bc

Pelipur Lara

book_age18+
99
IKUTI
2.2K
BACA
billionaire
family
heir/heiress
drama
bxg
brilliant
sassy
like
intro-logo
Uraian

Tari selalu percaya bahwa pernikahan adalah tentang cinta dan kebahagiaan. Namun, Deni—suami yang dulu ia cintai—kini hanya memberi luka. Ia dicaci, diabaikan, dan harus bertahan hidup dengan sisa-sisa ketidakpedulian. Bahkan saat tubuhnya tumbang, Deni tetap tak peduli.

Hingga sebuah pesan dari wanita lain membuka matanya—Rahmi telah menggantikan posisinya. Hatinya hancur, tapi ia tak bisa menyerah.

Bisakah Tari benar-benar melangkah pergi? Pantaskah ia menerima cinta lain yanglebih layak?

chap-preview
Pratinjau gratis
1-Sepuluh Ribu yang Terlalu Mahal
Tari tidak pernah terpikir hanya tersisa uang lima ribu rupiah di dompetnya. Seumur hidupnya, ini adalah hal yang paling menyesakkan. Bagaimana bisa hidupnya yang dulu mungkin bisa terpenuhi mendadak menjadi kemalangan hanya dalam sekejap? “Mas?” ucap Tari sambil memandangi suaminya yang tidur dengan santai di atas sebuah kasur busa yang rupanya sudah kian tipis hingga menyentuh lantai. Tapi tampaknya pria itu tidak terganggu. Entah punggungnya terbuat dari baja, atau kehidupan seperti ini sudah biasa untuknya. “Hm?” mata Deni masih tampak setia memandangi ponsel yang entah apa isinya. Seakan hal itu lebih menarik ketimbang mengajak wanitanya itu bicara. “Aku minta uangnya, Mas. Sepuluh Ribu.” “Buat apa?” tanya Deni masih dengan mata yang setia melihat ponsel meskipun dahinya mulai berkerut. “Beli…” kata-kata Tari tercekat. Ragu dan takut bercampur menjadi satu. Namun dengan sekuat tenaga Tari memberanikan diri untuk mengatakannya. “Beli bedak, Mas.” “Ck!” decakan itu terasa keras menyentuh ulu hati Tari. Tari bergeming. Dia hanya membahagiakan sisi dirinya itu. Sekedar datang ke acara hajatan dengan pantas. Meskipun tidak cantik dengan make up lengkap, tapi tidak masalah kan, jika hanya terlihat segar? Setidaknya itu tidak membuat malu. “Buat apa sih bedak? Gak penting itu, Tar! Ngapain sih pakai bedak-bedak segala. Mau kemana kamu pakai bedak? Warna kulitmu itu, kalau dibedakin malah kelihatan abu-abu. Gak pantas.” Tari menelan ludah, seakan kata-kata Deni tadi seperti batu besar yang menekan tenggorokannya. Dia sudah terbiasa mendengar suara decakan atau sindiran pedas dari suaminya, tetapi kali ini rasa sakitnya begitu dalam. Bedak, sebuah barang sepele yang mungkin tidak pernah dipikirkan orang lain, begitu penting baginya. Namun, bagi Deni, itu adalah hal yang tidak berguna, seperti banyak hal yang sudah ia anggap tidak penting dalam hidup mereka. Dia menatap ponsel suaminya yang masih lekat di tangannya, dan entah kenapa, melihat ponsel itu, Tari merasa begitu jauh. “bedak itu penting, Mas. Supaya.. aku bisa merawat diriku. Sama seperti wanita-wanita yang ada di hp mu. yang lebih menarik perhatianmu,” kata Tari, suaranya hampir tak terdengar. Matanya menatap lantai, tak berani menatap Deni yang kini tampak mengabaikannya. Deni akhirnya meletakkan ponselnya di sampingnya, dan dengan wajah yang mulai menunjukkan kejengkelan, ia berkata, "menarik?” kata Deni sambil tersenyum miring, “Tar, wanita di sosial media ini jelas beda lho sama kamu. Mereka ini sudah cantik memang. Nah, kalau sama kayak kita gini, hidup pas-pasan ya gak mungkin sebening ini, Jangan ngimpi kamu!” Tari menunduk sekedar menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. “Jangan cengeng! Kamu gak bersyukur, Tari! Kita hidup begini karena pilihan kamu. Coba lihat keadaan kita sekarang. Apa yang bisa aku lakukan? Aku sudah bekerja dari pagi sampai malam di pabrik itu, tapi kamu selalu menuntut lebih. Gak usah mikir bedak lah, Tar. Masih untung kita bertiga bisa makan setiap hari. Gak usah kebanyakan gaya." Tari tidak bisa menahan rasa sakit di dadanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Deni seperti pisau yang melukai. Perkara bedak saja bisa membuat rumah tangganya pecah. Bagaimana jika ia menuntut yang lain? Dulu, mereka punya mimpi besar. Mereka bermimpi memiliki rumah yang lebih baik, makan yang cukup, dan bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka suatu saat nanti. Namun mimpi itu mulai luntur seiring berjalannya waktu. Setiap hari yang mereka jalani, semakin terlihat jelas bahwa hidup mereka adalah perjuangan yang sia-sia. ‘Kenapa kamu berubah sekali, Mas. Bagaimana ini? Ya Tuhan, apa aku sudah salah menilainya. Secepat ini cintanya luntur dan malah memaki aku?’ gumam Tari dalam hati. Tak ada lagi kata-kata manis, tak ada lagi perhatian yang dulu dia dapatkan. Semua tergantikan dengan kemarahan dan kekesalan Deni yang seolah tak ada habisnya. “Tapi, Mas… Aku cuma ingin minta tambahan sepuluh ribu, Mas. Apa gak bisa–” “Gak bisa! Bahkan rokokku aja belum ke beli, Tar!” Deni, dengan mata yang mulai tajam, menatap Tari. "Kamu kalau mau hidup enak, bantu aku! Jangan cuma duduk diam di rumah. Asal kamu tahu, kerja di pabrik itu capek, Tar! Kalau cuma mengandalkan aku, ya terima saja. Kamu yang memilih untuk menikah denganku, kamu yang memilih hidup seperti ini!" suara Deni semakin keras, penuh amarah. “Ibu!” suara kecil menggemaskan itu meredam sedikit hawa panas di ruangan itu. Anak kecil yang hanya menggunakan kaos dalam dan celana kedodoran berlari kecil ke arah ibunya. Ia kemudian memeluk erat sang Ibu kemudian memandangi ibunya yang baru saja selesai menyeka air matanya. “Ibu, ngis?” tanya pria kecil berumur dua tahun yang memandang dalam wanita di depannya. Tari menggeleng sambil menahan kuat air matanya agar tak jatuh. Dia tak ingin mengeluarkan apapun dari mulutnya. takut itu malah membuatnya menangis pilu di depan si buah hati. Sementara Deni melihat pemandangan itu berdecih melihat Tari yang berpelukan dengan balita mereka bernama Fendi, “kamu ‘kan ibunya! Bukannya kamu yang melindungi anakmu, malah kamu yang selalu berlindung di balik tubuh Fendi. Lagi pula, Tar, kalau di pikir-pikir, dari pada kamu beli bedak yang gak berfaedah itu. Mending kamu belikan baju rendi itu. Lihat itu, semua bajunya kotor. Itu kamu yang nyucinya gak becus atau kamu yang gak bisa jaga rendi. Kok bisa—” kata-kata selanjutnya hanya seperti dengungan bagi Tari. Ia tak bisa mendengarnya lagi. Pikirannya melayang entah kemana. Pandangan matanya kosong. Ia tak tahan lagi. *** “Itu, Tari!” tunjuk seorang gadis muda yang terlihat ayu dengan senyum mengembang di wajahnya. “Tari!” panggilnya nyaring. Tari yang sedang menggendong anaknya berbalik dan tersenyum mendapati temannya, Mila, berjalan ke arahnya dengan antusias. “Jadi ini namanya Fendi. Gantengnya,” ucap Mila sambil mencubit pelan pipi Fendi. Binar mata Fendi membuat Mila tertarik dengan balita itu. Dia tampak ceria dan pintar. Tangannya di ulurkan tanpa menunggu perintah dari sang Ibu. Mila yang tahu Fendi ingin bersalaman pun memberikan tangannya dan tidak menyangka pria kecil itu mencium punggung tangannya kemudian tersenyum lebar. “Ya ampun, kamu pinter banget! Ah, gemes!” ucap Mila yang kemudian segera mengambil fendi dari gendongan Tari kemudian memeluknya dengan erat. Mila terlalu senang dengan pertemuannya dengan Fendi, hingga ia tak menyadari betapa mengenaskannya penampilan Tari saat ini. Wanita itu bahkan hanya menatap kosong ke arah sahabatnya tanpa ada sepatah katapun keluar dalam bibirnya. “Tari—” Belum sempat mengucapkan kalimatnya, ia sudah lebih dulu melihat badan Tari yang limbung. “Tari!” ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Revenge

read
35.4K
bc

MY LITTLE BRIDE (Rahasia Istri Pengganti)

read
19.3K
bc

Beautiful Pain

read
13.6K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.8K
bc

Oh, My Boss

read
386.9K
bc

Penghangat Ranjang Tuan CEO

read
33.7K
bc

Hati Yang Tersakiti

read
6.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook