Ketika Hati Memilih

3849 Kata
Siang ini, setelah solat zuhur, Farel sudah berdiri di depan pagar sekolahnya dengan bersandar di tembok. Ia berdiri di sana sejak jam istirahat telah usai. Tangan kanannya sibuk memegang ponselnya, sementara tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku jaket hitamnya. Ia juga memakai topi hitam, serta maskernya, hingga mata kecilnya hampir tidak terlihat. Tak lama ia melihat mobil berwarna putih mendekat ke arahnya. Farel menyipitkan matanya, memastikan sosok di balik pengemudi itu. Benar, bahwa itu adalah sosok yang telah ditunggunya. Farel melirik jam tangan hitamnya, ia sudah berdiri di sana selama hampir 20 menit. Farel masih setia di posisinya, tak bergerak ke arah mobil walau se-inci pun. Hingga akhirnya sosok tersebut keluar dari dalam mobil, dan berjalan menghampirinya. "Farel?" Farel menurunkan maskernya, dan mengangkat kepalanya. "Anda sudah telat selama 20 menit dari waktu yang telah kita janjikan." Laki-laki di hadapannya, Althaf, melirik jam tangan silvernya. "Ah, maaf. Saya ada meeting dengan klien di daerah Menteng tadi." jelas Althaf dengan mencoba tersenyum. Farel memang meminta Althaf untuk datang ke sekolahnya setelah waktu zuhur. Namun ia belum memberitahukan pada Althaf kemana arah tujuan mereka nanti. Farel mengangkat sebelah alisnya, dan menatap lurus mata Althaf. "Baiklah, kali ini saya maafkan." Farel melangkah, mendekat menuju mobil milik Althaf lebih dulu. Meninggalkan Althaf yang diam berdiri, dengan segala kebingungannya. Althaf menggaruk bawah bibirnya dengan mata menatap Farel. Bukankah itu tidak sopan? Althaf tersenyum tipis, dan ikut masuk ke mobilnya. Sebelum Althaf menekan pedal gasnya, matanya melirik ke samping menatap ransel hitam milik Farel yang berada di depannya. Ia juga baru menyadari, bahwa Farel sudah mengganti pakaiannya. Anak itu memakai jeans hitam, kaos putih, dibalut dengan jaket hitam. "Emang kita mau kemana? Bukannya ini masih jadwal kamu belajar?" Farel semalam memang memintanya untuk bertemu "Udah izin ke BK." Jawab Farel dengan santai dan wajah tanpa ekspresi. Kepalanya juga tidak menoleh ke Althaf, dan hanya sibuk dengan ponselnya. "Bilangnya?" "Ada urusan." "Urusan apa?" "Urusan penting." "Gitu doang izinnya?" "Iya." "Terus di izinin?" "Iya." Mulut Althaf sedikit terbuka, jelas ia cukup syok mendengar penjelasan super santai calon adik iparnya itu. Kedua orang tua Alya sudah memberitahukannya, bahwa Farel adalah murid teladan di sekolahnya. Baiklah, mungkin ini yang dinamakan orang pinter mah bebas. Juara umum, penyumbang piala sekolah, kesayangan para guru, Althaf akan mencoba memahaminya kali ini. Mungkin pihak sekolah juga beranggapan yang sama dengannya. "Bisa kita jalan sekarang?" Teguran halus Farel membuyarkan lamunan Althaf. Althaf menoleh dan memberikan senyum tipis saat melihat ekspresi tumpul dari wajah Farel. Althaf jadi semakin merasa tertantang untuk menaklukkan hati beku calon adik iparnya itu. Coba saja kalau bisa. Alya saja bahkan tidak bisa berbuat banyak dengan kedataran wajah adiknya. "Ngomong-ngomong, kita mau kemana?" Althaf menjalankan mobilnya dengan pelan, dan menuju ke jalan raya. "Jakarta Timur." Althaf menoleh sekilas, sebelum kembali fokus kepada jalan di depannya. "Untuk apa ke sana?" "Kampus mbak Alya." Baiklah, karena kakaknya sedang tidak ada, jadi Farel akan menggunakan kata 'mbak' dengan senang hati. Mata Althaf terbuka lebar, dan menoleh. "Anda harus memastikan sendiri calon istri anda orang yang seperti apa. Pernikahan itu sekali seumur hidup, jadi di antara kalian berdua tidak boleh ada yang menyesal nantinya." Farel langsung menjawab sebelum calon kakak iparnya sempat bertanya padanya. "Harusnya saya ajak anda, sebelum anda lamar mbak Alya. Tapi karena saya sibuk, jadinya baru sempat hari ini." lanjut Farel. Althaf tersenyum tipis, Farel bicara padanya lebih dari 2 kalimat. Sepertinya ia mulai bisa memahami orang seperti apa, Farel itu. Althaf melajukan mobilnya lebih cepat. ***** "Al, boleh titip kirimin surat dan proposal ke Pocari Sweat .. bisa?" Alya mengangkat kepalanya, dan tersenyum kepada Lia. "Bisa, softcopy atau hardcopy nya yang mau dikirim?" Ia menghentikan sejenak aktifitas mengetiknya. Alya saat ini sedang berada di ruang sekretariat organisasi untuk melakukan aktifitas rutinnya belakangan ini, yaitu rapat kepanitiaan. "Softcopy nya aja." "Oke, kamu kirimin ke aku alamat emailnya. Setelah ngedit ini nanti, aku kirimin ke kamu." Lia mengangkat jempolnya. "Oke, makasih ya." Alya balas memberikan jempol pada Lia. "Assalamu'alaikum." Seorang laki-laki yang menggunakan pakaian hitam-hitam, masuk ke dalam ruangan, itu Adnan. "Wa'alaikumsalam." Balas semua orang yang ada di ruangan tersebut. Adnan tersenyum tipis dan mengambil duduk di depan Alya. Ia membuka kembali buku catatan kecilnya, hasil rapatnya dengan ketua BEM. "Al, habis ini kita ketemu sama Kemahasiswaan ya. BPH aja." Adnan bicara dengan Alya. Alya mengangguk kecil dengan mata tidak lepas dari layar laptopnya. Adnan membasahi bibirnya yang kering, ia menyandarkan tubuhnya di kursi dan memperhatikan Alya yang sedang fokus dengan dunianya. "Kalian semua sudah makan siang?" Adnan mengedarkan pandangannya ke seluruh anggotanya. Kebetulan ia juga belum makan siang. "Beluuumm!" Adnan terkekeh renyah. "Kita makan dulu aja, yuk. Kebetulan saya juga belum makan nih." "Lo yang traktir ya, Nan?" sahut Yogi. Yogi adalah teman seangkatan Adnan yang saat ini menjabat sebagai wakilnya dalam kepanitiaan akhir tahun. "Yuhuu, di traktir kak Adnan." seru Lia menimpali. Kedua tangannya terkepal di udara, ikut senang dengan usulan dari Yogi. Adnan mendelik ke arah Yogi sambil menggelengkan kepalanya. Sementara Yogi hanya bisa nyengir tak berdosa. "Nanti aja ya traktirnya kalau acara kita sudah selesai." ucap Adnan. "Yaah.. " Adnan menggaruk tengkuknya, sambil tersenyum canggung saat semuanya dengan kompak menyatakan kekecewaannya. Walaupun ia tahu itu hanyalah candaan belaka. Satu persatu keluar dari ruang sekretariat, dan pergi ke kantin untuk makan siang. Sementara itu Alya masih fokus dengan laptopnya, saat tadi semuanya heboh pun Alya hanya diam. Adnan melirik ke sekitarnya, hanya tinggal dirinya dengan Alya. "Al, emang kamu sudah makan?" Alya masih diam. "Al." Alya menaikkan bola matanya, dan menatap Adnan sedetik yang masih duduk di hadapannya. Ia bahkan tak menyadari jika di dalam kelas itu hanya ada dirinya dan Adnan. "Ya kak?" "Yang lainnya udah pada ke kantin." Mata Alya langsung berkeliling, ke kanan, kiri, depan, belakang. "Yah, udah pada pergi. Kak Adnan duluan aja deh." "Kenapa aku harus duluan?" "Di sini cuma ada kita berdua kak, nggak baik." ucap Alya, dirinya kembali fokus dengan laptopnya. "Ya udah kalau gitu ayo ke kantin bareng." "Masih banyak surat yang harus aku kirim kak." "Ya udah, kalau gitu aku akan nemenin kamu di sini." ancam Adnan. Mau tidak mau, Alya pasti akan menurutinya. Alya menghela nafas gusar, dan mengerucutkan bibirnya. "Ya udah, ayo." Adnan tersenyum lebar penuh kemenangan. "Gitu dong." Alya mengunci pintu ruang sekretariat dan mengikuti Adnan yang berjalan di depannya. Ia ke kantin hanya membawa dompetnya yang berwarna cokelat, sedangkan barang yang lainnya ia tinggal di dalam ruangan. ***** Farel memperhatikan laki-laki yang tengah berdiri di sampingnya. Althaf fokus mengedarkan pandangannya dengan tangan bersidekap di d**a. Ia telah mengganti kemejanya dengan sweater abu, dan topi berwarna senada miliknya. Ia mengikuti instruksi Farel yang menyuruhnya membawa baju ganti. Farel sampai mengerutkan keningnya, memandangi Althaf. Saat mengenakan pakaian santai seperti itu, Farel bahkan hampir lupa kalau laki-laki di sampingnya itu adalah seorang manajer sukses yang umurnya terpaut 6 tahun dengan kakaknya. Menurutnya, Althaf masih cocok jika harus menjadi mahasiswa semester akhir? "Dosa nggak sih kita begini?" Tanya Althaf dengan kening berkerut. Kenapa juga ia malah mengikuti ajakan Farel. "Kalau gitu dosa saya 2x lipat." Tanya Farel dengan wajah datarnya. Althaf semakin mengerutkan keningnya dalam. "Loh, kenapa?" "Saya juga pernah melakukan hal ini sama Anda." "Apa?" Farel tersenyum samar, dan mengangguk. Ia memang pernah diam-diam ke kantor Althaf. Awalnya ia mengajak Alya, tapi karena kakaknya sibuk, makanya ia pergi sendiri. Justru karena hal itu lah, Farel menjadi yakin dengan Althaf sebagai calon suami kakaknya. Maka itu, Farel ingin hal yang sama terjadi pada Althaf yang yakin memilih Alya sebagai calon istrinya. Althaf menggelengkan kepalanya, sambil memijit pelipisnya. "Kamu yakin Alya akan lewat sini?" Althaf mengalihkan pembicaraannya. Farel langsung memalingkan wajahnya ke depan. Althaf tersenyum tipis, menyadari Farel yang memperhatikannya sejak tadi. "Sepertinya." Althaf mendengus pelan. Lagi lagi, Althaf teringat pesan Kartika, Bunda Alya, yang mengatakan bahwa jika berhadapan dengan anak bungsunya itu harus banyak bersabar. "Oh ya, kamu kenapa selalu pakai masker?" Tanya Althaf dengan menunjuk masker yang menempel menutupi hidung dan mulut Farel. Farel melirik wajah Althaf sekilas. "Asma, alergi debu." "Parah?" "Lumayan." Althaf tersenyum tipis. "Kamu pasti bisa jaga diri kamu." Althaf menepuk puncak kepala Farel, membuat Farel jadi menurunkan kepalanya sedikit. "Kita makan dulu yuk, kamu pasti belum makan siang." Ah, benar juga. Farel memang belum sempat makan saat waktu istirahat. Sejak yang lalu juga mereka hanya berdiri dan duduk di bawah pohon besar yang berada di antara parkiran dan gedung jurusan Hubungan Internasional. "Hm." Farel berdeham, tanda setuju. Mereka berdua berjalan bersama, Althaf yang di depan, sementara Farel di belakangnya. Lagi lagi, Farel memperhatikan sosok lelaki di hadapannya. Farel jadi sedikit membayangkan, rasanya punya seorang kakak laki-laki. Pasti akan menyenangkan. Althaf dan Farel duduk di kantin barisan paling belakang. Althaf sedang memesan 2 porsi makan siang serta 2 minuman untuknya dan Farel. Beberapa detik Farel duduk di kantin, datang mahasiswa masuk secara bergerombol ke dalam kantin dan duduk di meja panjang belakang Farel. Sementara meja yang Farel dan Althaf duduki, hanya berisi mereka berdua. "Pesenin dong." "Gue pengen gado-gado" "Pecel ayam." "Gue mau soto ayam + nasi." "Es teh 3." Begitulah suara yang sangat jelas terdengar di telinga Farel. Suara mahasiswa yang kelaparan bahkan bisa mengalahkan suara toa masjid. Berisik! batin Farel. Farel memperhatikan seisi kantin yang rata-rata perempuan, serempak melirik secara cuma-cuma ke arah Althaf. Farel berdecih, dan memutar bola matanya sebal kepada perempuan yang ada di sana. Althaf menghampirinya dengan membawa nampan pesanannya. "Mari makan." Althaf tersenyum tipis, ia mengubah posisi topinya ke belakang, sehingga menampakkan jelas alis tebal dan hidung mancungnya. Farel menghela napas panjangnya dengan teratur. Mahasiswi di sana malah semakin menatap penuh ke arah Althaf. "Pakai nih." Farel mengeluarkan masker hijau yang masih terbungkus plastik. "Buat apa? Saya kan mau makan." Farel berdecak. "Kalau gitu balikin posisi topinya seperti semula." "Saya lebih nyaman seperti ini." "Baiklah, terserah." Kenapa juga ia harus mengkhawatirkan kakaknya karena hal ini. Farel akan coba mempercayai, Althaf bisa menjaga kakaknya dengan baik. "Itu, bukannya Alya?" Farel langsung mengangkat kepalanya, menoleh, mengarah ke pintu kantin. Farel sontak terbatuk begitu mengetahui, kakaknya berjalan masuk kantin dengan seorang laki-laki. Alya dan Adnan duduk bergabung dengan teman-teman lainnya. Farel menarik sweater Althaf hingga laki-laki itu ikut menundukkan kepalanya. "Awas ketahuan!" bisik Farel dengan penuh penekanan. Althaf tersenyum tipis, karena wajah Farel berada dekat dengannya. Ia menanggapinya dengan santai dan memakai topinya dengan benar kembali. "Kamu yang malah akan buat kita ketahuan." Farel menoleh dan membulatkan matanya ke arah Althaf. Althaf membalasnya dengan alis terangkat sambil tersenyum simpul. "Just rileks." Farel jadi curiga, jangan-jangan dulu, Althaf pernah ikutan semacam agen spy? Althaf dan Farel kembali duduk dengan benar, keduanya menurunkan ujung topinya hingga menutupi sebagian wajahnya jika dilihat oleh orang lain. Mereka berdua melanjutkan makannya dalam diam. Memperhatikan dan mendengarkan perbincangan Alya dengan teman-temannya. Althaf menggelengkan kepalanya sendiri. Tak ia sangka, akan melakukan hal seperti ini kepada calon istrinya. Terlebih yang mengajaknya melakukan hal itu adalah adik calon istrinya sendiri. Althaf menaikkan sedikit ujung topinya yang hampir membuatnya tidak bisa melihat. "Al, kamu mau makan apa?" "Nggak deh, kak. Makasih." Samar-samar mendengar suara Alya, Althaf mengangkat kepalanya. Alya duduk berhadapan dengan seorang laki-laki, dan beberapa teman-teman lainnya. "Kamu kan belum makan, Al." "Nggak usah,kak." tolak Alya secara halus. Ia memang sedang tidak lapar, bahkan hanya untuk sekedar mengisi perutnya. "Aku beliin nasi goreng mau?" Farel menoleh ke sampingnya. Ia melihat Althaf menaikkan sebelah alisnya, ke arah depan. Farel mengikuti arah pandang Althaf, dan membuatnya menghela napas panjang. Bahaya kalau sampai Althaf curiga, dan berpikir macam-macam. "Nggak kak. Beneran, aku nggak laper." Adnan menghela napasnya. "Baiklah." Ia berdiri dan memesan makanan untuk dirinya sendiri. Farel mengetik sesuatu di ponselnya. Ia mengirimkan pesan untuk kakaknya. To : Al Move on your seat, now! Farel berdecak pelan, karena Alya tidak kunjung membuka ponselnya, apalagi untuk membaca pesannya. Sedangkan Alya, perempuan itu kini menatap teman-temannya yang sedang makan. Ia mengetuk jarinya di atas meja sambil bertopang dagu. "Pesen es jeruk deh." Alya berdiri dan mendekat ke arah meja panjang milik Althaf dan Farel. Kebetulan yang menjual aneka jus berada di dekat meja kedua laki-laki itu. Sambil menunggu, Alya duduk di ujung bangku panjang di samping Althaf begitu saja. Ia masih belum menyadari kehadiran mereka berdua. Sementara Althaf dan Farel mulai gelagapan, takut ketahuan. Alya menyalakan murotal di ponselnya, dan menempelkan pipinya ke atas meja. Ia memejamkan matanya. Sementara Althaf dan Farel hanya bisa melirik bagian belakang kepala Alya, karena posisi perempuan itu membelakangi mereka. "Al, kok kamu malah duduk di sini?" Alya membuka matanya dan duduk dengan tegap. "Nunggu jus kak. Kak Adnan makan aja duluan sama yang lain." "Aku temenin, ya?" Alya menggeleng. "Nggak usah, kak. Aku bisa sendiri." "Kalau gitu, kamu kan bisa nunggu di meja kita." Althaf menautkan alisnya kuat saat menatap Adnan. Matanya terbuka sempurna menatap laki-laki yang berada di depan Alya. Ia tidak suka. "Maaf kak, tapi mejanya terlalu kecil buat aku. Kalau harus duduk berhadapan, aku risih." Adnan mengalah, "Baiklah kalau gitu." ia berjalan kembali menuju meja makan bersama rekan yang lain. Althaf menurunkan kembali ujung topinya dan menatap Farel. Ia tersenyum lebar hingga menampilkan deretan giginya. Ia mengangkat jempolnya, dengan rasa bahagia. Puas sekali dengan jawaban Alya yang seperti itu. Hatinya semakin bulat memilih Alya sebagai pendamping hidupnya. InsyaAllah. Farel menghela napas lega. Setelah ini mungkin ia akan buat perhitungan dengan Alya karena sudah membuatnya jadi was-was. Bersyukur, kakaknya melakukan tugasnya sebagai seorang muslimah dengan sangat baik. ***** Adzan maghrib telah berkumandang. Langit cerah telah tergantikan dengan langit malam. Matahari telah sempurna menutup dirinya. Selesai solat berjamaah dengan Ibundanya. Alya membantu menyiapkan makan malam di atas meja. Ayah dan adiknya belum pulang, karena masih berada di masjid. Nasi, lauk, sayur, buah, hingga 3 jenis minuman sudah tersedia di atas meja. Hingga Rama dan Farel akhirnya datang, keluarga kecil itu mulai makan malam. "Al, akhir pekan ini kamu ke rumahnya nak Althaf ya." pinta Rama, setelah menelan makanannya. Alya sontak terbatuk dan menatap khawatir Ayahnya. Alya menggeleng dengan bibir mengerucut. "Malu, Yah." Farel memilih menggelengkan kepalanya, dari pada harus ikut campur persoalan kakaknya. Rama mengerutkan keningnya. "Kok malu? Dia kan calon suami kamu." "Orang tuanya Althaf kan juga mau lebih kenal sama kamu sayang, biar kita juga bisa cepat atur tanggal untuk pernikahan kalian." tutur Kartika, mencoba memberi pengertian untuk anaknya. "Tapi Bun-" Ucapan Alya terpotong, karena Rama yang menyela kalimatnya dari. "Kamu kan nggak ke sana sendiri, tapi sama Farel." Farel langsung mengangkat kepalanya, dan menatap Ayahnya. "Kenapa aku?" tanya Farel dengan menutupi ekspresi kagetnya. "Nggak mungkin kakak kamu sendirian ke sana, Farel. Dia perempuan, bahaya." jelas Kartika. Farel melirik Alya dari ekor matanya dan menghembuskan napas panjangnya. "Ngerepotin." ucapnya dengan suara sangat pelan. "Bandung itu jauh Bun, kenapa nggak sama Bunda sama Ayah aja?" tanya Alya, masih berusaha agar bukan hanya ia dan Farel yang berangkat ke rumah Althaf. "Bunda harus nemenin Ayah, untuk acara gathering dengan klien di akhir pekan. Ya kan, Yah?" jawab Kartika, yang membuat bibir Alya semakin mengerucut maju. Rama mengangguk kecil. "Nak Althaf akan jemput kamu ke sini, jadi nggak perlu khawatir." Alya menghela napas panjang. Entah bagaimana jadinya kalau ia sungguh akan pergi ke rumah calon mertuanya. Itu pasti akan sangat membuatnya malu. ***** Alya masih berdiri di depan cermin. Althaf akan menjemputnya jam 6 pagi, tapi bahkan ia masih belum yakin dengan pakaiannya. Alya memilih memakai rok dengan aksen floral d******i warna cokelat dan atasan berwarna mocca. Alya memilih menggunakan ransel yang juga berwarna cokelat. Alya menoleh begitu melihat Farel muncul di balik pintu kamarnya. "Sudah?" Farel membuka lebar pintu kamar kakaknya, dan masuk. Farel menggunakan kaos v neck berwarna putih, dibalut dengan jaket jeans miliknya. Tak lupa sebuah topi berwarna navy, dan masker yang sudah ia kaitkan di telinganya, namun belum menutupi mulut serta hidungnya. Alya menggeleng dengan polosnya. Farel duduk di tepi tempat tidur Alya, dan memandang kakaknya dari atas sampai bawah. "Jelek ya?" tanya Alya. "Nggak." "Serius?" "Hm." jawab Farel sekali lagi. Alya kembali melihat pantulan dirinya di dalam cermin. "Masa sih? Nggak cocok ya bajunya?" Farel memutar bola matanya. Dasar perempuan. Tadi nanya, giliran dijawab, mereka malah mengharapkan jawaban lain. Jawaban bagus dibilang nggak jujur, jawaban jelek dibilang jahat, nggak jawab apalagi. Drrt Drrt! Farel membuka ponselnya yang bergetar. Althaf mengirimkannya pesan. "Mas mu sudah sampai." "Sudah ku bilang, dia bukan mas ku, Rel." jawab Alya dengan tidak mengalihkan wajahnya dari cermin. "Sebentar lagi-" "Rel." Alya memutar tubuhnya, saat tahu Farel pasti akan mengatakan hal yang sama seperti waktu itu. "Jangan bilang begitu." Farel mengangkat sebelah alisnya dan menaikkan bahunya dengan santai. "Oh ya, sejak kapan kamu chatting sama mas Althaf?" Farel menaikkan bahunya, tak acuh. "Jangan-jangan kalian sudah mulai deket ya?" "Cepetan!" ucap Farel, mengalihkan pembicaraan. Alya mendengus, dan kembali menghadap cermin. Ia menepuk bajunya 2x, dan tersenyum tipis. "Yuk, turun." Althaf dan Farel keluar dari rumah setelah pamit pada Rama dan Kartika. Mereka menghampiri sosok yang bersandar di depan mobilnya. Pagar terlihat sudah dibuka lebar oleh Pak Paijo setibanya Althaf di rumah mereka. Alya berjalan dengan sembunyi di balik punggung Althaf. Farel menunduk sekilas sebagai ucapan selamat paginya pada Althaf. Baru Alya ingin menahan jaket Farel, tapi telat, Farel sudah terlebih dahulu bergerak ke samping. Sehingga Alhaf dapat melihat Alya yang tadi tertutupi tubuh Farel. Alya mengangkat kepalanya, dan langsung menundukkan kepalanya di detik yang sama karena melihat Althaf yang tersenyum padanya. "Kita berangkat sekarang?" Farel mengangguk kecil, sementara Alya hanya diam saja. Farel masuk terlebih dahulu di kursi depan, di samping Althaf. Sementara Alya masih diam di tempatnya, bingung harus ikut masuk atau bagaimana, karena ia melihat kaki Althaf yang juga masih diam di tempatnya. Althaf melangkah ke sisi mobilnya, dan membukakan pintu untuk Alya. "Ayo masuk." Suara lembut Althaf membuat Alya kembali mengangkat kepalanya. Althaf memakai sweater berwarna army dengan 2 line hitam sepanjang bahu hingga ujung lingkar tangannya yang ia gulung hingga siku. Serta jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangannya. Dalam 3 detik, mereka saling menatap. Alya menatap Althaf tepat di matanya, begitu juga dengan Althaf yang menatap Alya tepat di matannya. Bibir mereka memang tidak ada yang tersenyum, namun sama-sama memancarkan eye smile di matanya. Saling berterima kasih, dan saling memuji dari dalam hati. "Ekhmm." Suara dehaman Farel langsung membuat Alya dan Althaf sama-sama menunduk. Malu. Astghfirullah, Ya Allah. batin Althaf dan Alya bersamaan, karena tidak sadar telah melakukan zina mata. Dengan canggung, Alya langsung masuk ke dalam mobil, sementara Althaf menutup pintunya dengan keadaan yang sama canggungnya. Ia kemudian berlari kecil masuk ke dalam mobil dengan cepat, dan segera melajukan mobilnya, menuju Bandung, rumah orang tua Althaf. ***** Sekitar selama hampir 4 jam di perjalanan, Althaf berhasil membawa Alya dan Farel ke Bandung dengan selamat. Selama perjalanan mereka tidak banyak mengobrol, Farel kan memang pendiam, sementara Alya tidak tahu mau membicarakan apa. Saat di perjalanan mereka sempat berhenti di rest area untuk sarapan pagi. Farel dan Alya kompak menurunkan full kaca jendelanya. Udara segar langsung masuk tanpa cela ke dalam hidung mereka. Tangan mereka berdua keluar, terayun merasakan angin. Udara yang sangat jarang Alya dan Farel temukan. Alya tersenyum dengan lebar, menikmati udara yang menyenangkan. Sementara Farel tersenyum tipis, membayangkan kalau tinggal di Bandung, mungkin ia tidak harus ketergantungan dengan maskernya. "Kita sudah sampai." Althaf berhenti di sebuah rumah yang tidak bertingkat. Ia membuka seatbeltnya dan keluar terlebih dahulu. Farel dan Alya ikut keluar. Rumah dengan gaya vintage yang sederhana namun tampak eksotis, langsung mengalihkan pandangan Alya dan Farel. Rumah keluarga Althaf tidak bertingkat dan tidak memiliki pagar. Halamannya sangat luas dengan banyak rumput dan tanaman yang mengelilingi rumah tersebut. Sangat menarik dibandingkan rumah mereka yang berada di Jakarta. "Ayo masuk, Ibu sama Bapak pasti sudah nunggu di dalam." Althaf tersenyum, ia ikut senang dengan aura bahagia yang terlihat dari wajah Alya dan Farel. Alya dan Farel mengangguk kecil, dan mengikuti Althaf masuk ke dalam rumah laki-laki itu. "Assalamu'alaikum, Bu, Pak .. " "Wa'alaikumsalam." Alya spontan ikut tersenyum lebar saat melihat Ibunda Althaf menghampiri mereka dengan tersenyum lebar dan setengah berlari. "Hai sayang, kamu apa kabar?" Althaf mengerutkan keningnya, dan memandangi Ibunya yang langsung memeluk tubuh Alya, begitu mereka masuk ke rumah. Alya membalas pelukan Herlina, dan tersenyum lebar. "Alhamdulillah baik, Tante apa kabar?" Herlina melepas pelukannya, dan menyentuh pundak Alya. "Baik Alhamdulillah, Bapak juga baik." "Farel sehat?" giliran Farel yang maju, dan salim kepada Herlina. "Sehat, Alhamdulillah." ucapnya singkat dengan tersenyum tipis. "Ibu nggak tanya kabar ku?" protes Althaf, membuat Alya dan Farel tersenyum geli. Herlina menoleh dan langsung memeluk anaknya sekilas. "Ibu percaya kamu sehat." ucapnya dengan tersenyum menenangkan. "Mari masuk." lanjutnya. Herlina menuntun Alya dan Farel untuk lebih masuk ke dalam rumahnya. Aksen jawa sangat terasa saat memasuki rumah tersbeut. Dengan bahan kayu jati yang kuat, serta furniture yang dipilih sesuai dengan gaya rumah tersebut. ***** Setelah berkunjung ke rumah kedua orang tua Althaf, Alya mendapat banyak pengetahuan tentang kepribadian Althaf. Herlina menceritakan banyak hal kepadanya, dari mulai Althaf kecil, hingga semua kesukaan dan hobi anaknya. Alya sangat menikmatinya. Gunawan pun sangat welcome dan banyak bicara padanya. Semuanya sangat baik terhadapnya, hingga rasanya Alya masih ingin tinggal lebih lama di sana. Namun menginap, bukanlah hal yang tepat. Alya belum sah menjadi istri Althaf, walaupun di rumah tersebut ada banyak orang, tetap saja kurang baik. Althaf saat ini kembali berhenti di rest area. Matanya sedikit lelah karena menyetir seharian. Di tambah selama perjalanan, mereka bertiga tidak banyak mengobrol, sehingga membuatnya jadi mengantuk. Mereka bertiga saat ini sedang berada di cafe. Althaf memesan kopi, sementara Alya cokelat panas, serta Farel memesan teh panas tanpa gula. Alya duduk di samping Farel, sementara di hadapan Farel ada Althaf. "Aku ke kamar mandi dulu." "Hei, nan-" Alya mengurungkan niatnya untuk mencegah Farel yang izin ke kamar mandi, saat melihat Althaf sedang menatapnya. Alya langsung meminum cokelat panasnya, dan menatap ke arah jendela. Seketika keadaan jadi canggung, serasa di tempat itu hanya ada dirinya dan Althaf. "Alya." Alya sedikit tersentak, saat mendengar Althaf memanggil namanya. Alya menoleh dan mengangkat sebelah alisnya. "Ya?" "Apa kamu sudah memikirkan tanggal pernikahan kita?" Alya membulatkan matanya, kaget dengan pertanyaan Althaf yang tiba-tiba mengarah ke sana. "Kalau tanggal 11 bulan 11, gimana menurut kamu?" Althaf menyampaikan sarannya, karena Alya tidak menjawab pertanyaannya. "Bulan depan?" Althaf mengangguk, sambil tersenyum tipis. "Gimana?" Alya berdeham, dan memegang pegangan cangkirnya. Ia membasahi bibirnya yang kering seketika. Alya selalu mudah gugup jika bersama dengan Althaf. Dengan ragu Alya mengangguk. Alya kembali mengedarkan pandangannya, menunggu Farel yang tidak kunjung kembali dari kamar mandi. "Kalau tempatnya, kamu ada usul mau dimana?" Althaf menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, dengan posisinya itu, ia jadi bisa lebih leluasa menatap Alya. "Terserah mas Althaf aja. Di rumah ataupun masjid, aku nggak masalah kok." jawab Alya. "Saya punya klien yang mengelola perhotelan dan Wedding Organizer. Gimana kalau kita tanya dulu ke mereka?" Alya mengangguk kecil, setuju. "Boleh." "Untuk undangan dan bajunya gimana?" Refleks Alya mengangkat tangan kanannya. "Aku bisa design undangan mas, pake jasa ku aja gimana? Jadi nanti cetak dan ngemasin undangannya sendiri aja. Kan lebih murah." Althaf terkekeh renyah. "Apa kamu sanggup kalau harus ngerjain undangan sendiri?" "Kan ada mas Althaf. Kita kerjain berdua dong." jawab Alya dengan santai. Athaf kembai terkekeh, lalu berdeham. "Kita siapin semuanya bareng-bareng, ya.. " Alya ikut tersenyun dan mengangguk. "Dunia serasa milik berdua ya?" Farel yang bersandar di dinding, jadi enggan melangkahkan kakinya karena melihat Althaf dan Alya yang sedang menikmati perbincangan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN