegap hampir sama dengan dirinya itu seakan menutup celah untuknya melihat Riana. Tangan besarnya itu bukan lagi memeluk atau mendekap, melainkan memenjarakan Riana dengan keras. Adiba sendiri masih belum mengerti kenapa lelaki ini bisa ada di sini. Memeluk Riana pula. Gadis yang sangat enggan bersosialisasi jika memang tak memiliki keperluan. "Mas kenal dia?" Tanya Adiba berbisik. Erlan menggeleng. Ia bahkan baru pertama kali melihat lelaki ini. Tiba-tiba saja sudah memeluk Riana dan membuatnya semakin sulit melihat siapa gerangan yang beraninya menyentuh Riana. Sekalipun Riana memiliki kekasih, ia tak mungkin lengah. Ia pasti tahu. Siapa, kenapa dan mengapa lelaki itu mau menjadi kekasih Riana. Bukannya tak memperbolehkan, tapi Riana terlalu lemah akan hal cinta. Kalian lihat sendiri, kan, bagaimana lemahnya Riana sekarang? Bahkan hanya dibentak kecil gadis itu sudah menangis. Apalagi putus cinta dan gagal move on berkepanjangan? Sudah jadi apa Riana tadi? "Abang hikss.. jahat!" Isak Riana semakin keras. Dan pelukan itu semakin menghangat. "Ada saya di sini. Jangan menangis. Saya tidak suka kamu menangis." Riana mengangguk kecil. "Terkecuali saya yang membuat kamu menangis."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN