Chapter 1

1750 Kata
Abigail telah beristirahat dalam waktu yang cukup hingga tubuhnya terasa lelah sendiri sebab permintaan pelayan yang pada hari pertama terbangunnya dia memiliki watak keras di mana setiap permintaannya harus diikuti atau dia akan menjadi orang yang cerewet. Dan sejak dulu, Abigail selalu membenci orang yang cerewet. Jadi untuk menghindari suara-suara mengerikan dari pelayan itu, Abigail menjadi penurut dan bahkan waktu tidak bisa membuat Abigail merasa lebih baik.  Dendam yang berkobar dihatinya harus segera dia padamkan dengan sebuah pembalasan yang setimpal. Dia harus mencari tahu keberadaan pria itu dan selingkuhannya agar Abigail bisa dengan mudah membalas dendamnya dan membuat semua ini berakhir. Fakta yang diketahui Abigail saat ini adalah, pertama, tampaknya perempuan pemilik asli tubuh ini tidur cukup lama hingga Abigail yang yakin kalau dia tidak akan menghuni tubuh ini cukup lama, mulai ragu. Tidak ada tanda-tanda perempuan itu akan kembali ke tubuh ini. Abigail terasa kosong bagai cangkang.  Kedua, suami perempuan ini, yang dia ketahui merupakan seorang jenderal besar negara ini yang juga sangat diagung-agungkan, yang bahkan Abigail sendiri tidak pernah tahu seperti apa wajahnya, merupakan suami yang buruk. Terbukti dari bagaimana pria itu tidak pernah berkunjung ke tempatnya. Satu kalipun, jenderal itu tidak pernah memunculkan dirinya di depan Abigail.  Entah pria itu terlalu sibuk atau dia memang sangat tidak peduli dengan istrinya dan lebih peduli pada negaranya. Yang mana pun itu. Abigail merasa kasihan pada Evelyn, ya, nama perempuan ini adalah Evelyn. Begitu pelayan itu memanggilnya di satu waktu. Evelyn Gray.  Abigail mendengar suara pintu terbuka dan dia tidak segera memutar tubuhnya untuk melihat. Hanya ada satu orang yang akan dia temukan di sana sebagai tamu kamarnya, selama dia ada di sini memang hanya satu orang yang dia lihat datang ke kamarnya. Jadi dia tidak perlu melihat siapa sampai suara terdengar di telinganya. Berat dan dingin, kombinasi yang tidak akan pernah menjadi suara kesukaannya.  "Davema mengatakan kau sudah lebih baik." Abigail mendengus dengan mata masih sibuk menatap ke depannya. Suasana langit sore masih begitu menarik minatnya ketimbang pria yang sudah pasti memiliki wajah dingin itu. Dia tidak suka membuat situasi memburuk tapi pria itu jelas telah membuat Abigail tidak suka bahkan di detik pertama Abigail mendengar suaranya.  "Kau harus bertanya kabarku dari pelayan pribadiku dahulu baru kau di sini, Jenderal? Sangat menarik." "Kau masih marah dengan apa yang aku lakukan? Aku tidak harus minta maaf bukan? Kau tahu sendiri pernikahan kita ada karena ulahmu." Abigail memutar tubuhnya dan dia segera tahu alasan Evelyn menikah dengan pria ini. Tampan adalah alasan utamanya dan lebih banyak pesona yang dimiliki pria itu dalam satu kali pandang di mata Abigail. Terlalu banyak alasan yang bisa membuat Evelyn jatuh cinta padanya dan Abigail yang pernah dibutakan hati juga paham rasanya cinta seperti ini. Kasihan Evelyn. Pria ini, yang adalah suami Evelyn memiliki ketampanan yang luar biasa dengan wajah kokoh bak batu yang tidak bergerak diterpa ribuan ombak. Juga bagaimana hebatnya dia dalam memberikan pesona kelelakiannya tersebut. Sangat disayangkan, Abigail benci pria sempurna dalam tampilannya. Karena biasanya pria seperti pria ini, adalah b******n sejati.  Abigail mendengus dengan tidak menahan ketidaksukaannya. Pria ini tidak pantas diberikan kelemahlembutkan. Itu hanya akan membuat dia bertindak dengan tidak semestinya.  "Tenang saja, Jenderal, aku dan kau memang tidak ditakdirkan bersama. Mungkin kita bisa merundingkan kebersamaan kita sekali lagi. Mengatakan pada mereka di luar sana kalau aku adalah istri yang bukan menjadi pilihanmu." "Kau sedang mengancamku?" Abigail melingkarkan tangannya di depan tubuhnya. Memperhatikan pria itu dengan seksama dan tidak lagi menginginkan sebuah kerjasama yang menarik. Dia menjadi musuh bagi Abigail walau jelas hatinya mengatakan sebaliknya. Bukan hatinya, tapi hati Evelyn. Perempuan pemilik tubuh menjerit dengan rasa sakit pada kebencian pria di hadapannya. Entah apa yang sudah dilakukan Evelyn hingga membuat dirinya menjadi istri pria ini. Tapi Abigail sangat yakin kalau apapun itu, pastilah buruk.  Kebencian di wajah pria itu yang Abigail tahu bernama Ethen, terlihat lebih nyata dari denyut nadinya sendiri. Mata yang dipenuhi dengan amarah juga ketiadaan bahkan hanya sekedar rasa kasihan tidak dimiliki Ethen. Dia membenci Evelyn dengan sepenuh jiwa dan raganya.  "Aku tidak mengancammu, Jenderal. Aku hanya ingin membuat kita berdua keluar dari neraka yang kita sebut pernikahan ini." Abigail bersungguh-sungguh mengatakannya. Mungkin jika nanti Evelyn kembali ke tubuhnya, dia akan membenci Abigail tapi Evelyn harus paham, jika cintanya dia paksakan maka dia akan terluka sendiri. Yang lebih buruknya adalah dia bisa terbunuh karena cinta itu. Seperti yang dialami Abigail. Miris bagi Abigail mengingatnya.  Ethen menatap Abigail dengan lamat-lamat dan seakan dia menginginkan sebuah kejujuran pada perkataan Abigail. Dia tidak percaya apapun yang keluar dari mulut istrinya. Abigail bisa merasakan hal demikian. "Kau sungguh-sungguh menginginkan hal itu sekarang?" Abigail tidak merasa ragu sama sekali. "Ya, tentu saja. Kau bisa mengurusnya segera. Pernikahan ini, aku ingin dihentikan. Aku menginginkan sebuah perceraian." Ethen tertawa tanpa humor, membuat Abigail merasa aneh. Apa kata-katanya terasa seperti lelucon? Tapi dia mengatakannya dengan sangat jujur dari dalam lubuk hatinya. Dia tidak suka bersama dengan pria dihadapannya.  "Jika ingin berbohong, Eve, lakukan dengan lebih baik. Kau memang penipu besar." Abigail meradang, ingin marah namun tiba-tiba pandangannya buram dan dia sadar kalau dia telah meneteskan airmata. Evelyn menangis, sialan sekali. Segera Abigail mengusap kasar airmatanya dan menatap Ethen dengan kesal. Dia bisa saja memakan Ethen sekarang juga andai dia memang pemakan manusia.  Pria dihadappannya menjadi cinta yang buruk bagi Evelyn dan kini juga buruk bagi Abigail, karena sayangnya tidak hanya matanya yang menangis akibat inginnya Abigail berpisah dengan Ethen, melainkan hatinya juga terasa sakit oleh keinginan tersebut.  "Tadinya aku sungguh sempat percaya kalau kau menginginkan perceraian tapi rupanya kau masih saja memaksa apa yang tidak menjadi milikmu, Eve. Kau selalu berhasil menipu orang lain agar berbalik peduli padamu tapi percayalah, aku selalu tahu kau bukan perempuan yang lemah lembut itu. Kau sekeras singa betina di dalam sana." Abigail diam. Dia tidak bisa menentang kalimat itu. Dia sendiri tidak tahu sosok seperti apa Evelyn ini jadi tidak ada yang bisa membuat dia memenangkan perdebatan dengan pria ini. Bahkan Evelyn juga menyatakan cinta matinya pada Ethen dan Abigail tidak bisa melawan itu. Dia tidak berkutik.  Pria itu sudah memutar tubuhnya hendak meninggalkan Abigail. Tapi dia berhenti di ambang pintu dan berkata, "Malam ini ayahmu ingin kau ikut makan malam dengan kami. Sebaiknya kau turun sebelum ayahmu percaya kalau keadaanmu memburuk." Ethen mengatakan itu bahkan tanpa menatap pada Abigail dan Abigail rasa dia juga tidak butuh pandangan pria itu. Abigail memutar tubuhnya dan bahkan tidak melihat pada Ethen. Dia juga tidak menjawabnya karena dia sedang amat marah pada Evelyn.  *** Abigail menatap dirinya di depan cermin dan melihat penampilannya yang luar biasa. Gaun hitam dengan belahan paha yang sangat panjang dan juga tali gaun tipis dibahunya, membuat dia terlihat berbeda. Dia terlihat lebih seperti w*************a malam ini dan beberapa kali Davema, pelayan pribadinya, menghela nafas dan bahkan mengelus dadanya. Tanda menjaga jantungnya agar berdetak dengan normal. Sudah beberapa kali Davema meminta Abigail agar berpenampilan wajar saja dan Abigail merasa kalau apa yang dia kenakan malam ini wajar adanya. Mana bisa dikatakan tidak wajar saat dia menonjolkan kecantikannya. Davema memang kolot dan Abigail tidak bisa diikutkan menjadi kolot juga.  Abigail juga membuat rambutnya terikat tinggi, dengan jenjang pada lehernya yang terlihat menonjol. Entah sudah berapa lama Evelyn mengurung dirinya dalam balutan wanita sederhana tapi Abigail tidak akan memberikan tampilan itu lagi pada tubuh cantik ini. Dia harus menyelesaikan segalanya malam ini agar dia bisa segera memikirkan rencananya untuk membalas dendam pribadinya.  "Aku sudah siap, Davema. Sebaiknya kita turun sekarang." "Baik, Nyonya." Davema hanya menunduk dengan lemah. Dia membantu aku berjalan bersamanya dan itu seperti memang sudah menjadi kebiasaanya. Aku juga harus tetap terbiasa membiarkan Davema ada disekitarku. Setidaknya mungkin dia akan berguna.  Abigail berjalan dengan perlahan. Seluruh tubuhnya telah baik-baik saja dan pemulihannya tidak membutuhkan waktu yang lama. Dia juga belum melihat seperti apa rupa anak Evelyn, karena pengaturan kota ini membuat Abigail tidak bisa melihat anak bayi itu. Abigail harus sepenuhnya pulih baru dia bisa melihat anaknya sendiri, aturan yang aneh. Abigail sendiri merasa tidak masalalah dengan itu semua. Dia tidak tahu apa dia benar-benar bisa menjadi ibu yang baik. Dia ragu, apalagi bukan dirinya yang mengandung bayi itu.  Gadis itu menggeleng, dia tidak bisa berpikir tentang hal-hal semacam itu. Bayi itu tidak bisa mengganggu pikirannya. Dia harus memikirkan apa yanng ada di depan matanya saja.  Dan kini yang ada di depan matanya adalah meja makan beserta orang-orang yang duduk di sana dan tengah menatap tubuhnya dalam balut ketercengangan mereka. Seolah Abigail berasa dari belahan bumi lain dan dia hanya terdampar di sini. Salah Evelyn yang tidak pernah berpenampilan seperti ini di depan orang banyak.  Abigail suka dengan penampilannya, jadi dia tidak bisa menyalahkan dirinya.  Yang sangat disyukuri oleh Abigail adalah dia pernah melihat foto-foto orang yang sekarang ada di meja makan. Dua pria tua itu adalah ayah Evelyn dan ayah Ethen. Mereka tampak memandang Abigail dengan takjub dan sangat luar biasa hubungan antara Evelyn dan Ethen ini. Mereka berdua hanya memiliki ayah tanpa ibu.  Lalu ada satu pasangan lagi yang sangat diketahui Abigail. Sepupu Evelyn, Olivia Riley dan suaminya, Konrad Riley. Mereka menikah beberapa bulan terakhir dan ajaibnya adalah Olivia adalah mantan kekasih Ethen dan sepertinya sampai sekarang masih.  Terimakasih pada Davema yang dengan senang hati mengatakan segala kesedihan nyonyanya bahkan tanpa Abigail perlu mencari tahu.  Kisah keluarga ini sangat rumit dan bahkan memikirkannya saja membuat Abigail rasanya sakit kepala. Dia berada di tengah-tengah gejolak cinta dengan Evelyn menjadi dalang utamanya. Evelyn yang sakit-sakitan menyukai kekasih sepupunya dan dengan kelemahannya itu membuat Ethen menjadi miliknya. Ethen yang tidak suka menentang ayahnya akhirnya setuju menikah dengan Evelyn.  Kini Evelyn menjadi musuh bagi suaminya, juga sepupu perempuannya. Menakjubkan sekali.  "Ayah, aku merindukanmu." Abigail bergerak dengan leluasa ke arah ayah Evelyn yang sudah pasti telah menjadi ayahnya. Memeluk pria tua itu yang tertawa dengan kelakuannya.  "Apa kau tidak merindukan yang tua satu ini, Eve?" Abigail mengangkat kepalanya denngan sumringah. Melepaskan ayahnya dan memeluk ayah Ethen yang juga tertawa dengan apa yang dilakukan Abigail. Tampaknya Evelyn memang akrab dengan keduanya, Abigail bisa merasakan hal demikian.  "Aku sayang kalian berdua," ujar Abigail setelah selesai memeluk kedua orang itu.  Dia bergabung dengan duduk di samping Ethen, tidak sedikit pun melirik pria itu. Toh Ethen memang tidak menyukainya dan kini begitu juga sebaliknya, jadi dia tidak perlu banyak berpura-pura manis kan. Mereka telah menjadi musuh untuk satu sama lain dan Abigail cukup senang.  Dia tentu saja tidak siap menjadi istri pria itu. Juga melayani kebutuhannya, itu akan terasa sangat aneh dan Abigail benci itu. Jadi dia harus bersyukur karena Evelyn memiliki masalah dengan suaminya. Masalah di mana suaminya membencinya. Ah, dia sangat senang.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN