"Aku turut gembira, Aydin. Tuhan tahu kau adalah ayah yang baik, makanya dia menganugerahimu seorang bayi." Harun memberi jeda sejenak. "Tapi… aku harap kau tidak akan membeda-bedakan anak-anakmu nanti, hehe," canda Harun. Sejatinya ia tahu betul, Harun tidak akan melakukan hal itu.
"Itu tidak akan, Harun. Meskipun Leon bukan putra kandung kami, tapi kami sudah menganggapnya anak sendiri. Hanya Leon yang membuatku bertahan selama ini. Dia adalah anakku dan akan tetap menjadi anakku." Aydin membayangkan wajah putra angkatnya. Ia menarik napasnya sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya kembali. "Anak kandungku dan Leon akan menjadi saudara nanti. Mereka akan membagi hubungan satu sama lain. Aku tidak bisa membayangkan mereka akan besar bersama. Aku sangat senang memikirkannya." Tergores senyum begitu lepas di garis bibir Aydin.
"Oh iya, bagaimana keadaan di kantor?" tanya Aydin. Pria itu melirik jam tangannya yang menunjuk pukul 10 malam. "Apakah kau masih di kantor?"
"Iya, Aydin. Aku masih di kantor. Masih ada sedikit yang harus aku kerjakan. Sebentar lagi aku akan pulang. Kau tidak perlu khawatir, aku bisa mengatasi keadaan di sini. Semuanya baik-baik saja."
"Bagus kalau begitu." Aydin sudah yakin kalau sahabatnya itu akan menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
"Oh iya, nanti aku akan menjenguk ke rumah sakit jika sempat," kata Harun kemudian.
"Tidak perlu," cegah Aydin. "Aku tahu kau sangat capek, Sobat. Kau bisa langsung pulang saja dan istirahat."
"Kau benar, tapi sayangnya aku tidak punya seseorang yang menjadi alasanku untuk pulang cepat, hehehe."
"Hahaha. Makanya cepat cari istri. Biar hidupmu sedikit berubah," kata Aydin bernada bercanda.
"Setelah mengamati rumah tanggamu, sepertinya itu membuatku takut untuk masuk ke dalam dunia pernikahan. Bukankah itu sesuatu yang sulit?"
"Kau benar, tapi … tidak semua orang bernasib sama denganku. Bisa jadi kau mendapatkan wanita yang kau cintai dan kalian bisa menikah bahagia. Mungkin dunia pernikahanmu akan indah."
"Sayangnya aku belum pernah bertemu dengan wanita seperti itu. Selama ini yang aku temui hanyalah wanita sombong dan pengering dompet saja." Harun tertawa sejenak. "Aku tidak yakin ada wanita tulus di zaman sekarang ini."
"Pasti ada," kata Aydin yakin. Saat mengatakan itu, pikirannya seperti tengah membayangkan seseorang. Mungkin seseorang dari masa lalunya.
Aydin mengerjap, mencoba menghapus kenangan yang masih membayangi pikirannya. "Oh iya, Harun, tolong nanti kau transfer uang untuk biaya rumah sakit ya. Pakai uangku yang dikantor dulu. Aku akan mengirim tagihannya."
"Siap, Bos!"
"Ayolah, kau selalu menggodaku dengan kata itu. Aku ini bukan bosmu, aku adalah sahabatmu. Dan kau adalah pengacara pribadiku. Bahkan kita sudah seperti saudara."
"Aku hanya bercanda, Aydin. Hehehe."
"Baiklah, aku tidak mau menggangumu lagi. Lanjutkan pekerjaanmu dan cepatlah istirahat. Kau itu bukan mesin atau robot, kau masih perlu istirahat."
"Oke, Aydin. Sampai nanti."
Aydin pun langsung mematikan panggilannya setelah selesai mengobrol. Ia mengamati istrinya yang terbaring, sembari merilekskan tubuhnya di kursi. Rasa lelah setelah seharian penuh bahkan sampai malam ia bekerja, membuat daya tubuhnya menurun. Sepertinya ia harus istirahat sejenak untuk memulihkan keadaan.
Sayup angin malam yang masuk melalui fentilasi jendela, serta dinginnya suhu AC membuat mata Aydin tak kuasa untuk terpejam. Pria itu pun sedikit demi sedikit menutup matanya dan mulai tertidur.
Beberapa saat kemudian, Sonya terbangun dari tidurnya. Penglihatannya yang masih samar-samar itu mencoba menganalisa keadaan sekitar. Matanya menyapu pandang, sampai pada titik ia menemukan sosok Aydin yang terpulas di kursi dalam keadaan duduk.
"A-aydin." Bibirnya yang masih pucat itu mencoba membuka suara.
Wanita itu mencoba membangunkan tubuhnya. Tampaknya rasa sakitnya sudah berkurang karena dokter sudah memberinya obat anti nyeri. Terdapat infus yang masih mengikat di tangannya. Sonya langsung mencabutnya begitu saja. Lantas, kakinya yang lemah itu mulai menuruni ranjang. Terasa dingin, saat telapak kakinya menyesap lantai.
"Di mana bayiku?" tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Sonya bersikeras mencari bayinya. Ia membuka pintu ruangan dan keluar begitu saja. Dengan langkah lunglai, ia menyusur lorong rumah sakit yang menghubungkan ruang tempatnya di rawat dan ruang bayi. Sesampainya di ruang bayi, Sonya melihat dari jendela kaca besar. Tampak bayi mungil yang berada di dalam sebuah tabung kaca lengkap dengan penerangan.
Menyadari keadaan sekitar sepi, wanita itu berniat untuk masuk ke dalam ruangan. Kebetulan saat itu pintunya tidak dikunci karena ada seorang suster yang tengah berlalu lalang mengurus bayi Aisha. Dan begitu suster itu keluar sebentar, Sonya memanfaatkan momen itu untuk menyelinap masuk ke dalam.
"Bayiku!" seru Sonya penuh haru. Wanita itu bergerak ke arah bayinya yang berada di dalam sebuah tabung kaca. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengambil dan memeluknya. "Deniz," ucapnya terharu. Tangannya yang masih pucat itu bergetar saat mengelus rambut hitam bayinya.
"Kau adalah malaikatku. Dengan kehadiranmu, semoga ayahmu semakin menyayangi ibumu ini." Sonya meraih tangan mungil itu dengan telunjuknya. "Namamu adalah Deniz. Apa kau senang dengan nama itu? Deniz Alvendra." Setitik air mata jatuh menyentuh kulit lembut sang bayi. Namun bayi itu tidak bereaksi sama sekali.
"Aku tidak mendengar suaramu. Maukah kau mengeluarkan suara imutmu itu, Nak? Setidaknya meringik." Sonya terus-terusan berbicara pada bayinya itu. "Putraku yang tampan. Kau adalah belahan jiwaku. Kau-"
Sonya berhenti saat jemarinya tak sengaja menyentuh lubang hidung bayi itu. Ia sedikit terkejut. Lantas ia mengeceknya kembali.
Tidak ada semburan napas yang terasa. Hal itu semakin membuat Sonya panik.
"Deniz! Deniz ada apa denganmu?" Sonya menepuk-nepuk lembut pipi mungil bayi itu. "Deniz tolong buka suaramu. Menangislah untuk ibumu ini, Nak!" kata Sonya panik.
"Kenapa kau tidak bernafas. Kenapa detak jantungmu tidak terasa?" Sonya berkali-kali mendekatkan tubuh anaknya itu di dadanya. Namun ia tak merasakan getaran apa pun.
"Tidak! Tidak mungkin!" Sonya menggeleng berkali-kali. Bibir pucatnya gemetar, begitupun dengan tubuhnya. "Tidak ada yang terjadi apa-apa denganmu. Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu, Nak. Tidak akan. Kau adalah satu-satunya kesempatan yang kupunya demi terus bersama dengan ayahmu. Tolong jangan lakukan ini pada ibumu. Bangun ...Nak … kumohon menangislah untukku."
Derai air mata mengucur hebat membasahi pipi pucat Sonya. Hatinya hancur saat menyadari bayinya itu tidak bernapas lagi. "Tuhan, kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa, Tuhan? Kenapa? Kenapa kau membuat orang-orang yang aku sayangi jauh dariku, kenapa Tuhan … kenapa!!!!" Sonya mengadu pada Sang Kuasa dengan kepala yang mendongak ke atas.
"Tidaaakk…" Ia bahkan menjerit sampai suaranya tidak terdengar lagi. Kemudian pikirannya mulai terbebani. Ia ingat kata-kata Shirin kalau bayi inilah satu-satunya hal yang bisa mendekatkan dirinya dengan Aydin. Hanya bayi ini yang bisa memberikan kesempatan untuk ia mendapatkan cinta Aydin. Lalu, saat kesempatan itu tidak ada lagi, apa yang bisa diharapkan untuk tetap menjalin hubungan dengan suaminya?
Tubuh Sonya merosot, tersimpuh dengan terus memeluk bayinya. Kepalanya menggeleng berkali-kali, mulutnya beradu gigit, dan tangisnya begitu deras. Namun suara dari kerongkongannya itu tak mampu keluar. Hatinya benar-benar hancur saat ini.
***
TO BE CONTINUED