Kampus CI didominasi oleh mahasiswa pintar. Reputasi kampus CI di negara tercinta Indonesia sangat diakui. Shara menikmati udara pagi yang masih menyegarkan. Siang nanti, udara segar ini akan lenyap dimakan abu kotor yang mengudara. Shara berjalan dengan senyuman terbaiknya.
Tipe mahasiswa baru sangat beragam. Ada yang doyan teriak-teriak dan mengoceh, ada yang terpaku dengan slide belajar hingga yang tidur di kursi belakang. Shara masuk kelas dan bertindak sebagai pengamat.
Gadis berparas cantik yang baru masuk kelas membuat Shara mengalihkan pandangan. Mila, cewek yang ia temui waktu registrasi kemarin. Cewek itu ditakdirkan untuk sekelas dengan Shara.
“Shara? Kita sekelas dong.”ucapnya sambil duduk disamping Shara.
Shara mengernyitkan dahi. Mila akan jadi penghancur segala rencananya. Kursi di samping kiri dan kanan itu ditujukan untuk cowok tampan yang mungkin bisa dijadikan pacar. Dan kini, Mila mengambil kursi sebelah kiri.
“Hai Mil…”
“Kemarin kenapa ninggalin gue sih?”
“Gue kebetulan ada urusan mendadak. Jadi langsung balik ke kosan.”
“Oh ya? Kosan lo dimana? Mungkin gue bisa kesana.”
Shara berpikir sejenak. Haruskah ia mengatakan informasi penting itu? Sebelum mulutnya mengucapkan sepatah kata, cowok berkulit sawo matang dan berparas tampan berdiri di depannya.
“Mila, ini pulpen lo. Makasih ya.”
“Ah iya, sama-sama Gor.”
“By the way, boleh duduk disini gak?”tanya-nya pada Shara. Sungguh cowok itu memiliki tingkat kesopanan yang high value. Shara mengangguk dengan senyuman termanis yang ia miliki. Ternyata Mila berguna juga. Tidak masalah menjadikannya teman sesaat.
“Oh ya Gor, kenalan dong. Ini Shara, teman baru gue.”seru Mila sambil terus menatap layar ponselnya.
“Igor..”
“Shara..”
Perkenalan yang lumayan canggung. Untuk pertemuan pertama, hal ini masih bisa dimaklumi. Shara mendapat informasi kalau mau dapat pacar harus bisa antusias dan sigap.
“Boleh nanya?”tanya Shara ditengah-tengah pembelajaran. Perkuliahan itu disisipkan dengan beberapa kegiatan diskusi guna melibatkan pikiran masing-masing mahasiswa.
“Tentu saja.”
“Kenapa lo masuk jurusan ini?”
“Hmm, lo penasaran? Sejauh ini, belum ada yang pernah nanyain gue tentang itu.”
“Gue pengen tahu persepsi lo. Dan mungkin bisa gue bandingkan dengan persepsi gue.”
“Okay. Gue suka dengan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Ada ketertarikan yang muncul sejak dulu. Gue suka nulis dan baca karya sastra orang. Dan akhirnya, gue pengen tahu lebih dalam. Dan berakhirlah disini.”
“Alasan yang bagus.”seru Shara sambil mangut-mangut.
“Mau cari tahu lebih dalam?”
“Hah?”
“Gue sama Mila mau ke toko buku dekat sini. Lo bisa ikut.”
“Lo sama Mila udah kenal lama?”
“Ah enggak, gue baru kenal waktu registrasi kemarin.”ucapnya sambil tertawa. Dia kemudian mendekat dan berbisik, “Kita punya hobby yang sama.”
Dalam kata yang sederhana itu, Shara yakin kalau Igor punya rasa yang patut diperhatikan. Dia tertarik dengan Mila. Gagal sudah niat mendapatkan hati cowok itu. Shara mengalihkan pandangan pada Mila yang diam tenang sambil mendengarkan penjelasan dari dosen.
“Ah, sebenarnya gue ada kegiatan…….”
“Mila, katanya Shara mau ikut ke toko buku.”ucap Igor dengan suara yang agak keras.
“Yeah, good choice Sha. Lebih rame lebih baik.”balasnya.
Toko buku itu berlokasi di pinggir jalan yang sering dilewati mahasiswa. Shara pura-pura mencari buku meski dalam niatan hatinya tidak. Ia memilih untuk mengabadikan momen dengan foto. Susunan buku usang yang dipotret dengan kamera Iphone. Shara hanya perlu sedikit editing untuk memaksimalkan kualitas gambar itu.
“Gimana? Ada buku yang menarik gak?”tanya Igor penasaran.
Sial sekali rasanya. Pertanyaan itu membuat Shara stres. Sedari tadi ia hanya sibuk foto-foto. Ia belum membaca satupun buku. Terlebih tentang sastra jaman dulu, ah itu membosankan. Shara lebih suka membaca cerita pembunuhan atau psikopat. Itu jauh lebih menarik daripada susunan kata dengan makna tersirat.
“Hmm, btw gue lagi kepikiran hal lain. Apa lo punya lowongan kerja?”tanya Shara mengalihkan perhatian.
“Lo butuh kerja?”
“Yups, gue mau kerja sambil kuliah. Apa aja deh, yang penting bisa dapetin uang.”
“Apa keluarga lo kurang mampu? Mungkin bisa ajukan beasiswa.”tawar Igor mencari alasan.
“Keluarga gue mampu banget. Gue aja yang kurang mampu.”
“Gak ada korelasi dalam kalimat lo.”
“Intinya gue butuh kerja Gor. Gak perlu ada korelasi disitu.”
“Hmm, gue bisa kenalin ke seseorang sih. Tapi gue tanyain dulu ya.”
Shara mangut-mangut. Satu persatu wishlist yang ingin ia lakukan bisa tercapai. Daftar yang ia tulis di After Graduation Book akan terwujud. Hidup untuk bersenang-senang sedikit demi sedikit akan terjadi. Shara hanya perlu bersabar untuk tiap bagian itu.
“Guys, udahan? Gue udah beres nih, tinggal bayar.”ajak Mila dengan beberapa buku di tangannya.
Shara jadi satu-satunya yang tidak membeli buku. Buat apa? Tujuan utama Shara bukan untuk mendapat IP 4 atau terkenal di Kampus CI. Dia juga tak berniat untuk serius dengan kuliah itu. Ia hanya sekedar memastikan bahwa ia akan lulus. Mau itu dengan waktu yang tepat atau tidak terserah saja. Waktu bukan penentu keberhasilan. Waktu itu hanya takaran yang diberi pada manusia. Hanya saja, manusia kerap bergantung pada waktu. Seakan sudah diatur dalam hukum, manusia memberi waktu yang tepat untuk lulus, menikah, punya anak, punya cucu hingga mati. Padahal manusia tak pantas mengambil alih tugas Tuhan itu.
“Jadi lo gak ada hubungan apa-apa sama Igor?”tanya Shara antusias. Bagai mendapat kesempatan dalam kesempitan, Shara mencari celah untuknya mendekati Igor.
“Lo suka Igor, Sha?”tanya Mila heran. Wajahnya yang mungil melongo bisa dijadikan meme humor di f*******:.
“Suka sih,,,,”seru Shara ragu. Dia sendiri tidak tahu definisi suka itu apa. Dia hanya ingin pacaran. Dengan siapa saja yang bisa digapai.
“Okey, gue bantuin lo dapetin dia.”
“Tapi gue gak mau nyusahin Mil.”
“Gak nyusahin kok. Kita teman kan Sha?”
Shara mengangguk. Cewek polos itu ternyata punya karakter yang jauh lebih polos dari wajahnya. Awalnya Shara ingin dapat teman cewek nakal nan v****r. Ternyata punya teman polos itu cukup berguna. Kalau berhasil, ia akan memberi Mila penghormatan luar biasa. Ternyata kosan tempat tinggal Mila tidak jauh dari kosan Shara.
Saat kakinya melangkah menuju kosan, ia melihat David dengan baju shirtless sedang mencangkul di taman yang berisi bunga itu. Shara m*****i matanya dengan keindahan tubuh yang menggoda. David terlihat makin keren dengan tanah di tangan dan kakinya. Shara berjalan ke arah David.
“Kak, lo pembantu baru?”
“Kurang ajar.”
“Terus ngapain nyangkul?”
“Gue dibayar buat ini. Daripada gabut.”
“Oh gitu. Udah ya kak, gue ke kamar dulu.”
“Eh Sha, entar malam makan gak?”
Shara mengangguk.
“Mau makan bareng gak? Lo pasti belum tahu tempat makan enak di sini kan?”
“Okey kak, gue mau banget. See you.”
Shara melonjak girang. Hidup ini adalah kesempatan. Oleh karena itu, tak boleh disia-siakan. Ia harus bisa memanfaatkan segala momen untuk menaklukkan hati David.
Lagu dari Michael Buble membuat hidupnya lebih berwarna. Shara buru-buru mandi dan melakukan treatment terbaik untuk wajahnya. Serasa ingin menghadiri kencan terbaik, ia memoles wajahnya dengan bedak. Tak lupa parfum disemprotkan.
“Kita jalan kaki?”tanya Shara saat kaki mereka melangkah keluar dari lingkungan kosan.
“Iya, tempat makannya dekat Sha. Lagian ya, makanan paling enak itu yang dipinggir jalan.”
“Oh iya kak, gue cuma kaget aja. Kirain tuh kemana.”seru Shara menutupi kekecewaannya. Sebenarnya tidak terlalu kecewa, ia cuma berekspektasi tinggi. Pikirannya terlalu mengharapkan lebih dari suatu kejadian.
Pecel lele dengan tenda warna biru. David menawarkan menu rekomendasi yaitu lele bakar. Sayangnya Shara tak suka lele. Tempat hidup hewan itu membuatnya takut makan lele. Akhirnya ia memilih ayam untuk makan malam. Shara kira mereka hanya makan berdua. Ternyata oh ternyata, mereka kedatangan orang lain. Teman-teman David. Mereka melakukan tradisi anak gaul dengan berjabat tangan penuh rasa solid. Shara yang sedikit merasa asing mencoba untuk bertingkah biasa. Ia harus nampak nakal dengan tampilannya. Bibirnya dengan lipstik merah itu bisa jadi persepsi baru bagi orang lain. Mereka berpenampilan biasa saja. Tak seperti Shara yang salah kostum.
“Oh, jadi lo sekosan sama David? Hati-hati ya, dia itu pemangsa wanita.”ledek salah satu diantara mereka.
“Ga apa-apa kak kalaupun dimangsa.”
“Bisa aja lo.”
“Udah pesan yang banyak biar abang yang bayar.”
“Gak usah sok kaya. Utang lo aja belum lunas.”seru David menghancurkan ajang pamer itu. Entah karena David memang pemangsa wanita atau dia sudah kelaparan dan ingin segera makan.
Shara mengernyitkan dahi heran. David punya teman yang pemikirannya luas. Percakapan mereka bukanlah tentang cewek bohay yang tiba-tiba beli pecel lele atau banci yang memperlihatkan bokongnya. Mereka malah sibuk membicarakan program kerja organisasi kampus. Shara sedikit menyesal telah ada di perkumpulan itu. Ia ingin berteman dengan orang-orang yang menyimpang. Itu adalah salah satu isi wishlist yang ada di bukunya. Harus apakah Shara?