Bagian 2. Hadapi dengan Elegan

1265 Kata
Setelah membereskan bekas makan siang, aku masuk ke kamar. Di sana terlelap malaikat kecilku. Buah cintaku bersama Mas Harsa yang sama sekali tidak mereka tanyakan tadi. Bahkan Mas Harsa yang demikian dekat dengannya seolah lupa. Begitu penting perempuan itu bagi mertuaku sehingga tidak ada rindu sedikitpun untuk untuk cucu semata wayang mereka, padahal telah hampir sebulan tidak bersua. Bening yang sejak tadi kutahan akhirnya pecah juga dari sudut netra, membayangkan bocah tidak berdosa itu akan mendapat kasih sayang yang pincang. Namun, biarlah. Itu lebih baik dari pada hidup berkubang luka. Tidak mengapa pincang, daripada lumpuh karena digerogoti dari dalam. Kuusap kepala buah hatiku yang baru berusia dua tahun itu. Aku harus mampu membesarkannya sendiri. Tidak ada istilah berbagi keringat dalam kamus hidupku. Aku bukan penentang poligami, asal bukan suamiku yang melakukannya. Aku tahu kualitas dirinya yang tidak akan mampu berlaku adil. Jika dia kukuh, maka aku yang akan melepaskan. Kubaringkan diri disamping tubuh mungil putraku. Terpejam, kuhapus jejak basah yang tadi sempat tercipta. Meskipun hati ini sakit, tidak perlu menangis berlebihan. Cukuplah sekedar membuat lega, membuang sesuatu yang menyesak d**a. Me-recharge energi sekarang lebih penting untuk bekal menjalani rencana selanjutnya, menguatkan hati untuk menghadapi tingkah mereka yang pastinya menyakitkan hati. Emyr Salim—putraku—masih tampak begitu pulas. Kutenangkan pikiran agar dapat pulas pula disampingnya. *** Aku terbangun ketika petiduran terasa bergerak. Kemudian satu tangan mungil terasa meraba pipiku. Kebiasaan Emyr ketika bangun, selalu meraba wajah orang yang ada di sampingnya. “Anak mama sudah bangun?” tanyaku gemas. Kuangkat tubuhnya ke atas dadaku, kemudian mencium gemas wajahnya bertubi-tubi. Kupeluk erat dengan gemas pula tubuh mungilnya. Renyah tawanya menentramkan hatiku. “Nen,” ucapnya sambil hendak membuka baju atasku. “Eits, nen-nya sekarang ‘kan bukan ini lagi,” tolakku halus. Bocah itu merengek. Dia baru saja kusapih, jadi masih sering minta ASI. “Kita bikin nen di dapur, yuk,” hiburku. Kugendong bocah menggemaskan itu menuju arah pintu. Ketika pintu terbuka, di ruang televisi yang terletak persis di depan kamarku, aku dihadapkan dua sosok yang gelagapan karena terkejut kehadiranku yang tiba-tiba. Keduanya menarik masing-masing wajah mereka yang sebelumnya seperti menyatu. “Ehem, masih siang Mas. Mbok ya Mbak Niniknya dibiarkan istirahat dulu,” sindirku sinis. Laki-laki itu nyengir salah tingkah. “Emyr, lihat Papa diambil Bude,” ucapku. Mataku menatap tajam perempuan yang duduk rapat di samping suamiku. Emyr paling tidak suka kalau ada yang berkata bahwa aku atau Mas Harsa diambil orang. Segera kuturunkan bocah itu dan melihat apa yang akan dia lakukan. Emyr bergegas berlari ke arah Mas Harsa, kemudian mendorong kasar tubuh Ninik. Perempuan itu cengengesan kikuk. Terlebih ketika mata bocah itu menyorot penuh amarah. Meskipun tidak sebesar amarah yang ada pada diriku, tetapi aku cukup puas dan merasa terwakilkan. “Hai, siapa namanya,” tanya perempuan itu SKSD. Ia mendekat dan mengulurkan tangan hendak menjawil pipi Emyr. “Gak mau! Pergi sana! Jangan ambil Papa!” seru Emyr dengan logat kanak-kanaknya. Cepat, ia menepis tangan Ninik. Aku tersenyum puas. Bukan mengajarkan anak tidak sopan, tetapi menunjukkan bahwa kita perlu mempertahankan hak milik kita. Meskipun aku tidak ingin mempertahankan Mas Harsa. Dia bagai hak milik yang sudah usang. “Emyr, gak boleh begitu, Sayang. Ayo salim sama Bunda,” ucap Mas Harsa. Mendidih darahku mendengar ia membahasakan Bunda pada perempuan itu. Inginku berkata kasar, tetapi sekuat hati kutahan. Aku tidak boleh terpancing. Bisa-bisa nanti kekasaran itu akan dijadikan alasan bagi mereka untuk menjatuhkanku. Emyr diam. Tidak menuruti ucapan Mas Harsa. “Emyr, salim Bude dulu, Nak,” pintaku lembut. Ogahlah aku menyebutnya Bunda. Tidak rela. Ambil saja Mas Harsa. Anakku, secuil pun tidak kuijinkan. Meskipun hanya menyangkut sebuah panggilan. Karena umur perempuan itu lebih tua dariku, kubahasakan saja Bude. Bocah itu menurut. “Yuk, ke dapur. Bikin s**u,” ucapku sambil mengulurkan tangan. Lagi-lagi bocah itu menurut. “Emyr ke dapur dulu ya, Bude,” ucapku. Kemudian kujulurkan kepala agak mendekat pada keduanya. “Agak ditahan-tahan ya, Mbak, Mas. Aku tahu kalian udah ngempet. Tapi kalau belum halal itu dosa. Kata Rasulullah ada enam bahaya yang akan mengikuti kalau kalian gak mampu nahan. Di dunia, cahaya akan hilang dari wajah kalian, umur kalian akan pendek, kalian akan kekal dalam kemiskinan, terus diakhirat murka Allah menanti. Iii serem,” tuturku sinis sambil bergidik. Lalu meninggalkan mereka yang memerah wajahnya. Entah malu atau marah. Biarlah, aku tidak peduli. Aku menghembuskan napas setelah tiba di dapur, menenangkan emosi yang memuncak. Pantas saja ada seorang istri yang sampai menumpahkan cabai pada organ sensitif perempuan simpanan suaminya, ternyata semenyakitkan ini rasanya. Namun, aku tidak mau mengotori tangan dan namaku dengan perbuatan anarkis. Karena apa yang aku lakukan sekarang akan meninggalkan jejak sejarah. Akan kuukir jejak sejarah yang indah untuk namaku. Agar kelak anak cucuku mengenangnya penuh bangga. Sehingga menjadi contoh yang baik untuk mereka dalam menyelesaikan masalah. Setelah membuatkan s**u untuk Emyr, aku kembali ke kamar, melintasi mereka yang tampak duduk kikuk sambil menonton FTV di salah satu chanel televisi swasta. Sedikit geli aku melihat gelagat mereka. Memuakkan, sih, tetapi ada lucu-lucunya gitu. Kubiarkan Emyr menikmati susunya sambil kembali berbaring di atas tempat tidur. Sementara aku bersiap diri. Kepulangan mertua beserta oleh-olehnya membuat suhu kepalaku meningkat. Jika tidak diangin-anginkan sebentar, aku takut akan meledak. Lebih baik aku ke BTN, mendinginkan diri di sana. “Sudah habis?” Aku bertanya kepada Emyr, sekadar basa basi ketika ia menyerahkan botol yang telah kosong. Kumasukkan botol itu sekalian ke dalam tas. Biar dicuci di sana saja nanti. Setelah semua siap, aku segera keluar. Menemui dua sejoli yang masih saja duduk kikuk di depan televisi. “Mas,” panggilku. Laki-laki itu menoleh. Sedikit terkejut melihat penampilanku. “Mau kemana?” tanyanya. “Aku mau ke BTN. Pulang mungkin agak malam. O ya, nanti makan saja, tidak usah menunggu. Aku sama Emyr makan di luar,” tuturku. Kutatap sebentar wajah tidak enak perempuan di sampingnya. “Lauknya kalau masih, suruh Mbak Ninik panaskan saja. Kalau gak cukup, masak sajalah apa yang ada di kulkas. Nasi juga lihat, kalau gak cukup, masak,” ucapku. Sebenarnya aku enggan untuk mengurus makan mereka. Mau makan atau tidak, kelaparan sekalian pun aku tidak peduli. Hanya saja aku ingin menunjukkan powerku di rumah ini pada perempuan itu. “Ninik ‘kan baru datang, Dek. Kasihanlah masih capek. Lagi pula, dia juga baru. Manalah bisa langsung di suruh ini itu,” bela laki-laki itu. “Makanya, tadi ‘kan aku suruh istirahat. Ngapain mau diajak mepet-mepetan,” sinisku. “Dek!” serunya. Sepertinya dia tidak senang dengan sindiranku. “Gak usah ngegas. Slowly. Itu benar ‘kan?” tanyaku kalem. “Kalau Mbak Ninik belum paham seluk beluk rumah ini, nanti tolong Mas jelaskan. Atau tanya Ibu. ‘Kan besok-besok dia yang akan jadi menantu dan istri kesayangan di rumah ini,” tuturku tetap kalem. “Maksud kamu apa?” tanya laki-laki itu masih dengan frekuensi tinggi. “Ya, begitulah maksudku. Pahami sendiri. Masa sarjana begitu saja gak paham,” sindirku. “Dek!” serunya lagi. “Sssttt. Ibu lagi tidur, nanti bangun. Sudah ya, Mas, Mbak. Aku berangkat dulu,” pamitku sambil menggandeng tangan mungil Emyr. Beberapa langkah, laki-laki itu kembali memanggil. Aku menghentikan langkah. “Ada apa lagi?” tanyaku. Kesal sebenarnya, tetapi tetap kulembutkan bicaraku. “Kita perlu bicara,” sahutnya. “O iya, tentu saja. Nanti malam kita musyawarah keluarga,” balasku santai. Pastilah dia ingin membicarakan tentang pernikahan mereka. Aku pun sudah tidak sabar membahasnya. Lebih cepat lebih baik. Akan kuberikan hadiah yang mengejutkan untuk mereka jika tetap kukuh ingin menikah. Hingga bukan hanya surprise yang akan mereka rasakan, bahkan mungkin saja syok. “Sudah, ya. Aku pamit. Assalamualaikum,” ucapku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN