Bab 2 wajahnya hitam sebelah

874 Kata
Benarkah, jodohku dia? Haruskah aku menikah dengan laki-laki sepertinya? Aku tersenyum tipis, lalu kembali menunduk. "Betul, itu calon suamimu?" tanya penghulu lagi. Aku tidak sanggup menjawab. Hanya anggukkan kepala sebagai jawaban. Meskipun sebenarnya aku sudah yakin dengan pilihanku. "Baiklah. Kita mulai saja ijab qabulnya." Aku menarik napas dalam. Dalam hati mengucapkan bismillah. Semua aku serahkan pada Yang Maha Kuasa. Meyakinkan diri, jika pernikahanku memang sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz. Semua orang terdiam. Mereka sibuk mengabadikan momen ini. Sebenarnya, aku keberatan mereka mengambil gambar pengantinku. Aku takut jika mereka akan menyebarluaskan foto-fotoku dan pengantinku. Aku tidak ingin, gambar-gambar itu nantinya akan sampai pada seseorang yang sudah membuatku tidak memiliki kepercayaan diri. Dan menaburkan rasa sakit yang teramat sangat. *** "Aku tidak bisa menikah denganmu, Ra. Orang tuaku tidak merestui kita." "Tapi kenapa?" tanyaku pada pria yang telah menanamkan sejuta bunga di taman hatiku. Namun, saat bunga sudah bermekaran, kini dengan tanpa rasa bersalah, dia menginjak dan membuangnya dengan seenaknya. "Kamu itu miskin, Raya. Kamu orang susah. Aku tidak akan merestui anakku, untuk menikah denganmu. Kau hanya akan menyusahkan dia. Menggerogoti uangnya, dan menikmatinya dengan ibumu yang janda itu," ujar seorang wanita yang baru saja datang. Deru ombak dan derasnya hujan menjadi saksi kepedihanku. Aku terjatuh terhempas pada duri yang sangat tajam. Dua tahun aku menunggu kepastian. Dua tahun, aku mendambakan pernikahan. Tapi, akhirnya hanya ada perpisahan yang menyakitkan. Jika saja aku tahu dari dulu, jika orang tua kekasihku tidak memberikan restu, tidak akan aku membuang waktu untuk menunggu kepulangannya. Menunggu dia yang menyelesaikan pendidikan di luar kota. "Dengar Raya, cari laki-laki yang sepadan denganmu. Putraku tidak pantas berdampingan dengan wanita yang hanya lulusan SMA. Dia itu calon sarjana. Dia akan jadi seorang dokter, dan sudah seharusnya dia menikah dengan dokter juga. Bukan pelayan restoran sepertimu!" pungkas wanita berpayung itu. Dia mengapit putranya untuk segera pergi menjauh dariku. Seperti orang bo_doh, aku hanya berdiri menyaksikan kepergian mereka. Air mataku jatuh dengan deras, sederas air hujan yang turun membasahi bumi. Ingin rasanya aku meraung dan berteriak sekencang mungkin. Bahagia yang kudambakan, ternyata harus berakhir dengan nestapa. *** "Sah!" "Sah!' Suara dua orang saksi dan tepukan tangan orang-orang di belakangku, membuatku tersadar dari kenangan masa lalu. Doa dipanjatkan, semua orang mengaminkan. Air mata yang tadi menggenang, kini luruh tanpa disuruh. Aku sudah menjadi seorang istri. Orang yang duduk di sampingku saat ini adalah suamiku. "Ini." Satu lembar tisu Raffi berikan padaku. Aku mengambilnya tanpa melihat ke arahnya. Terus menunduk hingga akhirnya tanpa disengaja tanganku bersentuhan dengan jarinya. "Gak papa, sudah sah. Jangankan dipegang, dielus juga boleh. Tapi, nanti. Sekarang tanda tangan dulu di sini," ujar penghulu. Tadinya aku bermaksud untuk mengambil pulpen yang disodorkan penghulu, tapi ternyata dia pun melakukan hal yang sama. "Cieee, sehati." Suara Mimi di belakangku membuatku salah tingkah. Rangkaian acara sudah selesai. Kini aku dan Raffi dipajang di pelaminan. Menjadi raja dan ratu untuk hari ini. Tamu undangan satu persatu berdatangan. Menjabat tangan, memberikan ucapan selamat. Senyum manis jadi penghias wajahku. Meskipun, sebenarnya pipiku terasa pegal. Tenggorokanku juga mulai kekeringan. "Kamu ingin minum?" tanya Raffi. Dia melihatku pada saat tanganku mengusap leher yang tertutup jilbab. Aku mengangguk, meskipun malu. Gegas Raffi turun dari pelaminan. Dia kembali dengan membawa satu gelas air mineral, juga sepotong kue di atas piring. "Terima kasih," ucapku. Pria itu hanya tersenyum. Semakin siang, tamu undangan semakin banyak. Tetangga serta teman-temanku hadir. Sebenarnya, aku tidak mengundang banyak orang, aku hanya mengundang orang-orang yang memiliki sikap baik dan santun. Tidak mengundang orang-orang yang memiliki bibir jahat dan suka nyinyir. Ini semua aku lakukan, karena menghargai pengantinku dan keluarganya. Aku tidak mau, jika mereka sakit hati mendengar ucapan-ucapan yang tidak mengenakan dari mulut tetangga. Teman-teman kerjaku dari restoran hadir. Satu persatu dari mereka memberikan selamat. "Selamat Raihana Kamaya," ucap temanku. Aku tersenyum dan mengangguk. "Selamat berbahagia, Sayang." "Makasih, Teh Neneng." Aku memeluk tubuh gempal teman kerjaku ini. "Ra, sebaiknya kamu matiin lampu saat malam pertama nanti," bisik teman lelaki yang dengan sengaja menggodaku. Aku mencubit lengan pria itu. Dan dia hanya cekikikan. "Tutup mata aja. Biar gak kelihatan itunya." "Pakein topeng Lee Min Ho, biar semangat malam pertama." Jika mereka yang berucap, aku tidak sakit hati. Karena aku tahu, sebenarnya mereka sayang dan peduli padaku. Teman-teman di restoran adalah keluarga keduaku. Mereka selalu ada dalam sedih dan piluku. Senyumku mengembang saat melihat keluarga kecil yang selalu harmonis tengah berjalan menghampiri pelaminan. "Selamat menempuh hidup baru, Ra!" Aku menyambut uluran tangan wanita yang terlihat lebih cantik dengan perut yang membuncit itu. "Terima kasih sudah datang, Teh," ucapku. Dia adalah Teh Arini dan A Yusuf. Mereka adalah pemilik restoran tempatku bekerja. Sejak meninggalnya Bapak, aku jadi tulang punggung bagi keluargaku. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan aku dan Ibu, dengan menjadi pelayan restoran. "Jadilah istri yang baik. Patuh sama suami, dan tidak meninggikan suara jika sedang berbicara. Jadikan suami itu sebagai ladang pahala untukmu." Aku mengangguk. Kueratkan pelukan pada wanita yang sudah kuanggap sebagai kakak ini. Meski kadang suka berteriak dan cerewet, tapi Teh Arin adalah bos yang baik. Dia royal pada pekerja, dan tidak pernah membedakan kami. "Ibuuu takut!!" Aku dan Teh Arini melepaskan pelukan saat Aisha, putri pertama mereka menangis melihat suamiku. "Tidak apa-apa, Sayang. Om-nya baik, kok." A Yusuf menenangkan putrinya. "Tapi, wajahnya hitam sebelah!" Deg! Ada yang berdenyut kala Aisha mengatakan hal itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN