Bagian 1. Oleh-oleh yang Menyakitkan

1607 Kata
"Safira, kenalkan ini Ninik," ucap ibu mertua. Beliau beserta Bapak dan adik iparku baru saja dari pulang kampung di tanah Jawa. Aku tersenyum sembari hendak mengulurkan tangan. "Ninik ini pacar Harsa sejak SMP dulu, cinta pertama Harsa," lanjutnya. Aku ternganga mendengar penuturan wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Tanganku mengambang tanggung untuk menyambut uluran tangan perempuan yang ia kenalkan. Apa maksudnya mengenalkan wanita itu sebagai pacar dan cinta pertama Mas Harsa? Apa pula maksudnya mengajaknya kemari? "Ninik akan menikah dengan Harsa. Karena Harsa masih berbaik hati tidak menceraikan kamu, maka kamu harus rela dimadu," ucap Ibu lagi dan serta merta membuatku menarik lagi tanganku. Kubiayai seluruh akomodasi dan transportasi pulang pergi mereka, tetapi ketika kembali oleh-oleh gundik yang aku terima. Aku mengalihkan pandangan pada laki-laki yang berdiri di belakang perempuan bernama Ninik itu. Ia terlihat sangat tenang dan santai menjinjing sebuah tas besar. Barangkali tas milik calon istri mudanya itu. Pantas saja tadi dia begitu semangat menjemput dan melarangku ikut. Ia memintaku memasak yang banyak dan enak, rupanya ada yang istimewa. Hatiku berdesir perih. Rasanya nyaris ambruk. Sedih dan amarah berpadu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada tanda apa-apa yang menjadi sebuah firasat hal semenyakitkan ini akan terjadi. Ibu mertua memang tidak setuju dengan pernikahan kami sejak awal. Aku yang hanya tamat SMA, di matanya tidak punya pekerjaan, serta disebut masih bocah karena saat menikah masih usia muda. Alasan lain yang selalu dia dengungkan pula adalah aku bukan berasal dari tanah yang sama dengan mereka. Aku asli putri Borneo. "Opo ora enek perawan Jawa sing ayu. Kok, nggowo adoh-adoh soko Kalimantan," ucapnya ketika Mas Harsa mengenalkanku. Namun, kala itu Mas Harsa kukuh melanjutkan hubungan kami. Katanya hanya aku yang mampu membuatnya move on dari Ninik yang telah mengkhianatinya. Ya! Aku tahu Ninik sebelumnya. Memang dia cinta pertama Mas Harsa. Aku yang kedua dan merasa bahagia karena berpikir menjadi yang terakhir. Akan tetapi, nyatanya aku salah. Bukan aku yang terakhir. Mas Harsa merantau ke pulau Borneo ini untuk mengadu peruntungan nasib. Ia bekerja sebagai asisten di perkebunan kelapa sawit ternama di kota ini, kota Ngabang, Kalimantan Barat. Meninggalkan Ninik dalam waktu yang lama, membuat perempuan itu menjatuhkan pilihan pada laki-laki lain. Mas harsa pernah dikhianati, tahu rasanya disakiti, tetapi mengapa sekarang tega menyakitiku? Cukup berani jika dia ingin beristri dua. Padahal sudah jelas aturan dari perusahaan yang melarang poligami. "Masuklah dulu. Kita bicarakan di dalam," tuturnya tenang. Namun, muak terdengar dirunguku. Ingin rasanya kuusir wanita tidak tahu diri itu. Seenaknya pergi dan seenaknya pula datang kembali ketika Mas Harsa sudah berstatus suamiku. Dia hanya memikirkan perasaan sendiri. Ingin pula kucakar laki-laki yang telah mengikat janji setia padaku itu. Akan tetapi, berlaku kasar tidaklah elegan. Akan terbukti ucapan Ibu bahwa aku masih bocah. Aku menarik napas panjang, meredam emosi dan sakit yang merajai sukma. Semua harus dihadapi dengan anggun. "Silakan," ucapku. Aku menepi dari mulut pintu, memberi ruang untuk mereka berlalu. Mas Harsa memegang pundak Ninik, mengiringnya menuju kamar tamu dengan lembut. Allahu Rabbi. Hatiku teriris rasanya. Sakit sekali menyaksikan laki-laki yang masih berstatus suamiku itu berlaku mesra pada perempuan lain. Sudut mata seketika menghangat. Segera kutarik napas dalam. Tidak boleh ada air mata yang keluar di hadapan mereka. Hal itu hanya akan menunjukkan aku lemah. Aku bukan wanita lemah. Langkah kuarahkan menuju dapur. Menyiapkan minuman untuk menyambut kehadiran mereka, sekaligus menata makan siang yang telah aku siapkan sejak tadi. Setelah itu aku menemui mereka kembali yang sedang bercengkrama di ruang keluarga. "Mau langsung makan atau istirahat dulu?" tanyaku. Kutahan emosi sedemikian rupa agar sikap dan bicaraku tampak tenang. Aku tidak mau ibu mertua bersorak girang atas keterpurukanku. Beliau harus menyaksikan bahwa apa yang mereka rencanakan tidak akan mempengaruhiku. Meskipun itu hanya di luar. Karena hatiku remuk. Namun, mereka tidak boleh melihat keremukan itu. "Makan dulu saja. Sudah lapar," jawab Mas Harsa. "Nik, Safira masak makanan kesukaanmu," ucapnya pada wanita di sampingnya. Parasnya tidak ada yang istimewa. Standar saja. Kulitnya lebih gelap dibandingkan denganku. Namun, mungkin karena dia adalah cinta pertama Mas Harsa, maka semua padanya terlihat istimewa. Aku merutuk. Ternyata tadi dia memintaku masak rawon karena itu makanan kesukaan perempuan itu. Astagfirullahal'azim, batinku menahan perih, Sungguh kamu dan keluargamu telah berkomplot menyakiti hati ini, Mas. Jika memang ingin berpoligami, tidak begini caranya. Apa yang telah kalian lakukan ini benar-benar menyakitiku. Dan aku pantang disakiti. "Iya. Yuk, makan," ajakku tetap berusaha tenang. Bukankah air yang tenang itu biasanya dalam? Dan air yang dalam akan menenggelamkan. Mereka semua beranjak. Aku mendahului menuju meja makan, menarik satu kursi untuk Mas Harsa. Kemudian duduk di sampingnya. "Biarkan Ninik duduk di situ, kamu di sana saja," ujar Ibu sambil menunjuk kursi pada sisi yang lain. "Mbak Ninik belum menikah dengan Mas Harsa. Sebaiknya memang jauh-jauhan dulu. Belum halal. Dosa," jawabku tenang. Tanganku menciduk satu entong nasi untuk Mas Harsa, meletakkannya ke dalam piring, kemudian menyiramnya dengan rawon. Ibu mencebik, "Sabar ya, Nik. Besok kamu segera nikah dengan Harsa. Kamu adalah cinta pertama Harsa. Sama-sama sarjana. Kamu lebih pantas mendampingi Harsa dibandingkan dia. Lihat saja nanti kalau sudah menikah, pasti kamu yang diistimewakan," ujarnya laksana air garam yang menyiram luka hatiku. Dadaku bergemuruh. Ingin kusiramkan kuah rawon itu ke wajah mereka. Akan tetapi, benakku masih bisa bekerja bahwa itu tidak bijaksana. Mas Harsa memegang tanganku, "Tenang, Sayang. Mas akan berusaha adil," ucapnya. Aku terdiam. Sayang ... sayang kepala loe peyang. Kalau sayang tidak akan mendua, batinku. Adil? Bahkan saat ini sudah terbaca bagaimana perlakuan yang akan kuterima. Dari dia menatap perempuan itu, memintaku masak makanan kesukaannya, dan semangatnya dia menjemput ke bandara sudah menjelaskan bahwa memang wanita itu yang akan dinomor-satukan. "Cinta pertama yang dulu memilih berkhianat. Hati-hati nanti dikhianati lagi," sindirku. "Jangan asal bicara jika tidak tahu cerita sebenarnya," sanggah ibu mertua. "Oh ... jadi bagaimana cerita sebenarnya?" tanyaku santai sambil menyuap makananku. Susah payah aku menahan agar makanan itu masuk dengan aman dalam perut. Karena sebenarnya selera makanku seketika hilang ketika tadi Ibu mengenalkan perempuan itu. Kulihat Ibu menelan ludah. Sementara Ninik menunduk. "Bagaimana?" tanyaku ketika beberapa lama mereka hanya diam. "Dulu hanya sebuah kesalahpahaman saja. Ninik sering menghubungi mas, tetapi karena mas di kebun, jadi jarang ada signal. Ninik mengira mas berpaling." Mas Harsa yang bersuara. "Ooo ... Kenapa dulu tidak menyusul ke Kalimantan saja?" tanyaku sambil menatap tajam. "Perempuan menyusul laki-laki itu tidak etis. Tidak sopan," sahut ibu mertua membela. "Ya, dari pada nyusul suami orang, lebih tidak etis lagi 'kan?" sinisku, "Mestinya dulu itu disusul saja. Tabayyun dulu, tanya kenapa gak bisa dihubungi. Jadi gak asal tuduh terus gegabah mengambil keputusan. Menyesal 'kan? Dari pada nekatnya sekarang, dia sudah beristri, lho. Dan sepertinya Mbak Ninik harus menyiapkan mental baja. Karena bisa-bisa akan dipanggil pelakor sama orang-orang." Kuletakkan telapak tangan di sisi mulut, menyebutkan kalimat terakhir dengan setengah berbisik. Perempuan itu menunduk. Ah, dia itu menunduk karena merasa tidak enak atau hanya akting agar terlihat tertindas? "Jangan macam-macam. Kalau sampai Ninik mendapat perlakuan tidak baik dari warga, saya pastikan kamu akan dicerai. Kamu itu yang pelakor. Kamu yang mengambil Harsa dari Ninik," ancam Ibu sinis. Aku mendengkus. Tidak perlu menunggu Mas Harsa menceraikanku. Aku yang akan menggugat jika dia benar-benar akan mendua. "Mbak Ninik menikah lebih dulu dari kami. Tidak mungkin saya merebut Mas Harsa," balasku kalem sambil menyeruput kuah rawon. Tidak peduli dengan netra Ibu yang menyorot tajam. "Sudah, Nik. Ayo dilanjutkan makannya. Jangan didengar omongan orang sakit hati. Dia tidak akan berani macam-macam. Bisa apa dia tanpa Harsa," ucapnya sambil mengusap tangan Ninik yang terulur di atas meja. Aku mengulum bibir. Tersenyum miris. Ibu selama ini memang tahunya aku yang bergantung pada Mas Harsa. Menurut beliau aku menguasai seluruh gaji suamiku. Gaji Mas Harsa sebagai asisten perkebunan terdengar cukup besar, mendekati delapan juta perbulan. Namun, besar kecilnya pendapatan itu relatif, tergantung dari gaya hidup atau besarnya pengeluaran. Yang namanya harta, sedikit cukup, banyak habis. Ibu tidak pernah tahu bahwa sebagai pedagang online, pendapatanku lebih besar dari suamiku. Aku punya toko yang Ibu tidak tahu tempatnya. Sengaja tidak kuceritakan secara gamblang karena jika beliau tahu pendapatanku besar, dia akan meminta jatah bulanan lebih besar. Aku hanya sesekali memantau toko. Pengelolaannya kuserahkan pada dua orang teman SMA yang kupercaya menjadi tangan kanan. Usaha online telah kurintis ketika masih duduk kelas X. Berawal hanya sebagai dropshiper, kemudian keuntungannya mulai membesar dan aku merambah menjadi reseller dengan menyetok barang sedikit-sedikit. Aku memang hanya tamat SMA, dan masih muda. Namun, kerasnya cobaan hidup telah menempaku. Ayah meninggal ketika aku kelas empat SD. Disusul Ibu yang selalu sakit-sakitan karena terpukul atas kepergian ayah empat tahun kemudian. Sejak SMP aku yatim piatu, tinggal bersama bibi dan harus mengerjakan tugas rumah layaknya orang dewasa. Tidak berani meminta uang keperluan sekolah memaksaku memutar otak untuk mencari uang sendiri. Kelas XII usaha online-ku mulai melesat. Aku memiliki puluhan reseller aktif. Setahun berikutnya aku bisa membelu perumahan BTN yang saat ini digunakan sebagai gudang penyimpanan barang a.k.a toko. Jika Ibu bertanya bisa apa aku tanpa Mas Harsa? Maka biarlah beliau melihat bisa apa Mas Harsa tanpa aku. Atau biar beliau sendiri merasakan bisa apa tanpa aku. Aku yang menutup lubang menganga pengeluaran keluarga mereka selama ini, termasuk biaya kuliah Santi--adik iparku. "Pokoknya Ibu dukung sepenuhnya kamu sama Harsa. Kalian berdua bagi ibu udah cocok banget," lanjutnya. Aku cuma berkedik. Meski hati ini teramat sakit. Umpana daging yang dipotong dengan cara disayat-sayat sembilu tipis. Perih. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Mungkin senyum kemenangan karena dibela calon mertua. Ia mulai menyuap makanan yang ada di piringnya. Aku menatapnya tajam. "Setelah makan, istirahatlah Mbak. Pasti lelah. Piringnya biarkan saja. Nanti saya yang bereskan. Mungkin akan menjadi kali terakhir saya mencuci piring di rumah ini," ujarku. Lalu kualihkan netra pada Mas Harsa, menatap sinis laki-laki yang juga balas menatapku tak mengerti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN