bc

Hasrat Liar Pak Tua

book_age18+
0
IKUTI
1K
BACA
family
HE
age gap
friends to lovers
mafia
heir/heiress
bxg
campus
city
office/work place
friends with benefits
like
intro-logo
Uraian

Kejadian tak terduga harus Bianca alami saat dia akan pulang ke rumah, keperawannanya direnggut oleh seorang pria tua berusia 45 tahun—Bastian namanya. Dari hubungan satu malam itu, muncul h*srat terlarang yang tak seharusnya ada di antara dirinya dan Bastian. Akankah hubungan mereka akan lebih dari teman r*nj*ng?***"Bapak gila?! Seenaknya nyium saya!" protesnya. "Saya nggak tahan, di dekat sini ada hotel, kita ke sana." Bastian menarik tangan perempuan asing itu dengan terburu-buru. "Ha?!" pekiknya heboh sambil memberontak.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. One Night Stand
Matahari sepenuhnya hilang dan bulan mulai memperlihatkan dirinya, waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Di sebuah restoran, di lantai atas sebuah restoran mewah—tepatnya ruang VIP, pintunya perlahan tertutup saat seorang pria dengan jas hitam masuk ke dalam. Ruangan itu berdesain elegan, lampu gantung kristal menjuntai tepat di atas meja panjang dengan taplak kain putih, suara hiruk-pikuk dari luar dan musik jazz teredam. Ruangan yang sangat pas untuk pertemuan bisnis bersama klien. Lilin-lilin kecil di sudut menyala lembut, memantulkan cahaya hangat di permukaan gelas kristal dan piring porselen. Aroma steak yang baru saja disajikan bercampur dengan wangi wine yang sudah dituangkan ke dalam gelas. Kehadiran Bastian malam ini adalah menghadiri pertemuan dengan klien untuk membahas sebuah proyek besar. Proyek yang tentunya menguntungkan pihak kedua, Pratama's Group. Bastian hadir sendiri untuk pertama kalinya, karena sang sekretaris tiba-tiba saja memiliki urusan mendadak. Bastian duduk di hadapan Riko dengan tenang. Pria yang Bastian ketahui sebagai Direktur baru Pratama's Group, seorang pria muda berusia 29 tahun yang penuh ambisi untuk membuat perusahaannya maju. "Selamat malam, Pak Bastian," sapa Riko dengan senyuman manis. Sebelumnya mereka sudah bersalaman, lalu duduk berhadapan. "Malam juga, Pak Riko. Maaf saya datang terlambat dan terima kasih sudah menunggu saya," balas Bastian dengan nada suara datar. Riko terkekeh. "Santai, Pak. Pasti Pak Bastian sibuk, saya cukup mengerti. Bagaimana kalau kita bahas proyek besar ini? Lalu makan," ajaknya. Bastian mengangguk, sama sekali tak menaruh kecurigaan. Baginya Riko tak lebih dari anak ingusan yang baru terjun ke dunia bisnis, rasanya sedikit mustahil Riko berani melakukan hal aneh seperti pesaing yang lain. "Senang rasanya bisa berkerja sama dengan NexaTech Solutions. Siapa yang tidak tahu perusahaan teknologi terbesar di Asia? Yang kata orang susah untuk digait, tetapi saya berhasil." Pujian itu Riko lontarkan dengan senyuman karir yang tepantri di wajahnya. Bastian terkekeh. "Ini terlalu berlebihan, tetapi terima kasih. Kami melihat proposal yang Anda kirimkan sangatlah dalam-dalam. Ujung batang rokok itu memerah, bara kecilnya berpendar di antara cahaya lilin yang temaram. Asap putih perlahan keluar dari bibirnya, melayang ringan di udara sebelum mengabur ke langit-langit ruangan. “Bangunan cerdas, ya?” gumamnya pelan, seolah mencerna kalimat tadi sambil menatap ujung rokok. “Kedengarannya ambisius, tapi menarik.” Dia menghembuskan asap lagi, kali ini lebih panjang, meninggalkan aroma tembakau yang tipis bercampur dengan wangi wine di meja. Matanya tetap menatap proposal, sementara jemarinya mengetuk ringan meja mengikuti irama musik jazz yang samar terdengar dari luar. Riko hanya tersenyum, memperhatikan gerak-gerik Bastian yang terlihat tenang—terlalu tenang, hingga sulit ditebak apa yang sebenarnya dia pikirkan. “Betul. Selama ini, fokus kami adalah infrastruktur dan kualitas fisik. Tapi kalau digabung dengan sistem pintar, hasilnya akan lebih bernilai. Contohnya gedung perkantoran yang bisa menyesuaikan penggunaan listrik sesuai jumlah orang di dalam ruangan," jawab Riko dengan detail. “Ya, kami punya software IoT yang bisa terintegrasi langsung dengan sensor di dalam bangunan. Jadi, gedung itu bisa ‘hidup’—memantau suhu, cahaya, bahkan kualitas udara. Data real-time ini juga bisa dimanfaatkan untuk pemeliharaan, supaya tidak ada kerusakan yang terlambat ditangani." Bastian mematikan rokoknya, lalu membuang puntung rokok itu pada asbak yang tersedia. Riko melihat jam yang melingkar di tangannya, 30 menit sudah berlalu dan sebentar lagi makanan akan dingin. Sebagai tuan rumah, dia mendongak—menatap ramah pria berusia 45 tahun di hadapannya. "Pak Bastian, mari kita makan dulu, setelahnya baru kita lanjutkan," ajak Riko yang diangguki Bastian. *** Bastian melangkah keluar dari ruang VIP dengan napas yang tidak beraturan. Dadanya naik turun cepat, tubuhnya terasa panas, bahkan hawa malam pun tak mampu meredakan gejolak aneh yang merambat di sekujur tubuhnya. Dia berdecak pelan, matanya menyipit menahan rasa yang sulit dijelaskan. Wine yang dia minum jelas telah tercampur sesuatu—obat perangsang. “b******k,” umpatnya dalam hati, menyadari permainan kotor yang Riko lakukan. Untung dirinya segera sadar saat reaksi tubuh mulai tak terkendali. Dengan langkah gontai, dia berusaha mencari udara segar di luar restoran, mencoba menenangkan diri. Namun, di tengah kebingungan itu, langkahnya justru tak teratur. Pikirannya mulai kabur, tubuhnya limbung. Saat hendak menyeberang lorong menuju lift, tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Seorang perempuan terjatuh kecil, tasnya hampir terlepas dari genggaman. “Ah! Maaf—” suaranya terdengar gugup, terkejut dengan benturan itu. Bastian spontan menahan bahunya, tapi genggamannya sedikit terlalu kuat karena efek obat yang masih bekerja. Tatapan matanya tajam namun redup, campuran antara kebingungan dan amarah yang ditahan. Perempuan itu menatap balik, sedikit terdiam melihat ekspresi asing di wajah pria itu. Pria yang cukup tampan dan gagah, tetapi sayang ekspresinya terlalu aneh dengan wajah memerah. Bastian berusaha menarik napas panjang, menahan diri agar tetap waras. “Maaf … saya nggak sengaja,” ucapnya pelan, suaranya berat, hampir serak. "Pak? Bapak oke, 'kan?" Perempuan itu menempelkan punggung tangannya pada kening Bastian, dia mengernyit. "Panas," sambungnya lirih. Dia tersentak saat Bastian menarik tangannya, lantas memeluk pinggangnya. Mata perempuan asing itu membulat sempurna kala sesuatu bertekstur kenyal menempel di bibirnya. Matanya terpejam saat bibir pria itu bergerak, membelai dan menyentuhnya dengan lembut. Dia nyaris terbuai sebelum akal sehatnya kembali menguasai dirinya, perempuan itu berusaha melepaskan pelukan mereka dengan memukul bahu pria asing di hadapannya. Ciuman itu terlepas, dia mengatur napas—deru napasnya terdengar jelas. Perempuan itu melotot tajam, menatap sebal pria berumur di hadapannya. "Bapak gila?! Seenaknya nyium saya!" protesnya. "Saya nggak tahan, di dekat sini ada hotel, kita ke sana." Bastian menarik tangan perempuan asing itu dengan terburu-buru. "Ha?!" pekiknya heboh sambil memberontak. Di dalam kamar hotel, seorang perempuan melenguh tertahan. Tubuhnya dibelai dan disentuh dengan senduktif, terkadang dia merasakan benda lunak tanpa tulang ikut membelai tulang selangkanya membuat dirinya hilang akal. "Eungh ..., Pak!" desah perempuan itu tertahan. "Saya mohon bantu saya, saya enggak kuat." Suara rendah Bastian membuat sesuatu di dalam dirinya luruh, tatapan sayu Bastian berhasil menarik akal sehat perempuan itu. "Bapak bukan demam, tapi kena obat perangsang?!" serunya dengan mata melotot. Bastian mengangguk lemah, dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher perempuan itu. Menggigit kecil dan menghisapnya pelan, menciptakan tanda kepemilikan yang tak seharusnya ada. Malam itu, Bastian merengut kesucian perempuan asing yang tak pernah dia lihat. Malam itu, Bastian kembali merasakan suatu kenikmatan duniawi setelah sekian lama. Lalu, perempuan itu merasa terbang untuk pertama kalinya. *** Sinar matahari menerobos masuk melalui celah gorden. Seorang wanita melenguh sambil merentangkan tangan. Matanya terbuka sempurna kala mengingat sesuatu, dia secara spontan mengubah posisi menjadi duduk. Matanya semakin melotot saat melihat tubuhnya telanjang, dia menoleh ke samping—melihat seorang pria tertidur tanpa sehelai benang. Wanita itu menggigit selimutnya, dia menahan napas. Keperawanannya diambil pria asing yang kemarin dia lihat dengan penampilan berantakan. Memukul kepalanya berulang kali, dia menggeram tertahan. "Bianca bodoh! Cari mati banget, sih?!" Dia merutuk. Menyibak selimut, dia melirik pria di sampingnya. "Gue harus pergi sekarang, harus! Ntar kalau dia ngira gue goda dia gimana?! Gue juga harus minum pil pencegah hamil, nggak lucu gue bunting!" lanjutnya. Bianca berdiri, dia memungut pakaiannya dan menggunakannya dengan cepat, lalu pergi dari sana. Tak berselang lama, Bastian bangun. Dia memegang kepalanya yang berdenyut nyeri, pria itu mengernyit saat melihat noda darah di seprai. Ingatan kemarin malam berputar, Bastian semakin kuat mencengkeram rambutnya. Pria itu berdecak, dia segera mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. "Batalkan kerja sama dengan Pratama's Group!" titahnya pada seseorang di seberang sana. "Sial! Ke mana wanita itu?! Kenapa dia ilang?!" Bastian mengacak rambut frustrasi, apa yang dia rasakan kemarin malam berputar di kepalanya, rasa nikmat yang ingin dia ulangi lagi.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook