2

1816 Kata
Dua jam telah berlalu, Hania telah mengantarkan Aleya tepat sampai didepan rumah gadis itu. Menghela napas panjang, Aleya membuka gerbang yang tinggi menjulang. Satpam yang selalu berjaga entah ada dimana, Aleya mengernyitkan dahi ketika didepannya sudah ada mobil dari Ayahnya. Ya, selama hampir satu minggu ini Hartono dan Sinta berlibur diluar negeri, sedangkan Zizi entah ada dimana. Aleya melangkahkan kakinya menuju dalam rumah, jari-jarinya bergera untuk membuka gagang pintu. Hening, menyambut Aleya saat itu. Aleya melenggang menuju kamarnya, tubuhnya terasa lelah seharian dan ingin beristirahat. Aleya tidak berniat menyapa orangtuanya yang baru pulang, entahlah rasa sakit hati dan kecewa membuatnya malas melakukan itu, terlebih pada Ayah kandungnya sendiri. Sesampainya di kamar, Aleya merebahkan tubuhnya pada ranjang, meletakkan tas kain yang berisi beberapa buku disamping kepalanya. Aleya memejamkan mata mencari ketenangan, selama ini hidupnya penuh dengan intrik. Sungguh ia adalah gadis yang rapuh dan berusaha tegar untuk menjalani hidupnya, ia tersenyum untuk menutupi luka. Lama Aleya memejamkan mata, suara ketukan pintu mengganggu acara ketenangannya. Aleya membuka matanya dan mengerjapkan pelan, ia sungguh malas meladeni siapapun yang berada dibalik pintu itu. Tok.. Tok.. Tok.. Lagi, suara itu malah terkesan memaksa dan tidak sabaran, dengan berat hati Aleya menuju pintu itu. Dilihatnya Zizi sedang memasang wajah sinis dan terkesan jutek, Aleya diam menunggu Zizi mengeluarkan suaranya. “Ayah memanggilmu.” Zizi berucap dengan malas. “Aku tidak mau.” Tak kalah jutek, Aleya menatap Zizi dengan tajam. Zizi memelototkan matanya, ia menatap Aleya dengan geram. “Ini penting, kamu harus menemuinya.” “Ya, pergilah dari sini.” Aleya mengibaskan tangannya untuk mengusir Zizi, membuat gadis itu menatap sinis sang kakak. Zizi melangkahkan kakinya menjauh dari kamar Aleya, tapi sesaat setelahnya gadis itu menyeringai puas. Aleya menghela napas, tidak biasanya Hartono membicarakan sesuatu dengan dirinya. Apalagi harus bersusah payah menyuruh Zizi untuk memanggil dirinya, Aleya memiliki firasat yang buruk sekarang. Ditutupnya pintu kamar, Aleya beranjak untuk menemui ayahnya. Dengan jantung yang berdegup Aleya menuruni anak tangga, kamarnya berada dilantai atas. Dibawah sana sudah ada beberapa orang, Sinta, Hartono dan juga Zizi. Langkah kaki Aleya terdengar mendekati keluarga itu, seketika semua tatapan beralih padanya. Hartono buru-buru menyuruh Aleya duduk disofa, sedangkan Sinta dan Zizi tersenyum sinis. “Duduklah, Leya.” Hartono berdehem pelan, sembari menunjuk sofa untuk Aleya. Saat itu juga Hartono mengeluarkan map dan juga surat-surat dari tas hitam yang dibawanya, napas Aleya tercekat setelah melihat itu. Sekarang ia tahu betul apa yang akan dibahas oleh keluarganya, pantas saja Sinta dan Zizi tersenyum mengejek padanya. “Ini adalah surat wasiat milikku dan Ibumu, dulu aku dengannya membuat toko dengan sama-sama. Uang pribadinya juga digunakan untuk modal pembukaan toko, dan setelah ia meninggal maka kamu yang berhak menerimanya, menerima pembagian keuntungan dari hasil toko.” Aleya tahu bahwa Ibunya memiliki andil besar dalam