Suara tangis bayi tiba-tiba terdengar merasuk gendang telinga Sonya. Wanita itu melotot. Spontan ia mengecek bayi yang di dekapnya. Masih sama, tak ada reaksi apapun. Bayinya itu tidak juga bernapas. Kemudian suara ringkikan bayi tadi terdengar kembali. Sonya menoleh ke belakang. Ia menyadari bayi yang bersuara itu berada di ruangan samping. Ruangan yang hanya diberi sekat oleh tirai.
Sonya mendirikan tubuhnya dengan susah payah. Tenaganya begitu lemah. Dengan tergontai ia berjalan ke ruangan sebelah. Di sana terlihat bayi mungil yang tengah meringik di dalam keranjang. Itu adalah bayi Aisha.
Sonya mulai mendekatinya. Hatinya langsung tersentuh begitu melihat wajah bayi itu. Ia melangkah lebih dekat lagi. Wanita itu menyentuh bayi di dalam keranjang tersebut dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya masih membopong bayinya sendiri. Begitu jarinya mencoba meraba pipi mungil bayi dalam keranjang, tangan kecil langsung terlebih dahulu meraihnya dan menggenggamnya.
Hati Sonya langsung cair. Rasa pedih yang dideritanya sejenak lenyap sedikit saat bayi itu menghentikan tangisnya ketika menyentuh jemarinya.
"Lucu sekali." Sonya tersenyum penuh kagum.
Ia menunduk, memandangi bayinya yang masih terdiam tak bernapas. Kemudian ia meletakkan bayi kandungannya itu ke dalam keranjang bayi Aisha, dan mengambil bayi tersebut.
"Kamu manis sekali, Nak." Sonya mengelus bayi itu yang terus menendang-nendang dengan kedua kaki kecilnya. Ia mengecup keningnya yang masih lunak. Sonya membuka penutup tubuhnya. "Kau ternyata bayi perempuan," ujarnya pelan. Kemudian ia mendekapnya lagi, dan menciuminya berkali-kali. Rasanya, ia enggan untuk mengembalikannya kembali.
"Bagaimana kalau kau menjadi anakku saja?"
Sifat keegoisannya itu mulai muncul. Entah kenapa ia sampai terbesit sebuah ide untuk menukarkan bayinya yang sudah tak bernapas itu dengan bayi yang digendongnya saat ini.
"Kau adalah bayiku. Aku tidak akan melepaskanmu. Maukah kau menjadi anakku?" Sonya berbicara pada bayi mungil itu yang hanya disahut ringikan kecil. Bahkan tangan bayi itu mengerayangi pipi Sonya saat wanita itu berkali-kali menciuminya. Itu semakin membuat Sonya gembira.
"Aku akan mengambil bayi ini. Hanya ini satu-satunya cara agar hubunganku dengan Aydin tetap langgeng. Aydin akan senang saat melihat bayi ini. Dia akan memeluk kami berdua," gumam Sonya. Kepalanya itu mengangguk-angguk.
"Tapi ini bayi perempuan. Sedangkan Aydin sudah tahu kalau bayiku akan lahir laki-laki." Sonya mulai berpikir. "Aku bisa membuat alasan tentang itu, yang terpenting sekarang adalah bayi ini menjadi milkku."
Sonya menarik napas pelan dan membuangnya. Retinanya itu melirik bayi kandungannya yang terbaring lemah di dalam keranjang. Sebulir bening kembali menerobos sudut pupilnya. "Maafkan aku, Nak." Sonya mendekat dan mencium kedua pipi bayi kandungannya secara bergantian. "Maafkan ibumu ini. Ibu terpaksa melakukan ini. Semoga kau bahagia di surga sana ya. Ibu sayang padamu." Terakhir ia mengecup keningnya.
"Aku harus segera pergi dari sini sebelum ada yang datang. Tapi … aku harus melakukan sesuatu terlebih dahulu." Setelah bergumam, Sonya meletakkan bayi yang dibopongnya tadi di keranjang kosong. Lantas ia mencari-cari sesuatu. Hingga akhirnya matanya itu menemukan sebuah tongkat besi yang tertata rapi di pojokan ruangan beserta tabung pemadaman kebakaran. Wanita itu lekas bergegas ke sana.
Sonya mengambil tongkat besi itu. Pandangannya mulai menyapu setiap sudut ruangan, begitu ia menemukan CCTV, ia langsung menghampirinya. Sonya memukul-mukul CCTV itu hingga rusak. Kemudian, ia menyalakan alarm kebarakan. Begitu alarm itu berdengung, Sonya buru-buru bergerak ke arah bayi tadi dan membawanya.
Saat ia hendak keluar dari pintu, tiba-tiba suster datang ke ruangan dengan berlari. Sonya buru-buru bersembunyi di balik pintu. Begitu suster itu masuk, Sonya langsung keluar diam-diam.
Sonya berlari secepat mungkin sembari membopong bayi Aisha. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan apakah ada yang menyaksikan aksinya atau tidak. Kebetulan tidak ada orang, selain petugas rumah sakit yang mulai berdatangan dari arah depan saat mendengar alarm kebakaran berbunyi.
"Aku harus sembunyi dahulu." Wanita itu melihat sebuah ruangan yang terbuka. Ia langsung masuk begitu saja ke dalamnya. Begitu petugas-petugas tadi sudah lewat, ia segera keluar dan kembali berlari.
Di tengah perjalanan, Sonya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Dan dia adalah Elvan. Sonya hendak terjatuh, namun dengan cepat Elvan menolongnya.
"Nona, kau tidak apa-apa?" tanya Elvan. Tangan kanannya itu membawa sekantung makanan yang sudah dibelinya tadi. Elvan langsung terfokus pada bayi yang dibopong Sonya. Hatinya langsung tersentuh saat melihat wajah mungil bayi tersebut.
"Anakmu lucu sekali," puji Elvan.
Tanpa menjawab sepatah kata, Sonya langsung bergegas dari sana.
"Wanita aneh," gumam Elvan penuh heran.
Sonya bergegas memasuki ruangan tempatnya dirawat tadi. Ia terkejut saat melihat Aydin yang baru terbangun dari sofa saat dia datang.
"Sonya?" Tampaknya Aydin juga terkejut melihat istrinya yang dari luar, dengan bayi yang dibopongnya. "Kau-"
"-Aydin, ayo cepat pergi dari sini!" ucap Sonya memotong perkataan suaminya. Wanita itu bergerak mendekat.
Aydin masih tampak heran. "Sonya, kau baik-baik saja, kan? Kau dari mana? Kenapa kau sudah bangun dari tempatmu?" tanya Aydin memberondong. Lalu matanya itu beralih ke arah bayi yang digendong istrinya itu. "Putraku. Apa dia baik-baik saja?" tanyanya lagi.
Sonya terdiam sesaat. Matanya melirik kanan kiri tak tentu arahnya. Kemudian ia menatap suaminya. "Aydin kita harus cepat pergi!" ujarnya menekankan.
"Tapi kenapa? Biar aku panggil dokter dulu."
"Aydin, jangan!" cegah Sonya kilat.
"Kenapa?" Aydin masih terheran tingkah istrinya. Kemudian ia mendekat. Mengelus rambut Sonya dan menatap wajah sang bayi. Senyum tergores dari bibirnya. Jemarinya itu menyentuh lembut pipi sang bayi. "Bayi kita lucu sekali," decaknya kagum saat melihat bayi tersebut menendang.
Sonya mengerjap sejenak. Kemudian ia berkata, "Aydin, bayi kita dalam bahaya di sini. Aku tidak ingin dirawat di rumah sakit ini. Kau tahu, tadi di ruang bayi terjadi kebakaran. Untungnya aku segera mengambilnya bayi kita dari sana." Sonya membuat ekspresi sedih dan mencoba menitikkan air matanya. "Aydin, aku mau kita cepat-cepat pergi dari sini!"
"Apa? Kebakaran?" tanya Aydin terkejut. "Lalu bagaimana sekarang, apa ada bayi lain di sana?"
"Aydin, petugas sudah mengatasinya. Tapi aku ingin kita pergi sekarang juga. Aku mohon, Aydin. Please!" ucap Sonya penuh iba.
"Oke-oke. Kau tenangkan diri dulu, kita akan pergi dari sini. Oke!" Aydin menyeka air mata Sonya, dan merangkulnya.
Di waktu yang bersamaan, Elvan tampak mencari-cari ruangan tempat istrinya dirawat.
"Elvan!" Suara Nermin terdengar lantang dari ujung lorong. Wanita itu berlari menghampiri adiknya. Sesampainya di dekatnya, ia langsung menoyor kepala.adiknya itu.
"Kakak, apa kau sudah gila?" cerca Elvan sembari menggesek kepalanya dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya masih memegangi kantong plastik berisi makanan.
"Kau yang gila!" Nermin menarik lengan Elvan dan membawanya bersamanya begitu saja. "Ayo ikut aku!"
"Kakak, kita mau ke mana?" tanya Elvan yang tak mengerti dengan tingkah kakaknya itu.
"Sudah, diam!" Nermin terus menarik lengan adiknya itu.
Dari belakang sana, seorang suster tengah membawa keranjang bayi yang didorong menuju ke ruangan tempat Aisha dirawat. Sesampainya di ruangan, suster tersebut membawa bayinya kepada Aisha. Saat itu Aisha sudah siuman, ia sangat senang saat melihat bayinya.
"Bagaimana kabarmu, Nona?" tanya Suster sembari mengangkat bayi dari keranjang.
"Aku sedikit pusing. Tapi setelah bersama bayiku, aku yakin akan baik-baik saja," seru Aisha. Matanya itu tidak lepas dari sang bayi.
"Kalau begitu pangkulah bayimu ini, Nona. Kau pasti akan segera sehat lagi nanti," seru suster tersebut dibumbui senyuman.
"Oh, bayiku yang manis." Aisha memangku bayi tersebut dan menciumi keningnya. Tampak rona kebahagiaan yang tergores sempurna pada saat itu. "Apa aku sudah bisa menyusuinya, Sus?" tanyanya kemudian pada suster.
"Iya, Nona. Memang sebaiknya begitu, biar ASI-nya cepat lancar," ujar suster. "Oh, iya. Sebenernya dokter yang membantumu bersalin sudah pulang karena ada urusan mendadak. Kata dokter kondisi anda juga sudah membaik, hanya saja perlu istirahat yang cukup." Suster itu menyampaikan pesan dari dokternya. "Setelah melunasi biaya bersalin, kau boleh pulang besok," imbuhnya lagi.
"Baiklah, Sus. Terima kasih, ya!" seru Aisha pada suster.
"Kalau begitu saya keluar dulu, ya. Akan saya panggilkan suami Anda," ujar Suster. Setelah direspon anggukan beserta senyuman Aisha, suster tersebut pun langsung berjalan keluar.
Aisha memandangi bayi yang dipangkunya. Bibirnya itu tak henti-hentinya untuk menggores senyum. Ia tak menyangka kalau saat ini ia sudah resmi menjadi seorang ibu. Jari telunjuk Aisha mengelus lembut pipi sang bayi, namun bayi tersebut tak bereaksi apa pun. Kemudian wanita itu membuka sedikit kain yang membalut tubuh sang bayi dan melihat jenis kelaminnya. Aisha kembali melebarkan senyumnya.
"Kau seorang putra. Aku mendapatkan bayi laki-laki," decak Aisha penuh kegirangan. "Ya Tuhan terima kasih telah menganugerahiku seorang putra." Aisha mendongak, mengucap syukur pada yang Maha Kuasa. Lantas ia mengerjap, membuat air mata kebahagiaan mengalir pelan.
"Elvan sudah mendambakan seorang putra, dia yakin kalau anaknya akan lahir laki-laki. Dan ternyata itu benar. Aku yakin dia pasti akan senang sekali melihat pangerannya sudah lahir." Aisha menatap ke depan, membayangkan bagaimana ekspresi suaminya nanti. "Semoga dengan kelahiranmu, ayahmu bisa menjadi orang yang benar. Dia bisa berkerja dengan layak, seperti seorang suami pada umumnya."
Selama ini Elvan hanya bekerja paruh waktu. Itupun tidak setiap hari. Dan dia hanya bekerja semaunya saja. Setelah mendapat upah yang belum bisa dikatakan cukup, pria itu malah menggunakannya untuk minum-minum.
Aisha kembali menatap sang bayi, kemudian mencium keningnya. "Apa kau lapar, Nak? Kenapa kau diam saja? Kau mau ASI?" Aisha berniat untuk memberinya ASI. Saat ia mencoba memberinya, wanita itu sedikit terkejut. Bayinya itu tidak bereaksi apa pun. Sedari tadi hanya diam. Aisha mengecek rongga hidungnya, dan saat itulah jantung wanita itu terasa terhenti seketika.
Aisha seperti mendapat tamparan keras, karena ia tak merasakan akan adanya udara yang keluar masuk melalui lubang hidung sang bayi. Bayi itu tidak bernapas.
"Tidak mungkin!" Aisha mulai panik. Ia mendekatkan telinganya di d**a sang bayi, bermaksud memeriksa detak jantungnya. Namun ia tak merasakan ada getaran apa pun.
"Tidak!" Wanita malang itu menggeleng. Mulutnya bergetar. "Bayiku tidak mungkin tiada. Dia tidak mungkin meninggal. Tidak! Dokter tolong! Dokter!!!" Aisha menjerit histeris.
***
TO BE CONTINUED