malam semakin larut, tetapi gadis berusia 16 tahun itu belum juga tidur. Dia menanti kepulangan sang ayah di ruang tengah yang begitu senyap, tak ada suara apa pun, selain denting jarum jam yang terdengar nyaring.
Aurellia Prameswari Terazqi, gadis itu duduk dengan tubuh tegak dan punggung bersandar pada sofa. Kedua tangan gadis itu melipat di depan d**a, raut wajah datar, tatapan Aurel begitu tajam. Tatapan gadis itu tak pernah lepas dari jarum jam yang terus bergerak.
Bastian yang selalu pulang terlambat belakangan ini membuat Aurel menjadi lebih waspada, gadis itu benar-benar melarang Bastian melakukan hal bodoh seperti beberapa hari lalu. Dia benar-benar tak ingin Bastian dekat dengan wanita mana pun.
Menghela napas panjang, Aurel berdecak. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.45 wib, tetapi Bastian masih belum pulang. Mengusap wajah frustrasi, Aurel mengambil ponselnya—mencoba kembali menghubungi Bastian. Namun, sebelum dia menempelkan ponselnya ke telinga, Bastian datang dengan langkah sempoyongan dan mata setengah tertutup.
Aurel segera bangun, dia berjalan cepat menghampiri sang ayah. Sementara Bastian tersenyum-senyum tak jelas, matanya menyipit dengan tatapan sayu. Aurel mendecak sebal, dia memapah tubuh besar Bastian sampai ke sofa.
Menepuk tangannya seolah kotor, gadis itu lantas berkacak pinggang seraya memandang dingin sang ayah yang masih meracau dengan suara yang tak bisa Aurel dengar.
"Papa gila, ha?! Papa mabuk?!" kesal Aurel dengan suara yang sedikit keras.
"Bianca, saya kangen kamu, kangen, kangen ...!" Bastian merengek, dia menarik-narik pakaian tidur sang anak.
Mendengar nama yang cukup asing membuat alis Aurel berkerut, tatapan gadis itu semakin tajam. Dia berdecak keras, dengan sadar Aurel menendang kaki sang ayah. Namun, Bastian tak merespons, dia masih terus meracau tidak jelas.
"Pa! Sumpah, ya, Pa. Sampe aku tau siapa Bianca itu, aku bakalan jejelin racun ke mulut dia!" Aurel mengucapkan kalimat itu dengan tingkat kekesalan yang melebihi tangki emosinya.
Bastian membuka mata, dia tersenyum layaknya orang bodoh di hadapan sang anak. Meraih tangan Aurel, Bastian menggoyangkan tangan kecil itu dengan lambat, tatapannya sayu sekaligus sedikit berbinar.
"Kamu bakalan punya mama baru, Sayang. Kamu seneng?" ucap Bastian dengan nada riang.
"Mimpi!" ketus gadis itu.
"Pengawal ...!" teriak Aurel dengan wajah memerah, menahan amarah.
Tak lama dari itu, dua orang berbadan besar masuk tergopoh-gopoh menghampiri nona muda mereka. Mereka berdiri dengan kedua tangan di depan tubuh dan kepala menunduk—hormat. Sementara itu, Aurel membuang napas seraya menatap malas sang ayah.
"Tolong bawa Papa ke kamar!" titah gadis itu.
"Baik, Nona Besar," sahut mereka serempak.
Aurel menarik napas panjang, wajahnya masih memerah. Tangan Aurel terkepal, gadis itu memejamkan mata. Napasnya memburu, d**a Aurel naik turun dengan keras dan juga cepat.
"Bianca, Bianca. Siapa lu, Sialan?! Gue nggak akan biarin lu deketin bokap gue!"
***
Matahari naik malu-malu ke permukaan. Sinarnya menembus tirai tipis berwarna biru muda, seorang gadis melenguh. Dia mencari ponselnya dengan mata tertutup, lalu melihat jam yang tertera di layar ponsel. Dengan malas, dia mengubah posisi menjadi duduk. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada ranjang, matanya masih terpejam.
Ketukan pintu berhasil membuat dia membuka mata. Berdecak sebal, dia lantas turun dari ranjang dan melangkah menuju pintu. Saat pintu terbuka, wajah seorang wanita menyapa dirinya. Aurel tersenyum kikuk, dia menggaruk pipinya yang tak gatal sama sekali.
"Aduh cucu Oma, Oma kangen sayang," ucapnya, membawa Aurel ke dalam pelukannya.
Aurel tersenyum canggung tanpa dilihat. Dia hampir saja memaki orang yang mengganggu waktunya untuk tidur kembali.
Dian Lestari Terazqi, wanita berusia 76 tahun itu langsung melepaskan pelukannya. Tangannya mengusap rambut cucu satu-satunya dengan senyuman hangat, sedangkan Aurel menatap hangat wanita yang sudah membesarkan dirinya.
"Oma kenapa nggak nunggu di bawah aja? Kasian Oma harus naik tangga, lho," kata Aurel dengan lembut.
Dian masih tersenyum. "Oma kangen kamu soalnya, Sayang. Cuci muka dulu, gih. Opa udah nunggu kita buat sarapan bareng."
Aurel mengangguk semangat, dia mencium pipi Dian lantas masuk ke kamar mandi. Sementara itu, Dian menggelengkan kepala melihat tingkah cucu perempuannya itu.
Aurel menuruni tangga dengan tergesa-gesa, dia melangkah cepat ke ruang makan. Saat tiba di ruang makan, dia mengecup pipi kakek dan neneknya. Senyuman Aurel merekah, menyapa mereka. Gadis itu duduk di hadapan Dian.
"Papa mana?" tanya Aurel seraya mengaduk bubur kacang hijaunya.
"Udah ke kantor, Sayang. Katanya ada rapat," sahut Rio Terazqi—Ayah Bastian.
Mendengar itu, Aurel mendengus. Dia meletakkan sendok, lalu menyandarkan punggung pada kursi. Kedua tangan gadis itu terlipat di depan d**a, dia memandang sang kakek dan nenek bergantian.
"Rapat apa mau ketemu si Bianca itu?" ucapnya penuh kesal.
"Bianca siapa?" sahut Dian dengan wajah bingung.
Aurel menghela napas, lalu menjelaskan semuanya pada Rio dan Dian. Gadis itu menjelaskan dengan dramatis dan menggebu-gebu, nada suaranya terdengar amat tak suka dengan Bianca.
Dian mengangguk paham. "Mungkin papamu cuman asal ceplos aja, Sayang," katanya.
"Jelas itu bukan asal ceplos, Sayang. Wanita itu pasti udah goda anak kita," celetuk Rio dengan tangan terkepal.
Dian menghela napas, dia mengusap lengan sang suami. "Gimana mau godain anak kita, Pa? Bastian setelah cerai jadi nggak mau deket sama siapa pun," jawab Rian, menggelengkan kepala heran.
"Tapi aku tetep nggak setuju papa sama si Bianca itu!" tolak Aurel dengan tegas.
"Tenang. Cucu Oma ini terlalu galak, ah. Jangan berprasangka buruk dulu, ya. Kita belum tahu kebenarannya kayak gimana, Sayang," tutur Dian dengan lembut.
***
Di lain tempat, seorang wanita bersin secara tiba-tiba. Dia mengusap hidungnya yang terasa gatal. Rumah sederhana itu dia perhatikan sekeliling, lalu dia kembali mengaduk sayur sup yang dia buat.
"Ini siapa yang gibahin gue deh? Sayur gue jadi kena liur 'kan, untung liur sendiri," celetuk Bianca asal.
Ya, wanita itu Bianca. Dia tengah memasak sarapan sebelum pergi beraktifitas. Wanita itu hidup sebatang kara di rumah kecil dan sederhana ini, rumah yang memiliki beribu kenangan pada masanya.
Bianca mengambil mangkuk, dia lantas mematikan kompor. Dengan hati-hati, dia menuangkan sup buatannya ke dalam mangkuk. Wanita itu lantas menghela napas lega, dia berjalan ke meja makan kecil yang ada di sudut dapur. Duduk di kursi, dia menatap sendu dua kursi kosong di hadapannya.
Bianca menarik napas, wanita itu lantas mengambil satu sendok nasi dan lauk pauk. Dia tak mau terlalu larut dengan kesedihan yang merayap di hatinya.
"Dunia kadang lucu juga, ya? Katanya kita makhluk sosial, tapi nyatanya kita harus kuat sendiri."