Permintaan Maaf

1154 Kata
Setelah melihat keadaan istrinya, Aydin keluar dari ruangan. Ia kembali menemui mertuanya. "Ayah, Ibu, kalian pulang saja. Kalian pasti capek. Biar aku yang menjaga Sonya." Aydin berbicara pada mereka dengan nada sopan. "Tidak! Aku ingin tetap di sini menjaga putriku dan cucuku," kata Defne bernada ketus. "Tapi, Ibu. Leon sendirian di rumah. Dia pasti merasa kesepian. Tolong jaga putraku ya, aku mohon!" pinta Aydin, merujuk pada Leon. Leon adalah anak laki-laki berusia 5 tahun yang diadopsi oleh Aydin sebelum Sonya mengandung. "Tidak perlu menghawatirkan Leon. Dia aman bersama Elma di rumah," kata Defne sedikit ketus. "Defne!" Hazmi tampak menegurnya. "Bagaimana bisa aku percaya padanya? Istrinya mau melahirkan saja dia tidak ada di dekatnya. Sampai-sampai Sonya harus mengalami kecelakaan baru dia mau menyempatkan waktu menemaninya. Apa dia tidak tahu tanggung jawab seorang-" "-Defne!" tegur Hazmi lagi sedikit keras. "Jangan mengungkit-ungkit kejadian yang sudah terjadi. Lagipula Aydin juga tidak tahu akan terjadi seperti ini." "Bagaimana dia bisa tahu. Kalau yang ada dipikirkannya hanya kerjaan. Sampai-sampai tidak punya waktu untuk keluarganya." "Kau bisa diam nggak!" Hazmi mulai marah saat istrinya itu mengatakan hal buruk tentang menantunya. "Ayah." Aydin mengedipkan matanya pelan bermaksud menghentikan ayah mertuanya. Lantas pria itu menatap ke arah ibu mertuanya. "Ibu, aku minta maaf kalau selama ini aku tidak punya waktu bersama dengan Sonya. Aku tahu aku salah, tapi-" "-sudah, tidak usah membela diri," sahut Defne seraya memalingkan wajahnya. Mendengar perdebatan mereka, Shirin yang masih berdiri di sana hanya terdiam. Wanita itu tidak ingin dan tidak seharusnya ikut campur urusan keluarga mereka. "Aydin, benar kau tidak apa-apa sendirian di sini menjaga Sonya?" tanya Hazmi kemudian. "Iya, Ayah. Besok aku akan membawa Sonya pulang kalau sudah diizinkan dokter," kata Aydin. "Baiklah kalau begitu, kami akan pulang-" "-tidak!" Defne masih mencoba mengelak. "Jangan membuat masalah. Ayo kita pulang!" kata Hazmi menekankan. "Kami pulang dulu, ya! Jaga diri baik-baik. Kalau ada kabar penting, langsung hubungi ayah, oke?" Hazmi mengelus bahu Aydin dan tersenyum. "Iya, Ayah!" seru Aydin–mengangguk. "Ayo!" Hazmi pun langsung menggandeng Defne yang masih kesal. "Sebentar!" Defne melepaskan pegangan tangannya suaminya. Wanita paruh baya itu bergerak ke arah Shirin. Ia berbicara padanya. "Shirin, Tante pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa dengan Sonya, tolong langsung hubungi tante, oke!" "Tante jangan khawatir, aku akan mengabari Tante begitu ada kabar terbaru," ujara Shirin membuat Defne senang. "Ayo!" Hazmi kembali mengajak Defne pergi dari sana. "Shirin, kau juga boleh pergi. Biar aku saja yang menjaga Sonya," kata Aydin pada Shirin. "Tidak, Aydin. Aku akan tetap di sini!" ujaranya menekankan. "Aku sangat marah padamu, Aydin! Bagaimana bisa kau meninggalkan Sonya dalam keadaan usia kandungan yang sudah tua. Harusnya kau selalu ada di dekatnya. Kau hanya memikirkan pekerjanmu saja." Aydin menunduk dan berkata, "Aku tahu aku salah." "Aku tahu kau tidak mencintai Sonya." Perkataan Shirin langsung membuat Aydin menatapnya–sedikit terkejut. "Jangan menyangkal! Aku tahu sikapmu itu dingin pada Sonya. Tapi Aydin, kau harus menerima kenyataan kalau Sonya adalah istrimu. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan darimu. Entah kau memberinya dengan tulus atau tidak, tapi setidaknya dia mendapatkan apa yang sudah menjadi haknya." "Aku sudah menghormatinya sebagai istriku." Aydin tampak membela diri. "Menghormatinya itu sebuah kewajiban. Dia berhak mendapatkan lebih dari sekedar hormat. Dia membutuhkanmu, Aydin. Dia ingin kamu mencintainya karena dia sangat mencintaimu. Aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau dia akan nekat melakukan-" Shirin mengerjap, tak jadi melanjutkan perkataannya. Rasanya ia tak tahan jika melihat sahabatnya melakukan hal di luar nalar." "Melakukan apa?" tanya Aydin penasaran. Shirin menggeleng. "Tidak, kau tidak akan tega mendengarnya. Atau … bisa saja kau bersikap tak acuh." "Shirin, apa yang kau katakan. Sonya itu adalah istriku, tentu saja aku akan khawatir tentangnya. Aku memang belum bisa membalasnya cintanya, tapi bagaimanapun juga dia adalah istriku. Dan sekarang dia sudah menjadi ibu dari anakku." Aydin memberi jeda. "Katakan, apa yang dia lakukan sehingga membuatmu merasa ketakutan seperti itu?" tanya Aydin semakin penasaran ketika melihat wajah Shirin yang cemas. "D-dia …" Shirin mengerjap sejenak, lantas berkata, " Tadi, dia berniat untuk bunuh diri." "Apa?!" Mendengarnya, sontak membuat Aydin terkejut. "Iya. Dia ingin bunuh diri. Dia bilang dia tidak peduli dengan hidupnya. Dia menaiki mobil dengan kencang, untung saja aku berhasil meredam amarahnya." Aydin melangkah kakinya mundur. Mulutnya ia bungkam dengan tangan. Pria itu masih tak menyangka kalau istrinya akan melakukan hal senekat itu. "Aydin, Sonya itu butuh perhatian darimu. Dia gadis yang kesepian, meski di tengah hingar-bingar kehidupannya. Dia sering curhat padaku, dia lelah menghadapi sikapmu yang dingin. Dia menginginkan kasih sayangmu." Shirin memberi jeda. "Aydin, dengar. Sonya adalah satu-satunya sahabat terbaikku dari dulu hingga saat ini. Dulu dia selalu ceria sebelum menikah, jika sesuatu terjadi padanya, aku tidak akan memaafkanmu, Aydin." "Aku tidak pernah menginginkan hal ini terjadi padanya." "Kalau begitu jaga dia, Aydin. Beri dia perhatian. Masih ada kesempatan untukmu melakukannya. Soal cinta, cinta itu bisa datang seiring berjalannya waktu. Kuncinya hanya kebersamaan dan kejujuran. Kalian harus sering bersama, menghabiskan waktu bersama, dan-" Wanita itu tiba-tiba menghentikan perkataannya saat suara dering ponsel terdengar dari tasnya. "Sebentar." Shirin membuka tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mengangkat teleponnya. "Iya, halo." "Apa? Bagaimana bisa mendadak seperti ini. Aku tidak bisa." "Baiklah." Setelah berbicara sejenak dengan seseorang, Shirin kembali menutup teleponnya dan menaruh ponselnya dalam tas. "Siapa yang telepon?" tanya Aydin. Shirin agak malas menjawabnya. "Klien. Katanya ada masalah mendadak, dia menyuruhku datang ke kantor." "Kalau begitu pergilah. Aku tahu pasti sangat penting bagimu." "Tapi Sonya-" "-ada aku di sini!" ucap Aydin menyelak perkataan Shirin. "Kau kan tadi yang bilang kalau aku harus menjaga dan selalu bersamanya. Sudah kau pergi saja, biar aku yang menjaganya." Shirin menarik napas dan membuangnya. "Baiklah kalau begitu. Tapi tolong, aku minta ingat semua nasihatku tadi. Kau harus memberi perhatian lebih pada Sonya. Jangan sampai dia merasa sakit lagi." "Iya … iya." "Oke, aku pergi dulu. Jangan lupa kabarin kalau ada apa-apa dengan Sonya." Aydin mengangguk. Setelah menyaksikan kepergian Shirin, pria itu kembali berjalan menuju ruang tempat Sonya berbaring. Dia masih melihat istrinya itu masih terlelap. "Aku tidak bisa janji, tapi aku akan mengusahakannya," kata Aydin. Pria itu berjalan ke sebuah sofa yang tersedia di pinggiran ruangan. Ia mendudukkan tubuhnya di sana. Sedetik kemudian ponselnya berdering. Aydin merogoh ponsel tersebut dari sakunya. Ia langsung mengangkatnya begitu melihat nama Harun yang menelponnya. "Halo, Aydin. Bagaimana keadaan Sonya?" tanya Harun dari seberang telepon. Dari nada suaranya, dia ingin cepat mendengar kabarnya. Sebelum menjawabnya, Aydin memandang ke arah istrinya dari sofa tempatnya duduk. "Syukurlah dia baik-baik saja. Aku tadi sangat takut sekali, Harun," kata Aydin mencurahkan isi hatinya. "Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu padanya." "Bagus kalau dia baik-baik saja." Suara Harun terdengar lega. Oh iya, bayinya bagaimana?" "Aku belum melihatnya. Kata ayah mertua bayinya harus diberi perawatan secara intensif. Semoga dia baik-baik saja." Aydin menyeka matanya yang mulai membendung butiran kristal. "Aku tidak percaya rasanya kalau aku akan memiliki bayi sendiri. Darah dagingku sendiri. Bisa kau bayangkan itu, Harun. Aku sangat senang sekali." *** TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN