Bab 1.A

1299 Kata
Riana itu baik. Tak pernah marah jika ada orang lain yang melukainya. Karena akan ada orang lain yang menggantikan amarahnya. Ia juga ramah, tapi orang-orang melihatnya lemah. Ia penyayang. Saking sayangnya, bahkan orang lain dengan mudahnya memanfaatkan segala kelebihan gadis itu. Termasuk yang dilakukan seorang lelaki tinggi di depannya. Geofan Abrani Risolv. Nama panjang yang tertera pada kartu nama lelaki itu. Pemilik perusahaan AR adalah kalimat yang berada di bawah nama lelaki tadi. Wajahnya tampan, dengan pipi memerah alami dan bibir tipis menggoda. Bak dewa tertampan yang pernah Riana baca di salah satu novel. Mata tajam dengan warna hijau itu menyelam pikiran Riana saat ini. Ada hal yang tak bisa Riana jelaskan ketika mata itu bersirobok dengannya. "Jadi, bagaimana?" Riana mengangkat kepalanya dari kartu nama yang ia pegang. Matanya jatuh pada hidung mancung kecil yang tampak indah. Mempesona dan sangat menganggumkan. Walau dia juga pemilik hidung mancung, tetap saja iri melihat betapa sempurnanya lelaki ini. "Apanya yang bagaimana?" "Pernikahan. Maka semua media masa bisa saya bungkam." Ah, ya. Riana ingat akan perjanjian yang dikatakan lelaki ini beberapa waktu lalu. Setelah acara tangis menangis di backstage lelaki ini meminta dirinya ikut. Dan di sinilah mereka sekarang. Di dalam mobil super mewah. Yang Riana saja pernah melihatnya sekali. Ketika mendatangi rumah Omanya. "Apa.. kenapa harus nikah?" "Karena saya butuh istri dalam waktu dekat. Dan jika kamu tidak menurutinya, maka saya akan dengan mudah mengatakan pada semuanya bahwa kamu hanya pemuas nafsu saya. Tidak lebih." Riana meringis kecil mendengarnya. Andai saja ia yang tak menangis hanya karena ucapan Erlan, mungkin ia tak akan terjebak lubang hitam ini. Dan siapa Geo sebenarnya, Riana pun tak tahu. Bahkan ia tak mengenalnya. Wajah yang perkiraannya itu wajah semi Eropa, sangat tak bisa ia kenali. Beberapa kali juga lelaki ini meminta pada pengawalnya untuk memperlihatkan potret wajahnya ketika berada di salah satu perusahaan. Memakai jas rapi dan bahkan tuxedo. Tapi Riana masih tak mengenalinya "Apalagi yang kamu ragukan?" "Kenapa harus Ana? Apa gak ada cewek lain? Ana.. Ana baru dua puluh tahun." "Kamu kira saya umur berapa?" Tanya Geo dengan tampang yang menurut Riana menyebalkan. Karena mirip dengan Kakaknya Erlan. Tak berekspresi sedikitpun. Ck! Riana tak suka orang-orang minim ekspresi. "Ehmm, maybe 30 tahun," ujar Riana ragu. "Kenapa semua orang menyangka hal yang sama?!" Decak lelaki itu kesal. Riana mengernyit kecil. Apanya yang salah, jelas kalau dari perawakan dan bagaimana wajah lelaki ini sudah memperlihatkan bahwa umurnya tak lagi muda. Dan bisa kalian lihat sendiri di dagu lelaki itu terdapat jambang kecil. Eh, apa jenggot? Riana tidak tahu. Karena baik Papanya dan Erlan-Kakaknya, tak pernah memelihara rambut halus di dagu. "Saya baru dua puluh lima." Mata Riana sontak membelalak kaget. Berapa tadi? "Eh serius? Umurnya sama kaya Abang?" Kaget gadis itu dengan wajah terperangah. Bibirnya terbuka karena tak percaya dengan jawaban Geo barusan. "Kenapa? Kamu tak suka saya mengatakan hal sebenarnya?" Riana langsung menggeleng ketika matanya melihat wajah Geo yang tidak baik-baik saja. Seperti akan marah. Dan Riana tak suka melihatnya. Apalagi jika benar Geo akan marah, maka dia tak akan menyetujui perjanjian itu. "Selain nama baik Ana yang stabil, apalagi keuntungan buat Ana kalau Ana ikutin perjanjian Kak Geo?" Geo terperangah mendengar gadis itu memanggilnya dengan sebutan Kakak. Agak sedikit asing bagi telinganya. Apalagi saat Riana menatapnya berbeda. Tak seperti wanita kebanyakan. Tatapan gadis itu polos dan seakan tenang. Padahal seharusnya sudah ketar-ketir ketakutan jika memang Riana pemilik sindrom itu. "KAK GEOO!" Geo segera tersadar. Ia mengerjap kecil. Wajah Riana kebingungan melihatnya. Ck!! Pasti tampangnya sangat bodoh saat itu. "Banyak. Dan kamu akan tahu setelah menyetujuinya." "Kenapa harus Ana?" Tanya Riana lagi. Kali ini wajahnya tampak ragu. Tak yakin jika ia menyetujui  semuanya, hidupnya akan tenang. Apalagi melihat wajah lelaki ini tak bisa membuatnya yakin. "Karena kamu wanita yang pernah saya temui sebelum ini." "Kapan?" Dahi Riana mengernyit. Mencoba mengingat apakah ia pernah bertemu Geo sebelumnya atau belum. "Depan rumah. Tepatnya di tukang bakso ketika kamu menumpahkan kuah merah itu ke atas laptop saya." Riana pura-pura mengerjap tak mengerti. Padahal dalam hatinya sudah berkata lain. Segala u*****n dan kata-kata yang menyatakan bahwa ia tengah diambang kejahatan sudah menyerang akal sehatnya. Jadi, ini lelaki seminggu lalu yang pernah celaka karenanya? "Kapan? Ana gak pernah ketemu sama Geo," elak Riana. Tapi di sana ada kejujuran juga sih, karena ia tak pernah melihat lelaki ini dengan setelan rapi. Sebelumnya juga hanya memakai kaos dan celana jeans selutut, pantas saja Riana tak mengenalinya. Ia juga tak sempat melihat wajah Geo ketika kuah baksonya tumpah. Alasannya karena ia yang tak ingin Geo memarahinya. Alhasil, ia kabur memasuki rumah. Bahkan mangkuk baksonya juga dipulangkan minggu depannya oleh sang kakak, Erlan. "Jangan berpura-pura! Apa jawabannya? Saya membutuhkannya saat ini." "Ck! Bisa gak sih mukanya biasa aja. Jangan sama kaya Abang! Genek tau Ana liatnya." Geo mengerutkan kening sebentar mendengar ucapan Riana yang melantur menurutnya. Siapa juga yang menyerupai Abang-Abang yang Riana sebutkan. Toh, dia memang seperti ini dari sananya. "Saya tidak menyerupai Abang yang kamu maksud. Saya memang seperti ini dari dulu." Riana tertawa. Masih sempat-sempatnya melebarkan bibir di saat waktu yang tegang.  Firasat Geo benar. Gadis ini berbeda. Dan entah kenapa, Geo menyukaiㅡshit! Tidak! Maksudnya ia.. ah sudahlah! "Abang juga ngomongnya gitu. Kayanya Kak Geo sama Abang kembar yang terpisah, ya? Hahah.." "Terserah. Saya butuh jawaban kamu sekarang. Jadi tolong, cepat katakan apa keputusanmu!" "Kok ngegas?!" Sentak Riana tak terima. Geo berdecak kesal. Waktunya terbuang banyak hanya karena gadis ini. Kenapa bisa sesulit ini memaksa Riana menjadi istrinya. Padahal hanya tinggal mengatakan ya, tapi mulut itu harus beralasan panjang. Apa semua wanita se-gila ini? "Baik. Jika itu mau kamu. Bram!" Panggil Geo pada seseorang yang berada di luar mobil. "Ya, tuan?" Geo membuka kaca mobilnya dan menyembul keluar sedikit. Mengatakan hal yang membuat Riana membulatkan matanya dan segera menarik tangan Geo. Meminta agar lelaki itu kembali duduk dengan benar dan menatapnya. "Kak Geo! Iya, iya. Riana mau!" Sial! Riana salah mengatakan. Seharusnya ia menolak. Kenapa malah kata iya. Walau terdengar klasik ketika wanita diancam dan ancaman itu terlaksana ia akan langsung menyetujuinya. Tapi Riana berhak tau bukan apa alasannya? Duh! Kalau begini nanti jadi rumit masalahnya. Erlan juga sempat menatapnya dengan tatapan curiga. Sebelum pulang pun lelaki itu memintanya untuk pulang ke rumah. Bukan apartemen. "Biak. Bram, batalkan semuanya. Dan persiapkan surat undangan untuk lamaran besok malam." "Apa? Besok malem? Yang bener, hey!" Jerit Riana tak percaya. "Ya. Dan sekarang saya akan membawamu ke rumah orang tuamu. Yakinkan mereka untuk menerima saya. Pak Sardi, jalan!" Titah Geo seenaknya. Riana semakin kesal dengan keputusannya. Tapi ia tak bisa melakukan apapun saat ini. Jika menolak, sesuatu akan terjadi pada karirnya. Lalu jika ia berontak, di mobil ini hanya dia perempuan. Karena sisanya jelas lelaki semua. Termasuk Geo. Sikap manjanya akhirnya keluar. Ketakutan sedari tadi membuatnya langsung menangis kecil. Sejujurnya ia tahan tangis ini sejak mereka, Riana dan Geo, masuk ke dalam mobil. "Tuan, dia.." "Biarkan. Cengeng dan manja. Sesuai dengan yang saya lihat pada lampiran Gustaf." Tangis Riana semakin menbesar. Bukannya merasa kasihan atau bertanya, lelaki ini tampak acuh dan tak ingin menenangkannya. Apalagi wajah datarnya semakin membuat Riana kesal. Kenapa orang tanpa ekspresi di dunia ini sangat acuh?! Apa tidak ada rasa di dalam hati mereka? Kenapa juga ia mendapatkan dua orang sekaligus yang tidak memiliki hati dan ekspresi? Erlan dan sekarang Geo?! "Hiikss, Geo jahat! Ana gak suka. Ana gak mau minta Mama buat nerima Geo!" Bentak Riana di tengah tangisnya. Geo hanya mengedikan bahu. Sedetik kemudian ia meminta ponselnya pada seseorang yang ada di depannya. Membuka salah satu aplikasi mengenai berita lalu memberikannya pada Riana yang masih menunduk seraya menangis. Model cantik Riana Archer menangis di pelukan seorang lelaki. Dikenal dengan wajah yang rupawan, dan juga sifatnya yang manja. Akhirnya Riana mendapatkan kekasih. Siapakah dia? Mari simak beritanya! "Saya bisa saja mengetikan balasan dan mengatakan hal yang tidak-tidak. Lalu.. semuanya berakhir. Atau berhenti menangis dan saya akan diam."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN