Akhirnya aku mengajak Zee masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar ku.
"Bokap mana ?" tanya Zee sambil mendarat tubuhnya di sisi tempat tidur.
"Bokap udah tidur." jawabku sambil menaruh kantong obat yang tadi ku beli di meja belajar.
"So, explain." kata Zee dengan nada menuntut.
Aku menghela nafas panjang dan menghampirinya. Aku pun duduk di pinggir tempat tidur sambil menghadap kearah Zee. Sebenarnya aku takut jika harus menceritakan rencanaku ke Zee. Karena sifatnya yang protective, dia pasti tidak setuju dengan rencanaku.
"Jadi kemarin gue dengar pembicaraan Bu Sandra sama adiknya. Adiknya sedang mencari pengasuh buat anaknya." aku mulai menjelaskan dari awal kepada Zee.
"Terus hubungannya sama lo minum pil kontrasepsi apa ? Masa lo mau jadi pengasuh tapi minum obat itu ? Yang lo asuh anak umur berapa ? Anak yang bisa buat anak ?" potong Zee, dan aku langsung melayangkan pukulan ke lengannya.
PLAK!
"Auch! Sakit!" teriak Zee
"Makanya dengerin dulu donk. OVT aja." gerutu ku.
"Ck! Iya-iya sorry. Lanjut!"
"Dia butuh pengasuh yang juga bisa jadi Ibu s**u untuk anaknya. Dan gua butuh obat-obatan itu buat merangsang hormon gua, supaya bisa produksi ASI"
"Hah! Maksudnya ?" tanya Zee masih ga paham. Yang sebenarnya juga aku sendiri gak paham karena tidak mendengarkan pembicaraan Bu Sandra dengan adiknya sampai selesai.
"Ya, pokoknya gitu deh. Lo tau kan gua butuh uang banyak, dan yang penting dia berani bayar mahal buat itu. Dan klo bener kan gua bisa dengan cepet dapet uang buat operasi bokap gua."
"Enggak, enggak lo gila ya. Gua gak setuju. Gimana klo ternyata tuh orang bohong. Klo ternyata lo di jual terus dijadiin p*****r gimana ?"
Aku bergidik ngeri mendengar dugaan-dugaan dari Zee. Aku jadi bingung karena di satu sisi aku butuh biaya untuk biaya operasi Ayah, dan di sisi lain aku juga takut klo kata-kata Zee akan menjadi kenyataan.
"Tapi, masa sih ? Orang itu kelihatan baik koq. Apalagi dia adiknya Bu Sandra."
"Ck! Na, lo jangan terlalu naif deh. Yang emank baik sama lo itu kan Bu Sandra bukan adiknya. Emank lo kenal adiknya Bu Sandra itu seperti apa ? Sifatnya gimana ? Terus apa bener itu anaknya."
"Iya sih. Tapi..."
"Gak ada tapi-tapian. Pokoknya klo lo masih ngelakuin itu, gua bakal marah sama lo."
Aku jadi mencebik mendengar ancaman Zee. Aku tau dia mengkhawatirkan aku, tapi di sisi lain aku butuh pekerjaan itu untuk biaya operasi Ayah.
"Na, kan gua udah berkali-kali nawarin lo pinjeman buat biaya operasi bokap lo. Kenapa sih gak lo terima aja." protes Zee.
"Gua gak mau terus-terusan nyusahin lo Zee." kataku sambil menghela nafas panjang.
"Na, gua ini sahabat lo. Gua gak pernah ngerasa lo nyusahin gua. Please jangan ngelakuin hal aneh-aneh. Gua gak mau lo kenapa-napa." kata Zee lembut sambil memegang kedua bahu ku.
Aku tersenyum kepada Zee dan menganggukan kepala ku. 'Maaf klo gua harus bohong Zee. Tapi gua tetep akan coba jalanin kerjaan ini.' batin ku.
*****
Beberapa minggu kemudian aku mencoba mendatangi kantor Xander dan berharap kalo dia masih belum menemukan orang yang tepat untuk pekerjaan itu. Aku melangkah ke meja resepsionis untuk menanyakan keberadaan pria itu.
"Selama siang mbak ada yang bisa saya bantu." tanya resepsionis tersebut ramah.
"Siang mbak, bisa saya bertemu dengan Pak Xander."
"Mbak sudah ada janji ?"
"Belum mbak." jawab ku sambil menggeleng pelan.
"Maaf mbak kalo belum ada janji mbak gak bisa ketemu Pak Xander."
Aku menjadi lesu karena aku tidak bisa menemui Xander. Padahal harapan ku adalah dari pekerjaan ini.
"Ada apa ini ?" tanya seorang pria yang tiba-tiba berdiri disebelahku.
Sontak aku menoleh kearahnya. Dia sedang memberikan sebuah kunci ke resepsionis tersebut. Aku melihat dahinya mengeryit saat menatap ku.
"Lo kenapa ada disini ? Apa Xander yang nyuruh lo dateng ?" tanya pria itu.
Aku yang bingung dia berbicara dengan siapa langsung menoleh ke belakang, ke kanan dan ke kiri tapi tidak ada orang lain disekitar kami, dan aku sangat yakin matanya melihat kearah ku.
"Maaf, maksud bapak saya ?" Karena takut di bilang tidak sopan aku mencoba bertanya kepadanya.
"Lo lupa sama gue ?" tanya dia masih dengan wajah bingung.
"Hm..." aku bingung mau menjawab apa lagi. Tapi belum sempat aku menjawab yang lain dia sudah mengajak ku untuk mengikutinya.
"Kita ngobrol di dalem aja yuk."
Sebenarnya aku sedikit takut untuk ikut dengannya. Cuman satu-satunya cara agar bisa ketemu dengan Xander adalah dengan masuk ke dalam. Dan semoga aku bisa bertemu dengan Xander. Akhirnya aku hanya mengikutinya dalam diam. Aku sadar sesekali pria itu memperhatikan ku. Setelah kami masuk ke sebuah ruangan dia mempersilahkan aku duduk di sofa.
"Mau minum apa ?"
"Air putih saja pak." jawab ku yang lagi-lagi di sambut dengan wajah heran olehnya.
Akhirnya pria itu berjalan kearah pintu dan meminta sekretarisnya membuatkan minuman untuk aku. Lalu dia kembali menghampiriku dan duduk di depan sofa di depan ku.
"Udah lama ya gak ketemu. Lo beneran gak inget sama gua ?" tanyanya sambil mengangkat kaki kanan nya dan di topangnya di atas paha kirinya. Lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celanannya dan sibuk dengan benda tersebut selama beberapa menit.
Aku yang masih berpikir hanya tersenyum tipis tanpa menjawab pertanyaan nya.
"Gua Ben. Lo Yura kan ? Kita ketemu di night club bulan lalu."
Degh!
'Dia kenal gua dengan nama Yura ? Berarti dia udah pernah ketemu sama Yura. Klo gitu apa Xander juga ?' batin ku.
"Hello! Hello!!!"
Aku tersentak saat Ben melambaikan tangan didepan wajahku.
"Ah... so-sorry." kataku sambil tersenyum canggung.
"Gua bener kan ? Lo Yura kan ?" tanya Ben lagi.
"Ah... iya saya Yura. Maaf klo saya lupa sama Bapak."
"Pfttt.. Hahahahaha" Ben tertawa dengan kencang, dan hal itu membuat aku bingung.
"Lo itu bener-bener misterius ya. Padahal waktu ketemu di night club lo itu termasuk perempuan yang berani, malah lo berani deketin Xander dan menggodanya. Kenapa sekarang bertolak belakang. Seolah lo punya dua kepribadian. Hahahaha"
Degh!
'Jadi Yura pernah bertemu Xander ? Tunggu pesan yang dia kirim waktu itu. Artinya dia juga udah tau klo Xander membutuhkan wanita yang...'
"Hello!!!" lagi-lagi suara Ben memecahkan lamunanku.
"Ah... Sorry."
Tok... tok...
Suara ketukan di pintu membuat aku dan Ben mengalihkan pandangan kesana. Aku kira itu adalah sekretaris Ben yang membawakan minum yang dipesan tadi, tapi ternyata yang masuk adalah orang yang memang sedang aku tunggu.