"Apa istrimu akan melahirkan juga?" Aydin bertanya pada Evlan, sembari terus mamacu mobilnya.
Elvan menatap Aydin sejenak. "Iya." Pria itu mengangguk. "Hari ini aku akan mendapatkan seorang putra," lanjutnya bersemangat.
Aydin tersenyum. Dia menjadi bersemangat kembali setelah mendengar kata-kata yang terlontar dari pria di sampingnya itu. "Kau tahu, istriku juga akan melahirkan hari ini. Tapi …." Pria itu tak jadi melanjutkan perkataannya saat mengingat tentang kabar kecelakaan istrinya. Suasana hatinya kembali cemas.
"Tapi apa, Tuan?" tanya Elvan menunggu jawaban dari Aydin.
"Mmm… sayangnya dia mengalami kecelakaan," jawab Aydin berat. Matanya itu mengerjap, hatinya berharap keadaan istri dan bayinya baik-baik saja.
"Kecelakaan?" tanya Elvan kaget. Pria itu meneguk saliva-nya. Ia menatap wajah Aydin yang murung. Kemudian berkata, "Kau tenang saja, Tuan. Istri Tuan pasti akan baik-baik saja. Percayalah. Kita pasti akan bisa menggendong bayi kita nanti," Pria itu tersenyum penuh semangat.
Aydin mengangguk. Mengusap peluh keringat di keningnya sembari tersenyum. Dia harus kuat saat ini dan berhenti memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. "Oh iya, kau bilang bayimu akan lahir laki-laki?" tanya Aydin menoleh sejenak ke arah Elvan.
"Iya, Tuan," jawab Elvan melebarkan senyumnya.
"Kalau begitu selamat. Bayiku nanti juga akan lahir laki-laki. Kami sudah mengeceknya lewat USG, dan kata dokter aku akan mendapatkan seorang bayi laki-laki." Aydin merasa senang mengingat memori beberapa bulan yang lalu saat dirinya dan Sonya mengecek jenis kelamin anaknya. "Apa kau juga sudah mengeceknya?" tanyanya kemudian pada pria di sampingnya.
"Mengecek?" Elvan tampak bingung. "Oh maksudmu laporan USG?" Elvan menggeleng. "Tidak. Kami belum sempat mengeceknya," jawabnya sedikit ragu.
"Lalu bagaimana kau bisa tahu jenis kelamin anakmu?"
"Ini disebut insting seorang ayah, Tuan. Kau tahu, aku sudah lama memimpikan seorang putra. Aku yakin istriku Aisha akan melahirkan bayi laki-laki," ujarnya bersemangat penuh keyakinan.
"Aisha?" Aydin tiba-tiba menghentikan mobilnya saat mendengar nama itu. Pria itu seperti mengingat seseorang yang mungkin ia kenal.
"Ada apa, Tuan?" tanya Elvan terkejut saat mobilnya tiba-tiba berhenti.
"Oh, tidak. Tidak ada apa-apa." Aydin menggeleng dan kembali melajukan mobilnya. Pria itu mengerjap sejenak, seperti menyimpan sebuah kenangan lama di memorinya.
"Kau tahu, Tuan. Siang dan malam aku menunggu kelahiran Deniz. Lihat, bahkan aku sudah memberikannya sebuah nama sebelum dia lahir. Hehehe," kata Elvan seraya tertawa kecil.
"Deniz?" tanya Aydin sedikit terkejut. "Kau memberinya nama Deniz?"
"Iya. Apa ada yang salah?"
"Kau tahu, aku juga memikirkan nama itu untuk putraku nanti. Wow, ini sesuatu yang kebetulan atau sudah direncanakan? Hehehe." Aydin menggeleng seraya terkekeh. Aydin masih ingat, setelah mengetahui jenis kelamin bayinya, ia dan Sonya memutuskan untuk memberinya nama Deniz.
"Wah… sepertinya kita punya banyak kesamaan, Tuan. Istri kita melahirkan di rumah sakit yang sama, mereka juga akan melahirkan bayi laki-laki, lalu nama bayi kita juga sama. Ini sungguh menarik."
"Kau benar. Ini memang sebuah kebetulan yang luar biasa." Aydin tersenyum lebar. "Kita sudah sampai," ujarnya lagi begitu sampai di depan rumah sakit yang mereka tuju.
Elvan tampak menatap ke arah kaca mobil sampingnya. Dari dalam, ia bisa melihat nama rumah sakit yang terpampang besar dan menyala terang di atas. Pria itu meneguk ludah berkali-kali. Ia tak habis pikir kalau istrinya akan melahirkan di sini.
Setelah Aydin membawa mobilnya ke area parkir, mereka pun keluar dari mobil.
"Tuan, aku sangat berterima kasih kepadamu. Kau baik sekali," kata Elvan begitu keluar dari mobil.
"Kau tidak perlu berterima kasih. Aku yang harusnya mengucap maaf karena telah menabrakmu tadi," ucap Aydin masih menyesal. Ia menjabat tangan Elvan dengan ramah. "Semoga istri dan bayimu selamat, ya."
"Iya, Tuan. Semoga kita bisa bertemu lagi." Elvan tersenyum renyah. Tidak biasa ia bersikap ramah pada seseorang. Tapi kali ini ia tampak berbeda.
"Kalau begitu ayo kita masuk!" ajak Aydin setelah melepaskan jabatan tangannya.
"Kau duluan saja, Tuan. Istrimu pasti sudah menunggumu. Cepatlah kau jenguk dia."
"Baiklah kalau begitu." Setelah melemparkan senyum, Aydin segera bergegas memasuki rumah sakit.
Sedangkan Elvan masih berdiri di luar. Pria itu terus saja memperhatikan bangunan rumah sakit besar yang dominan putih itu. "Kau memang kepaarat, Kak Nermin. Kenapa kau membawa Aisha di rumah sakit sebesar ini. Siapa yang akan menanggung biaya bersalinnya sekarang. Dia pikir aku ini sultan apa." Pria itu menggeleng, membuang napas gusar, lalu memilih untuk berjalan menuju pintu masuk.
Dengan langkah canggung, Elvan menoleh ke kanan dan kirinya. Memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk. Dari penampilan orang-orang itu sangat rapi dan bisa ditebak kalau mereka orang-orang berduit.
"Seumur hidup baru kali ini aku memijakkan kaki di rumah sakit seperti ini." Mata lelaki itu berganti mengamati interior rumah sakit. "Ini bahkan bisa disebut hotel bintang lima," gumamnya lagi.
***
Setelah bertanya di lobby, Aydin berlari mencari kamar tempat istrinya dirawat. Dari lorong ia bisa melihat kedua mertuanya yang duduk di ruang tunggu, ditemani Shirin. Aydin bergegas menghampirinya.
"Aydin?" Hazmi langsung bangun dari duduknya begitu melihat menantunya bergerak cepat ke arahnya.
"Ayah mertua, bagaimana keadaan Sonya?" tanya Aydin begitu sampai di sana.
"Apa kau masih peduli dengannya?" Defne dengan nada marah menyahut cepat. Wanita baya itu berdiri sembari membuang muka.
"Defne, sudahlah." Hazmi terlihat menegur istrinya. Pandangan pria baya itu pun kembali terfokus pada Aydin. Tangannya mengelus pundak Aydin dan berkata, "Berkat Tuhan, Sonya dan bayinya baik-baik saja."
Aydin menghela napas lega mendengar kabar baik tersebut "Maaf, aku datang terlambat. Tadi ada rapat penting, jadi aku tidak tahu kalau Sonya mengalami kecelakaan," kata Aydin bernada menyesal.
"Memang itu yang selalu kau lakukan!" sahut Defne ketus. Wanita itu masih tak mau memandang menantunya.
"Defne!" tegur Hazmi sekali lagi.
"Ayah, apa aku sudah bisa melihat kondisi Sonya?" tanya Aydin.
"Kami tadi sudah menjenguknya. Dia sedang istirahat. Kau boleh masuk ke dalam," kata Hazmi mempersilakan.
Aydin bergegas masuk ke dalam ruangan di mana istrinya dirawat. Di sana, pria itu melihat Sonya yang berbaring lemah lengkap dengan peralatan medis. Kaki Aydin melangkah pelan, seolah berat untuk membawa tubuhnya. Ia mulai meraba selimut putih yang membalut tubuh lemas istrinya. Pandangan tak teralihkan dari wajah pucat Sonya. Sedetik kemudian, air mata berlinang dari sudut pupilnya.
"Maafkan aku, Sonya. Maafkan aku karena tidak bisa menjagamu." Aydin mengerjap. Kakinya melangkah lebih dekat lagi. Ia membelai rambut Sonya. "Kau pasti akan segera keluar dari sini. Aku janji," kata Aydin yakin.
***
TO BE CONTINUED