kesuksesan Hartono, orangtuanya memiliki toko bahan bangunan yang tersebar dikota-kota yang ada di Indonesia. Perjuangan Hartono dan istri pertamanya sangat-sangat penuh dengan tangis air mata, jatuh bangun keduanya membangun bisnis toko bahan bangunan hingga sesukses sekarang. Uang pribadi yang dimaksud oleh Ayahnya adalah berasal dari kantong Ibunya sendiri, mendiang Munangsih. Munangsih membantu usaha suaminya agar bisa dikelola dengan baik, benar saja mereka telah berhasil membangun toko yang memiliki banyak cabang dimana-mana. “Langsung pada intinya saja, apa yang ingin Ayah bicarakan?!” Aleya berkata dengan nada tajam, membuat Hartono terkejut beberapa saat. “Usiamu sudah menginjak dua puluh tahun, dan sesuai amanah Ibumu, ia memberimu warisan dari hasil keuntungan bisnis toko selama ini. Dulu Ibumu menyuntikkan dana sebesar delapan puluh persen, tapi pada kenyataannya Ibumu telah pergi terlebih dulu. Dulu kami menjanjikan dana itu kembali dalam jangka waktu dua puluh tahun untuk memenuhi target penjualan, tapi Tuhan berkehendak lain dan lebih dulu memanggilnya.” Hartono menjeda kalimatnya, ia menatap putri kandungnya yang berekspresi datar. Aleya tahu, tahu apa yang akan menjadi kelanjutannya, dan ia akan mendengarkan dengan diam. “Bisnis toko baru berjalan selama lima belas tahun, dan masih ada lima tahun lagi untuk memenuhi perjanjian tersebut. Maka dari itu, nominal tiga puluh persen dana yang akan Ayah berikan kepadamu sudah setara dengan besar modal yang Ibumu berikan dulu.” Sinta dan anaknya tersenyum menyeringai, tidak sia-sia ibu dan anak itu saling bekerja sama menghasut Hartono agar sesegera mungkin mengembalikan dana itu. Awalnya Sinta terkejut ketika mengetahui bahwa Aleya akan menerima warisan dari toko besar milik suaminya, tapi pada akhirnya Hartono memberitahu bahwa warisan yang dimaksud merupakan uang dari Munangsih. Jika ditelaah lebih dalam, delapan puluh persen dari beberapa tahun lalu akan lebih besar jumlahnya dimasa sekarang, untuk itu Sinta menghasut Hartono untuk segera mungkin menyerahkan uang itu, dan memotongnya beberapa persen karena Munangsih terlebih dulu meninggal sebelum dua puluh tahun masa kejayaan toko. Aleya mendongakkan kepala menatap Hartono, Sinta dan Zizi, meneliti ekspresi mereka satu per satu. Ia menarik napas panjang-panjang lalu menghembuskanya dengan pelan. “Baik, aku akan menerimanya.” Hartono sempat membelalakkan matanya, ia pikir Aleya akan marah-marah dan memakinya, tapi ia melihat wajah suka rela dari Aleya. “Dan satu lagi… Rumah ini, rumah ini akan Ayah wariskan pada Zizi.” Hartono melanjutkan ucapannya, kali ini ia melihat ekspresi wajah Aleya yang menahan amarah. Aleya menatap tajam Hartono, sedetik kemudian ia menatap Zizi yang memekik senang. “Aku tidak setuju dengan hal ini, rumah ini mempunyai banyak kenangan dengan Ibu, aku tidak rela jika Ayah memberikannya kepada orang lain.” Aleya berkata dengan berang. Hartono tidak menyangkal, ia sudah menduga akan hal ini. “Kak Leya, kenapa kamu mengatakan kalau aku orang lain? Aku adalah adikmu meski bukan adik kandung, tapi aku akan merawat rumah ini dengan baik.” Zizi bersuara, ia pura-pura menangis. “Tidak usah bepura-pura padaku, sekarang kalian senang sudah berhasil menyingkirkanku dengan perlahan?” Aleya menunjuk-nunjuk wajah Sinta dan Zizi secara bergantian, bahkan ia sudah berdiri dari duduknya. “Jaga ucapanmu, Leya!!” Ujar Hartono dengan geram. Sekarang Sinta pun ikut-ikutan mengeluarkan air mata buayanya, wanita paruh baya itu tergugu sesekali mengusap ingusnya. Melihat anak dan istrinya menangis karena perlakuan Aleya, lagi-lagi Hartono mulai termakan jebakan. “Kenapa kamu menuduh Ibu seperti itu, Leya? Ibu tidak mempunyai niat buruk seperti itu, teganya menuduhku seperti itu.” Sinta menunjukkan ekspresi paling menyedihkan, berusaha menarik simpati Hartono. “Memang kenyataannya seperti itu, puas sekarang ‘hah? Dan satu lagi, kamu bukan Ibuku.” “Aleya Lestari! Ayah tidak pernah mengajarkanmu seperti itu, mereka adalah keluargamu juga. “ Hartono benar-benar marah, emosinya memuncak melihat Aleya membentak istri dan anaknya. “Mereka memang sudah merencanakan ini—“ Ucapan Aleya terputus sebelum ia menyelesaikannya. “Cukup Leya!! Rumah ini memang Ayah berikan pada Zizi karena dia juga anakku, kamu tidak berhak membantah. Zizi lebih berhak, dan jika kamu tidak mau menerimanya lebih baik pergi saja dari rumah ini.” Hati Aleya remuk mendengar ucapan Hartono, apa sekarang itu adalah kalimat pengusiran? “Ayah mengusirku?” Air mata Aleya mulai memupuk, penglihatannya memburam. “Ya, akan lebih baik jika kamu pergi dari rumah ini.” Hartono melanjutkan kalimatnya, emosinya diambang batas, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Aleya yang hancur. Tangis Aleya pecah, ia menatap Ayahnya dengan pandangan kecewa, marah dan semuanya bercampur aduk. Ia tidak menyangka bahwa Hartono akan sekejam ini padanya, Aleya rapuh. “Baik, aku akan pergi dari sini dan aku tidak akan pernah kembali, meskipun Ayah sendiri yang memintanya.” Bagi Aleya, rumah ini adalah hal penting dalam hidupnya. Semua memori dan kenangan masa kecil ada didalam rumah ini, dan Aleya sungguh mencintai kediamannya. Sayangnya, rumah itu pula yang menjadikan dirinya terpuruk dan rapuh, Ayahnya sendiri memberikan rumah itu pada orang lain, dan parahnya orang tersebut merupakan orang yang salah. Sudah tidak ada lagi yang bisa ia harapkan, kenangannya sudah pupus. Aleya berbalik badan dengan segera, meninggalkan Hartono dan yang lainnya. Hartono melihat punggung Aleya dengan tatapan nanar, sejatinya ia tidak bermaksud mengusir Aleya, setitik hatinya merasa menolak. Sedangkan Zizi dan Sinta saling tersenyum kemenangan, mereka sudah berhasil menyingkirkan Aleya, sebentar lagi niatnya akan terlaksana dengan penuh. Disisi lain Aleya yang baru saja tiba dikamarnya langsung menelungkupkan diri pada ranjang, bahunya meluruh dan bergetar, nasibnya sungguh malang sekali. Hartono tega mengusirnya hanya demi untuk membela Zizi dan Sinta, Ayahnya yang selama ini menjadi pegangan hidup Aleya akhirnya menyakiti hati sang anak. Beberapa menit kemudian Aleya bangkit dan menyeka sisa air mata, tapi matanya terlihat bengkak dan hidungnya memerah. Menghela napas kasar, Aleya bangkit dari duduknya dan menuju ke sudut lemari. Disana ia menyimpan koper besar, Aleya sudah bertekad bulat untuk pergi dari rumah itu. “Jika memang ini yang terbaik, maka aku akan pergi. Aku tidak bisa melihat rumah ini dikuasai oleh orang-orang jahat, Ibu.. maafkan Leya.” Dengan hati yang panas Aleya langsung meraih semua pakaian yang ada dilemari, ia melakukannya dengan cepat agar tak membuang-buang waktu. Baginya, semua hal yang berkaitan dengan Zizi dan Sinta adalah sesuatu yang buruk, entah apa yang mereka rencanakan setelah berhasil menguasai rumah ini. Aleya mengambil barang pribadinya, tak lupa ia membawa identitas diri yang lengkap berupa kartu kependudukan, passport, semua ijazah dan foto kenangan bersama sang Ibu. Semuanya telah ia masukkan ke dalam koper, kamarnya sudah kosong. Aleya menatap kamarnya sekali lagi, menyimpannya untuk yang terakhir kali. Ruangan sepetak dengan meja belajar disamping, lemari yang berukuran sedang, dan juga jendela yang langsung menghadap ke jalanan, benar-benar Aleya simpan dalam memori otaknya. “Aku akan pergi, terimakasih sudah menjadi saksi bisu atas kehidupanku selama beberapa tahun ini.” Setelahnya Aleya meraih gagang pintu yang bertuliskan namanya, ia menutup benda persegi panjang tersebut. Aleya melangkahkan kakinya menuju keberadaan keluarganya, atau lebih tepatnya mantan keluarga? Ya, mantan keluarga. Disana Sinta dan Zizi sedang mencoba menetralkan amarah Hartono, keduanya bak ular berbisa. Kedatangan Aleya membuat mereka menoleh bersamaan, menatap lekat satu titik dimana koper Aleya sedang diseret oleh empunya. Dengan sigap Sinta berdiri dari sofa, ia beranjak menuju keberadaan Aleya. “Leya! Apa yang kamu lakukan, jangan seperti itu sayang. Mas, Ayo lakukan sesuatu agar Aleya tidak pergi.” Sinta memulai aktingnya, wanita itu berteriak dengan heboh dan juga ekspresi sedih yang dibuat-buat. Aleya berdecih, ia bersumpah bahwa kini Sinta sedang tertawa mengejeknya dalam hati. “Leya, Ayah bukan bermaksud—“ “Terimakasih atas semua kenangan yang telah Ayah berikan, terimakasih juga karena telah membesarkanku.” Aleya langsung memotong perkataan Hartono. “Aleya tolong jangan seperti itu.” Lagi, Sinta berusaha mencari muka. “Aku menyetujui semua keputusanmu, segera tanda tangani surat wasiat itu.” Aleya menunjuk map yang menjadi haknya. Hartono terdiam, tidak menyangka bahwa ucapannya tadi membuat sang putri menjadi sangat marah. “Tolong sesegera mungkin, Ayah!” Aleya menekan kata akhirnya. Mau tak mau Hartono segera memberikan tanda tangannya diatas surat wasiat tersebut. Aleya akan mendapatkan tiga puluh persen uang dari mendiang Munangsih. Setelahnya Aleya pun membubuhkan tanda tangan sebagai persetujuan antar dua belah pihak, Hartono menatap lembaran surat itu dengan getir. Aleya segera menyambar map dan memasukkan surat tersebut kedalamnya, setelahnya ia menatap mereka satu per satu. “Tante Sinta, Zizi. Kalian telah berhasil mendapatkan harta Ayahku, jaga dia dengan baik.” “Ayah, jika nantinya mereka menyia-nyiakan dirimu, aku akan selalu menerimamu.” Aleya beralih menatap sang Ayah. Setelahnya ia sungguh-sungguh pergi dari rumah itu, entah kemanapun Aleya pergi. Ia hanya ingin sebuah ketenangan hatinya. Hartono menatap kepergian Aleya dengan rasa sakit, ia menyesal telah mengucapkan kalimat keramat tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN