Kekhawatiran

1115 Kata
Di sisi lain, Elvan yang sudah sampai di ruang resepsionis langsung bertanya keberadaan istrinya. "Maaf, Tuan. Di mana pasien hamil yang bernama Aisha? Aisha sehgal?" tanya Elvan pada pekerja resepsionis. "Sebentar." Pekerja resepsionis itu mengecek di layar monitornya sejenak. "Pasien ada di ruang bersalin. Kau bisa lurus ke depan dan belok ke kiri. Di sana nanti ada plat bertuliskan ruang bersalin. Kau bisa menunggu di ruang tunggu nantinya," jelas petugas resepsionis itu panjang lebar. "Baik, terima kasih, Tuan." Setelah mengatakan itu, Elvan langsung berlari ke jalan sesuai yang petugas tadi tunjukkan. Dari jarak yang tak terlalu, dia sudah melihat kakaknya yang tengah duduk di sebuah kursi tunggu. Pria itu mempercepat langkahnya menghampirinya. "Kakak!" panggil Elvan begitu hampir sampai. Nermin menoleh, merasa senang melihat adiknya sudah datang. "Akhirnya kau datang juga, ya!" sambutnya dengan berdiri. "Kakak, bagaimana keadaan Aisha? Dan putraku? Bagaimana keadaannya? Mereka baik-baik saja kan?" Elvan langsung memberondong pertanyaan pada Nermin. Wajah pria itu berseri-seri, tampak tak sabar menegok anak istrinya. "Apa kau bawa uangnya?" kata Nermin balik tanya. "Kakak, apa kau tidak pernah sekali saja berhenti memikirkan soal uang?" "Hey, bocah tengil!" Nermin menjenggur kepala adiknya. "Aku tanya soal uang untuk pembayaran biaya bersalin. Kalau kau tidak bawa uangnya, mereka tidak akan membiarkan anak dan istrimu dibawa pulang. Kau harus melunasi dulu baru kau bisa melihat mereka." "Peraturan macam apa itu? Aku ayah dan suaminya, kenapa aku tidak boleh menemui mereka?" Elvan memberi jeda sejenak. "Itu pasti hanya omong kosongmu saja!" "Omong kosong bagaimana?!" Nermin mengambil napas, mencoba bersikap tenang. "Adikku tersayang, ini di rumah sakit, jangan buat keributan di sini. Cepat katakan, kau bawa uangnya atau tidak?" tanya Nermin kali ini dengan suara pelan namun penuh penekaKakak, apa kau bawa tasmu?" giliran Elvan balik bertanya. Nermin berdiam sejenak, memeriksa tasnya. Ia celingukan, dan akhirnya matanya itu menemukan tasnya di bangku ruang tunggu. "Tentu saja aku membawanya. Aku tidak akan membiarkan tas mahalku ini tanpa bersamaku," kata wanita itu sembari mengambil tasnya. Setelah memungutnya dan mengalungkannya di lengan, wanita itu kembali menghampiri adiknya. "Elvan, kau lihatterkekehembari mengamati suasana rumah sakit. "Ini benar-benar rumah sakit tempat orang-orang kaya. Lihat mereka, lihat yang datang di rumah sakit ini,"–mata Nermin kini memperhatikan setiap orang di sekelilingnya–"apa ada yang berpenampilan seperti kita? Rumah sakit ini benar-benar seperti hotel bintang lima." Wanita itu masih saja mengagumi interior rumah sakit itu. "Memangnya kau pernah ke hotel bintang lima sampai kau membandingkannya?" tanya Elvan menyindir. "Ah, kau jangan begitu, Elvan." Nermin menepuk bahu adiknya. "Jangan menyindirku seperti itu. Aku memang tidak pernah ke hotel bintang lima, tapi setidaknya aku pernah melihatnya di TV." Elvan terkekeh. "TV yang seperti semut berkerumun itu? Apa matamu tidak sakit melihat TV yang gambarnya hanya hitam putih?" Elvan menggeleng tak habis pikir. "Jangan mengejekku, Elvan. Hanya itu TV yang aku punya." Nermin kembali menepuk adiknya, kali ini bagian pantatnya. "Memangnya kau sendiri pernah menginap di hotel bintang lima?" ujar Nermin balik tanya. Elvan langsung menghentikan tawanya. "Ya … tidak juga," jawabnya ragu. "Hahaha." Giliran Nermin yang tertawa mengejek. "Kau sendiri tidak pernah, lalu kenapa kau mengejekku tadi. Hahaha." Nermin kembali menjenggur kepala adiknya. "Ah, sudahlah. Katakan, bagaimana keadaan Aisha dan putraku?" tanya Elvan kembali ke masalah awal. "Istrimu itu baik-baik saja. Dia hanya pingsan," jawab Nermin tak bersemangat. "Lalu putraku?" Nermin terdiam. "Kakak katakan bagaimana putraku?" tanya Elvan mulai panik. Nermin masih terdiam, menciptakan raut wajah murung yang dibuat-buatnya. "Kakak jangan diam saja seperti patung. Wajahmu itu sangat jelek kalau seperti itu." "Elvan, aku tidak tega mengatakannya." Nermin mengusap wajahnya seperti orang yang menyeka air matanya padahal tidak ada air apapun yang menetes. "Kau semakin membuatku panik, Kak!" Wajah Elvan mulai memerah. "Katakan apa anakku selamat?" "Ya Tuhan, Kakak cepat katakan bagaimana keadaan putraku?" tanya Elvan tidak sabaran. Nermin masih terdiam. Wanita itu menyembunyikan wajahnya, menahan tawa ketika melihat wajah adiknya yang dilanda kepanikan. "Kakak!" Elvan mencengkeram kedua bahu Nermin dan menggoyang-goyangkanya. "Jangan bilang kalau anakku itu-" Pria itu tidak jadi melanjutkan perkataannya saat seorang suster menghampirinya. "Maaf, Tuan. Apa Tuan suami Aisha yansaja melahirkan?" tanya suster tersebut. Elvan menyingkirkan tangannya dari bahu Nermin. Lantas pria itu menatap ke arah suster. "Suster, anak saya baik-baik saja kan?" tanyanya bernada sendu. "Iya, Tuan. Bayi dan istri anda baik-baik saja," kata suster itu. "Apakah Bu Nermin tidak memberitahumu?" tanyanya kemudian. Mendengar bayinya lahir sehat, Elvan merasa gembira. Pria itu mengusap air matanya yang hampir menetas. "Jangan tanyakan itu, Suster. Wanita ini memang sudah gila. Dia suka sekali membuatku kesal," ujar Elvan menunjuk kakaknya. "Aduh … suster, kau merusak segalanya. Seharusnya kau lihat wajah adikku yang bodoh ini ketika menangis. Lucu sekali." Nermin cekikikan. "Diam saja kau kakak laknat!" umpat Elvan. Pria itu masih mengusap pipinya yang memerah. Melihat tingkah aneh mereka, suster itu hanya meneguk ludah keheranan. Sesekali ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Suster, katakan sekarang di mana bayiku? Aku ingin sekali melihatnya!" decak Elvan tak sabaran. "Bayi anda sedang dimandikan. Setelah rapi, kami akan membawanya pada ibunya. Kalian bisa menemuinya nanti," jelas suster. "Bayiku benar-benar lahir sehat, kan, Sus?" tanya Elvan lagi meyakinkan. Suster itu mengangguk dua kali. "Iya," jawabnya. Sontak Elvan girang. Pria itu langsung memeluk suster tersebut dan mencium pipinya kanan kiri secara bergantian. "Terima kasih, Sus. Terima kasih banyak!" decaknya gembira. Suster itu kaget dibuatnya. "Hey, apa kau sudah gila!" Nermin langsung menyingkirkan tubuh adiknya itu dari hadapan suster. "Maaf, Suster. Adikku ini memang tidak waras. Dia kalau lagi senang memang begini. Maaf, ya. Hehehe," ujar Nermin sembari mengelap pipi suster bekas ciuman Elvan dengan ujung bajunya. "Kakak, kau tunggu sini. Aku akan belikan makanan lezat untuk kalian. Kita akan makan malam bersama nanti setelah Aisha keluar dari rumah sakit. Aku juga akan membelikan baju untuk putraku," kata Elvan. Lantas pria itu langsung bergegas dari sana, bahkan Nermin tak sempat menghentikannya. "Lihatlah tingkahnya. Memang seperti itu," kata Nermin sembari menyaksikan kepergian adiknya. Suster tadi hanya menghela napas. Ia masih tak habis pikir, entah keluarga seperti apa yang sedang di hadapinya saat ini. "Benar-benar pria tidak waras ya!" Nermin tertawa terpingkal sembari menepuk-nepuk bahu sang suster. "Sudah selesai, Bu?" tanya Suster membuat tawa Nermin berhenti. "Apanya?" tanya wanita itu seraya menoleh ke arah suster. "Ketawanya!" jawab Suster datar. "Kalau sudah selesai, Bu Nermin bisa ke ruang resepsionis untuk membayar tagihan rumah sakit." "Apa?!" Wanita itu langsung terkesiap saat mendengar kata tagihan. Bibirnya yang tadinya tertawa renyah, sekarang menjadi cemberut pahit. "Tagihan?" "Mari, Bu. Ke ruang resepsionis!" ajak suster. "Tunggu dulu, Sus. Biarkan adikku datang dulu. Dia yang akan membayarnya." "Anda juga bisa membayarnya kan?" kata suster sedikit ketus. "Silakan ikut denganku." Suster itu pun langsung beranjak. "Ya Tuhan … ujian apa lagi ini…." Terpaksa, Nermin pun berjalan membuntutinya. *** TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN