Berpindah dari satu orang ke orang lain juga bukan hal yang dapat dilakukan dalam semalam. Perkara hati memang susah. Jangankan hati, bahkan untuk berpindah dari satu rumah ke rumah lain saja butuh proses yang cukup lama. Mulai dari pencarian rumah baru, pemindahan barang-barang, dan adaptasi. Everything needs process.
Dalam proses biasanya akan banyak hal terjadi, banyak yang dirasa, dan banyak penghalangnya. Allegra yang notabene sedang ada dalam proses 'melupakan' Aksara juga rasanya perlu melewati banyak hal. Sebelumnya dia tidak tau kalau melupakan Aksara itu sesulit ini. Dia kira dengan bertemu tetangga yang gantengnya maksimal kayak Antariksa itu akan membuat dia benar-benar kehilangan rasa pada Aksara. Nyatanya, tidak semudah itu.
Buktinya Allegra masih merasa setitik sakit di sudut hatinya waktu melihat Aksara dan Tata makin akrab. Walau tidak separah hari-hari sebelumnya.
Dua manusia itu kemana-mana bersama. Ke kantin berdua, ke perpustakaan berdua, ke laboratorium berdua, bahkan mungkin kalau kelamin mereka sama ke toilet juga berdua. Dan ... itu cukup menyebalkan buat Allegra.
Sekarang juga Aksara dan Tata lagi mojok tuh di belakang. Aksara main game dan Tata di sampingnya banyak bucara. Kok suka main ini lah, karakternya unyu lah, ajarin main lah. So many. And for your information, semuanya diucapin pakai nada-nada sok imut yang asli ngeganggu telinga Allegra.
Memang begitulah kalau orang sudah tidak suka. Tau Tata bernapas saja sudah cukup menyebalkan buat Allegra.
"Apaan sih sok imut banget," gerutu Allegra.
"Alah bilang aja lo iri, Le," sahut Gendis. Yang lain tertawa. Allegra cuma mengerlingkan matanya malas.
Kalau dibilang iri sih iya. Ya siapa sih yang nggak mau sedekat itu sama doinya? Tapi serius ya, suara sok imutnya Tata itu lho ganggu banget. Udah kenceng, nadanya gitu pula. Gimana Allegra nggak makin enek?
"Udah sana sama Sobar aja gimana? Sama lho tinggi kayak Aksa," goda Bianda.
"Gak ya, makasih. Gue nggak serakus itu. Kasih buat lo aja, Nda," tolak Allegra.
Sobar. Satu makhluk paling absurd di kelas yang tingkat 'sok kegantengan'-nya itu nggak terkalahkan. Mending deh dia kalem kayak Aksara, tingkahnya itu petakilan mana lubang hidungnya segede lubang knalpot pula. Siapa sih yang mau? Allegra masih terlalu waras buat menggantikan posisi Aksara dengan Sobar.
"Ih kalian ya jangan godain Alle terus dong. Nggak tau apa kalau dia sekarang udah punya doi baru? Ganteng, oriental, ramah, dosen, sebelah rumah pula," papar Garnet. Allegra langsung melirik tajam teman sebangkunya itu.
Selama hampir dua tahun jadi teman sebangkunya Garnet, Allegra merasa cocok-cocok saja. Sebagai dua orang paling 'normal' di antara teman-temannya, mereka tidak lagi canggung-canggungan untuk menceritakan masalah pribadi begini.
Allegra kagum pada karakter Garnet. Garnet itu super sopan, pintar, ramah, punya public speaking yang bagus, pemberani, pokoknya Garnet punya hal-hal yang Allegra nggak punya. Tapi buat satu hal ini, Allegra nggak suka, ya gitu deh ... ada waktu-waktu tertentu dimana dia jadi super ember.
"Ih seriusan lo, Net?" tanya Endah.
"Iya, tadi pagi dia baru cerita sama gue," jawab Garnet.
"Emang bocor kayak ember deh ya mulut lo." Mata Allegra melotot, nyaris keluar dari rongganya.
"Hehe maaf ya, Le. Daripada diledekin terus. Siapa namanya tadi, Le? Lupa gue. Aris ya? Atau Raksa ya tadi?" elak Garnet.
"Antariksa," kata Allegra membetulkan dengan nada ketusnya.
Menyebut nama Antariksa membuat Allegra teringat laki-laki itu. Tadi pagi dia udah ganteng, pakai kemeja putih dan celana kain hitam. Waktu ditanya mau kemana, dia bilang mau ke kampus. Ngajar katanya. Dari situ Allegra tau kalau Antariksa itu seorang dosen.
Di luar itu semua, Allegra bertanya-tanya siapa pemuda yang keluar dari kamar Antariksa kemarin. Spekulasi Allegra sih itu adiknya Antariksa. Yang Allegra takutkan adalah adiknya itu memberitahu pada Antariksa kalau dia 'memergoki-perempuan-sebelah-sedang-mengintip-kamar-Antariksa'. Kan bisa hancur image Allegra. Tapi setelah interaksi tadi pagi, Allegra yakin bahwa semuanya baik-baik saja. Mungkin laki-laki kemarin tidak menyadari keberadaan Allegra. Semoga saja.
"Halah, paling juga Allegra pengecut lagi. Mana berani dia deketin tetangga barunya itu? Sama aja kasusnya kayak Aksara," kata Bianda meragukan Allegra.
Wajar kalau Allegra dilakukan. Semua orang yang kenal Allegra juga tau kalau perempuan itu pengecut. Tak punya keberanian untuk berjuang.
Brak! Allegra memukul meja. Cukup keras sampai tangannya sakit sendiri.
"Nggak! Lihat aja kali ini, gue bakal deketin Antariksa! Gue nggak bakal jadi pecundang lagi!"
***
"Monyet!" maki Allegra sambil berbisik.
Tepat ketika namanya disebutkan sebagai anggota terakhir kelompok 5, Allegra otomatis memaki. Sementara teman-teman syaiton nya malah cekikikan puas sekali. Bu Sian--guru Bahasa Mandarin--seolah paling paham cara memperkeruh keadaan.
Bagaimana tidak, Allegra harus sekelompok dengan Aksara dan Tata untuk proyek membuat kaligrafi cina. How perfect!
"Nggak papa, Le! Anggep aja rejeki!" bisik Bianda yang duduk tepat di belakang Allegra.
"Oke, sudah tau kelompoknya, kan? Silakan duduk bersama kelompoknya masing-masing. Bicarakan kaligrafi macam apa yang mau kalian buat," papar Bu Sian.
Kemudian keadaan kelas jadi sedikit rusuh karena semua sibuk menyesuaikan diri. Menuju kursi masing-masing untuk duduk berkelompok.
"Kelompok 5! Kelompok 5!" Tata melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak sok manis. Di sampingnya sudah ada Aksara. Sementara di depannya sudah ada satu siswa bernama Leon yang juga anggota kelompok 5.
Allegra duduk di samping Leon dengan wajah pura-pura tenang sambil mengamati gerak-gerik Tata dan Aksara yang membuatnya geram.
Ketika kelas sudah cukup tenang, Bu Sian memberi instruksi agar seluruh siswa mulai melakukan brain storming. Mulai membicarakan konsep apa yang akan mereka pakai.
"Oke, jadi kita mau bahas apa nih? Ada yang punya ide?" tanya Aksara dengan nada bicaranya yang lembut. Jantung Allegra seketika berdebar tak karuan.
Debaran itu tak bertahan lama, karena begitu Tata ikut membuka mulutnya, Allegra kembali merasa muak. Tata menanggapi, "Kalau menurut gue ya, mending kita bikin kaligrafi pakai kata-kata klasik cina gitu. Misalnya ajaran konfusianisme atau sastra kuno gitu."
Nada bicaranya yang manja membuat Allegra tanpa sadar mengeratkan gigi-giginya.
Sabar, Le. Sabar, batinnya. Orang sabar cepet dapet pacar.
"Menurut kamu gimana, Aksara?" tanyanya pada Aksara. Wajahnya yang dibuat sok imut itu membuat Allegra ingin berdiri dan melayangkan tamparan sekarang juga. Pakai aku-kamu pula.
"Aku, sih, nggak keberatan. Yang lain gimana?"
Allegra menatap Leon yang sedari tadi belum bicara. Sayangnya pemuda itu sibuk garuk-garuk area bawah hidungnya yang sepertinya terasa gatal karena baru cukur kumis.
Leon adalah tipe siswa yang mengalir seperti air. Orang bilang A, dia ikut. Orang bilang B, dia juga ikut. Tipe-tipe orang generasi pertama yang berubah jadi zombie kalau apocalypse benar-benar terjadi di bumi. Jangankan untuk bicara mengemukakan pendapatnya, berpikir saja malas. Melihatnya saja sudah sukses buat Allegra sakit kepala.
Mau tak mau, Allegra membuka mulutnya, "Menurut gue saran Tata bagus. Tapi gue kurang setuju karena kayaknya sastra kuno dan ajaran konfusianisme itu kurang relate dan cukup susah dimengerti. Menurut gue mending kita cari bahan yang pesannya bisa sampai ke audiens dengan lebih mudah."
Aksara mengangguk-angguk. Tanpa sadar Allegra tersenyum bangga. Merasa sedikit lebih menang dibanding Tata.
"Ada saran nggak contoh kontennya kayak gimana?" tanya Aksara sambil menatap Allegra tepat di mata.
Iya, tepat di mata! Gimana Allegra nggak jejeritan dalam hati?
"Mmh ... menurut gue, kita bisa pakai sumber kayak drama Cina. Drama Cina cukup happening sekarang, berdampingan sama drama Korea dan drama Thailand. Kita bisa cari drama yang relate sama kehidupan remaja terus kita ambil deh quotes nya," papar Allegra.
Aksara tampak terkesan dengan jawaban Allegra. Dia menganggukkan kepala seolah paham dengan maksud Allegra.
"Gue setuju," kata Aksara.
Tapi beberapa detik kemudian Tata langsung cemberut. Dahinya mengkerut.
"Drama? Gue nggak setuju! Karya mainstream kayak gitu itu cenderung murah dan nggak punya value!" ujarnya dengan nada galak yang membuat Allegra ikut naik darah.
"Kalau lo suka nonton karya mainstream kayak gitu, simpen aja buat diri sendiri! Jangan mengatasnamakan tugas kelompok begini!" serunya.
Allegra melebarkan mata tak percaya, "Lho? Kok lo ngegas? Gue dari tadi santai lho."
Merasakan atmosfer yang kurang nyaman, Aksara segera menengahi.
"Eh, udah-udah! Jangan berantem! Bisa-bisa kita semua malah diusir dari kelas!" ucap Aksara. "Ya udah, kalau gitu kita pakai saran Tata aja. Gimana yang lain? Setuju?"
Sial!
***
Memang ya, manusia itu sudah kodratnya suka melakukan hal-hal yang buruk untuknya, meskipun dia tau. Jatuh cinta contohnya, sudah tau cintanya akan bertepuk sebelah tangan masih saja nekad dan berakhir sakit. Atau yang lebih simpel lagi, makan telat. Beberapa orang yang merasa bentuk tubuhnya kurang ideal biasanya melakukan diet. Tapi buat orang-orang sibuk yang sering banget makan telat waktu, malah dijadikan ajang ajimumpung. Sekalian diet katanya. Padahal tau kalau makan telat itu bisa bikin pencernaan terganggu.
Dan karena Allegra manusia, sama juga. Gadis itu tetap saja keukeuh tidur siang--atau mungkin tidur sore--sepulangnya dari sekolah. Bangun tepat saat suara adzan maghrib berkumandang dan berakhir dengan mood yang terjun bebas. Begini nih Allegra. Dia sudah tau kalau tiap bangun tidur di jam-jam maghrib, mood-nya pasti langsung nggak karuan, tapi ya gitu masih aja tidur sepulang sekolah. Alasannya sih capek.
Biasanya kalau mood Allegra sudah nggak enak gini, kejadian-kejadian tidak mengenakkan yang terjadi padanya seharian ini akan berputar di kepala. Membuatnya makin sebal dan merengut sampai jam tidur malam nanti. Apalagi tiba-tiba Mama memerintah Allegra buat mandiin adiknya--Adagia--yang hyperactive itu. Makin double deh sebelnya.
Puk!
Tangan jahil Adagia memukul kepala kakaknya yang sedang menghanduki tubuhnya. "Gia! Kamu itu selalu ya nggak bisa diem!"
"Ih kakak, jangan lah mala-mala terus," ucap Adagia belepotan. Udah 4 tahun lho padahal, tapi ngomong masih belepotan kadang-kadang.
"Terserah."
Allegra merawat Adagia. Mulai dari menaburi bedak, mengoleskan minyak telon, sampai memakaikan baju. Di antara semua itu ... terselip bayangan Aksara dan Tata di belakang kelas tadi. Ih, sebel Allegra tuh!
Rasa sebal dalam dadanya tanpa sengaja dia salurkan saat menyisir rambut Adagia. Akibatnya anak kecil itu jejeritan kesakitan, "Aduh, Kak! Pelan-pelan!"
"Kak!!!" hampir-hampir mau menangis sampai Allegra sadar apa yang dilakukannya benar-benar gila. Rambut Adagia sampai rontok, Sist. Perempuan kalau lagi badmood itu memang entitas paling seram. Kalah setan.
"Maafin Kakak, Gia. Ayo ke Mama." Allegra menuntun adiknya untuk menuruni tangga. Mereka lalu menuju dapur tempat Mama berada.
Begitu sampai, Adagia jelas mengadu pada Mama. Allegra cuma bisa tersenyum pahit sambil menerima omelan Mama. Ya, memang salahnya. Mau bagaimana lagi.
"Kamu kalau nggak ikhlas ngurus adekmu ya udah nggak usah!" ujar Mama sensi.
Allegra tak menjawab. Hanya duduk di atas meja makan sambil mengamati begitu banyaknya hidangan di atas meja. Biasanya sih Allegra bakal langsung nganga begitu lihat makanan segini banyak, tapi sekarang nggak. Bibirnya itu masih terkatup rapat. Sebegitu berpengaruhnya mood bagi Allegra.
Sebetulnya Allegra ini bukan tipe orang yang moody atau gampang naik turun mood-nya. Waktu lihat Aksara sama Tata aja nggak semerta-merta menghancurkan mood-nya. Hal yang bisa membuat mood Allegra turun itu cuma dua, kena omel Mama dan bangun tidur waktu maghrib. Dan sekalinya mood turun ya begini ini efeknya.
"Kamu belum mandi, Le? Mandi sana. Mau ada tamu. Nggak perlu pakai baju yang terlalu heboh, tapi jangan kayak gembel juga," kata Mama.
Allegra diam saja. Tidak menjawab atau membantah, bahkan tidak bertanya siapa tamu yang Mama maksud. Langsung melenggang pergi, masuk kamar mandi, dan mengguyur kepalanya dengan air dingin. Berharap suasana hatinya akan membaik.
***
"Kamu ini mencureng terus dari tadi. Nggak ikhlas ya bantuin Mama?" sindir Mama sambil menata piring-piring di meja.
"Nggak gitu, Ma," jawab Allegra singkat. Gadis yang mood-nya masih buruk itu sedang mengelap piranti-piranti makan. Bantuin Mama ceritanya. Sedangkan Adagia dan Papa sedang bermain di ruang tengah.
Ternyata mandi tidak juga membuat mood Allegra membaik. Sama aja.
Ting-Tong. Bel berbunyi.
"Itu pasti tamunya. Biar Mama aja yang buka." Mama berjalan tergesa.
Allegra menghela napas lega. Dia bersyukur Mama sendiri lah yang membukakan pintu untuk tamu dan bukannya malah menyuruh. Soalnya Allegra malas kalau harus masang fake smile untuk sekadar menyambut tamu dalam keadaan begini. Masih bisa pakai baju rapi plus sudah mandi sampai wangi saja sudah Alhamdulillah.
Allegra meminum segelas air. Masih dengan harapan yang sama, bahwa mood-nya akan membaik seketika. Siapa tau kan Tuhan yang Maha Kuasa membalikkan perasaan Allegra secepat kilat yang menyambar pohon.
"Le, panggil Papamu. Ini tamunya udah sampai," ucap Mama.
"Uhuk! Uhuk!" Allegra tersedak begitu tau siapa tamu yang datang. Seolah seluruh debu yang ada di bumi ini masuk ke tenggorokannya.
Itu ... itu ... Si Antariksa Ganteng! Moodmaker!
"Hai, Le," sapanya.