"Humam, ambil ranselmu. Kita makan di luar pagi ini."
Di halaman, Bik Minah sedang menyapu dedaunan. Ketika ia melihat Evan menggendong Silvia keluar, raut wajahnya langsung muram.
Baru kemarin, Silvia bersikeras bahwa ia hanyalah Bibi Pak Evan. Sekarang, ia tampak sama sekali tidak peduli dengan penampilannya yang inti mini.
Apa kata orang?
Jika Bu Ranti tahu, hatinya pasti akan hancur.
"Bik Minah, buka pintu mobil," panggil Evan.
Bik Minah berjalan dengan enggan, membuka pintu sambil mendesah.
Evan meliriknya dengan dingin.
"Miranti tidak ada di rumah. Kenapa kamu tidak menyiapkan sarapan pagi ini?"
Bik Minah hendak menjelaskan, tetapi Silvia lebih dulu bicara.
"Evan, kamu tidak suka daun berserakan di mana-mana. Jadi aku sudah meminta Bik Minah untuk menyapu halaman."
Tatapan Evan terpaku sejenak pada Silvia, dalam dan tak terbaca. Ia memang benci melihat halaman yang tertutup dedaunan—itu selalu mengingatkannya pada hari peringatan kematian ibunya.
Begitu Humam masuk ke mobil, Evan langsung pergi.
Bik Minah memperhatikan mobil itu menghilang di jalan masuk, mendesah frustrasi. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Miranti.
[Kapan pulang, Bu?]
Miranti bangun pagi-pagi dan langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Saat sedang menumis sayuran, ia melirik ponselnya dan melihat pesan Bik Minah. Tiba-tiba ia tersadar—ia tidak sedang berada di rumah mereka.
Ia tak perlu memasak sarapan atau menyiapkan bekal makan siang untuk Humam.
Kebiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun sulit dihilangkan. Ia segera mematikan kompor dan membuang sayuran setengah matang ke tempat sampah.
Ia sebenarnya tak pernah pandai memasak.
Setelah neneknya meninggal saat ia berusia dua belas tahun, Miranti bertahan hidup sendiri di panti asuhan, mengandalkan keterampilan melukis yang diajarkan neneknya
untuk mendapatkan sedikit uang. Ia makan apa saja—apa pun yang mengenyangkan karena keadaan di panti sangat sulit saat itu. Apalagi dia bisu dan selalu di tindas oleh penghuni lain.
Kemudian ia menyelesaikan SMP dan SMA dalam waktu empat tahun karena aselerasi dan ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah, ia menghabiskan sebagian besar uang hasil melukis pada makanan di kantin kampus.
Sementara Evan adalah pria yang berada di puncak piramida—setiap aspek kehidupannya, mulai dari pakaian hingga makanan, mencerminkan seleranya yang sempurna.
Bertekad menjadi istri yang sempurna untuknya, Miranti berusaha menguasai segalanya.
Ketika putra mereka, Humam lahir, ia semakin ingin menjadi seseorang yang dapat merawatnya dengan segala cara.
Sepanjang kehamilannya, Miranti mengasah keterampilan kulinernya dan menuangkan selera gayanya ke dalam dekorasi rumah mereka. Ia mengubah rumah mereka
menjadi surga yang nyaman dan elegan—setiap ruangan bersih, setiap permukaan berkilau.
Namun, terlepas dari semua usahanya, Evan jarang ingin pulang.
Humam-lah yang mengagumi masakannya. Humam selalu memuji masakannya, bersikeras bahwa tidak ada yang sebanding dengan masakan ibunya.
Miranti dulu berpikir Humam bahkan tidak bisa makan tanpanya. Tetapi ketika ia berhenti menyiapkan sarapan dan makan siang untuk Humam selama dua hari berturut-turut ini, Humam bahkan tidak menelepon.
Ia menyadari bahwa ia telah melebih-lebihkan tempatnya di hati Humam.
Saat itu, ponselnya berdering dengan panggilan video. Nama Callista muncul di layar.
Tiba-tiba terlintas di benaknya, sudah hampir enam bulan sejak Callista terakhir kali meminta uang.
Callista tidak bisa bicara, tetapi ia telah mengurus beberapa badan amal bagi penyandang cacat yang semuanya bisu untuk membantu mereka bertahan hidup dan mereka bekerja sama dalam pembuatan kerajinan tangan untuk dijual.
Miranti mendirikan badan amal ini karena dia sendiri pernah melewati bagian tersulit hidupnya sejak nenek dan ibunya meninggal. Bertahan hidup sendirian untuk mencari nafkah.
Ia mengangkat telepon dari Callista, menanyakan Callista apakah mereka membutuhkan dana tambahan.
Callista melambaikan tangannya dengan tegas dan membalas,
"Tidak, tidak, kami sudah punya cukup dana dari penjualan. Aku baru dengar dari temanmu kalau kamu pergi ke rumah sakit kemarin. Kamu baik-baik saja? Kami ingin menjengukmu."
Ia ingat—dua hari yang lalu ia pergi mengambil laporan medisnya.
Miranti tahu mereka sedang sibuk menyelesaikan kerajinan bulanan mereka untuk dijual dan tidak ingin mereka khawatir. Sambil tersenyum, ia menjelaskan dengan isyarat,
"Aku baik-baik saja, hanya pemeriksaan rutin. Jangan khawatirkan aku. Setelah proyekmu selesai, aku yang traktir makan malam."
Mereka mengobrol sedikit lebih lama sebelum berpamitan.
Sambil menyimpan ponselnya, Miranti memikirkan diagnosis kankernya.
Selama lebih dari sepuluh tahun, ia mencurahkan dirinya untuk mencari nafkah dan keluarganya, tak pernah beristirahat sehari pun. Neneknya sudah tua dan sakit.
Ia menikah dengan Evan tanpa resepsi, tanpa cincin, tanpa baju pengantin apalagi bulan madu.
Bahkan ketika Evan mengajak Humam ke taman hiburan atau jalan-jalan, ia selalu diharapkan untuk tetap tinggal dirumah dengan tenang.
Bahkan ketika ia melihat Evan mencoret-coret nama perempuan lain di kertas, ia masih berpura-pura tidak sakit. Tujuh tahun yang lalu, ketika Evan melangkah ke arahnya dan melamarnya, ia berpikir bahwa Evan akan menerima kekurangannya karena menjadi cacat.
Baru setahun setelah pernikahan itu ia menyadari bahwa Evan mungkin malu memiliki istri cacat seperti dia.
Namun saat itu, ia tak peduli. Ia adalah istrinya. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, Evan akan menyadari nilainya meskipun dia hanya seorang wanita cacat. Miranti memejamkan mata, bibirnya membentuk senyum getir dan rapuh.
Itu tak lagi penting.
Mulai sekarang, ia bisa hidup sesuka hatinya. Ia bisa pergi ke mana pun, kapan pun ia mau. Miranti mulai mencari-cari tujuan liburan terakhirnya. Tiba-tiba, sebuah berita muncul di ponselnya.
"Prof Marina Meluncurkan Desain terbaru senjata Nasional di Gedung Convention Center di Ibukota."
Ia mengklik artikel itu. Acara pameran itu tinggal tiga hari lagi. Tanpa ragu, ia membeli tiket pesawat untuk keesokan harinya.
Daripada Liburan, mungkin sebaiknya dia melihat seperti apa cita-cita nya dulu sebelum pergi. Sekedar mengenai masa lalu.
Jarang baginya untuk kembali ke kampung halaman ibunya. Hari ini, ia memutuskan, akan mengunjungi makam neneknya. Ia pergi membeli se keranjang bunga.
Sementara itu, setelah pesan terakhirnya tidak dijawab, Bik Minah telah mencoba menghubungi Miranti beberapa kali, tetapi setiap panggilan masuk ke pesan suara.
Sehari penuh berlalu dan kekhawatiran menggerogotinya. Akhirnya, Bik Minah menghubungi Evan.
Ketika Evan melihat nama Bik Minah di ponselnya, secercah cahaya melintas di tatapannya yang tadinya tak tertembus.
Miranti pasti sudah pulang.
Ia menjawab panggilan itu, perlahan dan hati-hati.