Alya melihat pantulan dirinya dari dalam cermin. Ia memakai pakaian berwarna putih, dibalut dengan jaket denim. Hari ini adalah hari dimana Alya dan Althaf akan fitting baju pengantin, serta melihat gedung pernikahan yang akan mereka sewa nantinya. Alya sedang menunggu Althaf datang menjemputnya. Raya juga akan menemaninya hari ini. Alya sudah menceritakan semuanya kepada Raya terkait proses ta'arufnya dengan Althaf hingga pernikahan yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Awalnya, Raya juga kaget dan hampir tak percaya. Bagaimana tidak, ia tahu rencana masa depan Alya karena Alya selalu menceritakan semuanya pada Raya.
Ku biarkan hujan, mengawal rinduku
Padamu yang indah di sana.
Alya menatap layar ponselnya yang berdering.
Mas Althaf's Calling
"Assalamu'alaikum." Alya mengangkat panggilan Althaf didahulukan dengan salam.
"Wa'alaikumsalam Alya. Saya sebentar lagi sampai, apa kamu sudah siap?"
"Sudah, mas."
"Maaf ya jadi membuat kamu menunggu lama."
Alya tersenyum tipis. "Nggak papa mas, mas Althaf hati-hati bawa mobilnya." Rasanya malu, tapi entah mengapa yang ia katakan barusan itu malah membuatnya tidak bisa menahan senyum terpancar di wajahnya.
Selesai menutup telfonnya, Alya memilih untuk turun ke bawah. Ada Farel yang sedang duduk sambil menikmati film animasi akhir pekan. Alya duduk tepat di samping Farel dan memeluk bantal sofa di depan dadanya. "Nonton apa?" tanyanya mencoba basa-basi.
Farel menoleh dan menatap Alya. "Nggak bisa baca judul di pojok atas itu?"
Alya mendengus. Apa juga yang masih ia harapkan pada adiknya yang berwajah datar itu. Alya jadi mengingat film anime Jepang, karakter yang memiliki nama 'no face'. Rasanya nama itu cocok untuk Farel. Alya memilih menyandarkan lebih dalam tubuh dan kepalanya pada sofa, enggan melanjutkan perdebatannya dengan Farel yang mungkin jika ia ingin maka akan terjadi.
"Mas mu belum datang?"
Alya menoleh, dan berdecak. "Dia belum jadi mas ku, Rel."
Farel menarik sudut bibir kanannya sedikit. "Ayah sama Bunda ikut?"
Alya mengangguk. "Mereka udah jalan duluan, janjian sama orang tuanya mas Althaf. Katanya ada yang mau mereka bicarakan."
Farel mengangguk kecil. Setelah perbincangan singkat itu, Alya dan Farel sama-sama terdiam. Tidak ada kata yang keluar dari keduanya. Hingga tak lama bunyi klakson mobil menghentakkan lamunan mereka masing-masing.
"Assalamu'alaikum." suara Althaf terdengar lantang hingga ke ruang keluarga.
"Tuh, mas mu datang."
Alya menoleh dan menarik tangan Farel agar berdiri. "Ayo temenin."
Farel mendesah dan menghela napas panjang. Dengan malas ia akhirnya ikut berdiri.
Althaf langsung menampilkan senyum cerah di wajahnya tatkala melihat Alya dan Farel di hadapannya. Alya balas tersenyum dengan kepala menunduk, sedangkan Farel hanya menurunkan kepalanya sekilas sebagai sapaan darinya dan juga menghormati yang lebih tua.
"Farel mau ikut?"
"Nggak." Farel langsung menjawab pertanyaan Althaf tanpa berpikir lebih panjang.
Althaf terkekeh kecil menanggapi ucapan Farel yang to the point. "Baiklah. Yuk Alya kita berangkat."
Alya mengangguk kecil.
"Kalau gitu kita pamit ya, Assalamu'alaikum." Althaf menyentuh puncak kepala Farel dan mengacak rambutnya. Althaf memutar tubuhnya dan melangkah lebih dulu keluar rumah.
Alya tersenyum geli melihat Farel yang tampak mematung di depannya. "Anak pintar." Alya ikut mengacak puncak kepala Farel, sehingga membuat Farel mendengus sebal.
"Pergi sana cepet." Alya langsung cekikikan melihat Farel yang tampak kesal. Setelah melambai, Alya setengah berlari menyusul Althaf.
Farel menarik ujung bibir kanannya, memandang dua makhluk di depannya. Sebentar lagi rumahnya akan semakin sepi jika Alya menikah nantinya. Tidak ada lagi orang yang akan menganggu ketenangannya. Farel memang suka kondisi yang tenang, tapi ia juga sudah terlalu biasa dengan sikap ceria, dan menyebalkan kakaknya.
"Hai Alya.. "
Seorang laki-laki melambai dengan semangat saat Alya telah keluar dari gerbang rumahnya bersama Althaf. Alya hanya diam tidak menjawab. Ia tidak kenal laki-laki itu.
"Dia Bima, sahabat saya." Bima tersenyum lebar dan kembali melambai saat Althaf memperkenalkan dirinya.
Alya tersenyum tipis dan mengangguk. Tadinya ia ingin memperkenalkan diri, tapi berhubung Bima sudah mengetahui namanya, Alya jadi mengurungkan niatnya.
"Althaf banyak cerita tentang kamu ke saya. Saya masih nggak nyangka, dia sebentar lagi beneran mau nikah."
Althaf sontak melotot ke arah Bima, sedangkan Alya hanya tersenyum samar sambil menundukkan kepalanya.
Tin tin!
"Alya!" suara deru motor dan juga panggilan itu, membuat Alya, Althaf dan Bima secara refleks menoleh.
"Raya!" balas Alya dengan mendekat ke arah Raya yang masih duduk di motornya. Sahabatnya datang di saat yang tepat.
Raya turun dari motornya dan memeluk Alya sekilas. Hingga kemudian matanya menatap dua orang laki-laki yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Calon mas mu yang mana, Al?" bisik Raya tepat di telinga Alya dengan wajah tersenyum geli. Sebenarnya dalam samar, Raya sudah bisa menebak bahwa laki-laki yang memakai kaos putih dibalut dengan blazer hitam itu adalah Althaf, calon suaminya Alya. Hanya saja, ia ingin menggoda sahabatnya.
"Raaa!" Alya mencubit lengan Raya gemas.
Raya terkekeh kecil, dan menatap Althaf dan Bima bergantian. "Assalamu'alaikum, saya Raya, sahabatnya Alya." Raya langsung memperkenalkan dirinya, bahkan sebelum ditanya. Ia rasa itu lebih baik, dibanding harus menunggu ditanya. Itu untuk mengefisiensikan dan mengefektifkan waktu.
"Wa'alaikumsalam." jawab semuanya serempak.
"Saya Althaf, ini sahabat saya, Bima." ucap Althaf.
"Ooh jadi masnya yang calon suami Alya?" pertanyaan Raya itu kembali membuat Alya mencubit lengannya, dan itu membuat Raya semakin ingin menggoda Alya.
"Iya betul, saya calon suaminya." jawab Althaf dengan suara tenang dan tersenyum tipis.
Dalam hati, Raya memekik kegirangan. "Ganteng Al." bisik Raya.
"Raaa!" Raya kembali terkekeh kecil karena rengekan suara Alya.
"Ayo kita berangkat sekarang." Semuanya kompak mengangguk, dengan ajakan Althaf.
"Mana kunci motor kamu?" Alya segera masuk ke dalam begitu Raya memberikan kunci motor kepadanya.
"Pak Jo, tolong bawa motor Raya masuk ke dalam garasi ya."
"Iya, siap neng." ujar Pak Paijo seraya mengambil kunci yang diberikan Alya.
Alya tersenyum lebar. "Makasih ya, Pak Jo."
*****
Alya berdiri di ruangan seluas 50m persegi yang hanya berisi gaun untuk pengantin perempuan. Sementara jas dan tuxedo untuk pengantin laki-laki, berada di ruangan sebelah. Sembari menunggu Althaf yang sedang mencoba tuxedonya, Alya menatap semua gaun pengantin yang terpampang jelas di hadapannya. Dengan berbagai warna dan model. Semuanya cantik dan sangat menawan. Bibir Alya sampai tidak berhenti merekah di wajahnya. Bingung rasanya mau memilih gaun yang mana yang akan ia gunakan.
"Kamu suka yang mana?"
Suara Althaf menghentikan aktifitas Alya. Alya melepas tautan tangannya pada salah satu gaun yang memiliki detail-detail feather, dan fringe pada bagian bawah gaunnya untuk memunculkan kesan halus, dan manis. Dan tentu saja kombinasi taburan kristal dan mutiara serta embelishment yang dikerjakan dengan tangan membuatnya semakin terlihat indah dan spesial.
Alya berbalik, melihat Althaf yang berdiri di hadapannya dengan kemeja, dilengkapi dengan vest serta tuxedo berwarna putih. Kerah tuxedonya berbentuk shawl dengan warna putih tulang yang dibuat dari bahan satin yang mengkilap. Althaf juga memakai dasi kupu-kupu berwarna hitam, serta rangkaian bunga berwarna hijau dan putih, menjadi hiasan yang ada di saku tuxedonya. Althaf telah selesai mencoba pakaiannya.
Tanpa di sadari, mata Alya tak lepas pandangan dari Althaf sejak tadi. Althaf tampak sangat maskulin dan tampan dengan pakaiannya. Alya langsung menunduk, dan meremas ujung jaketnya. Gugup kembali menyelimuti dirinya. "Belum tahu, Alya masih bingung."
"Yang kamu pegang tadi, cantik. Saya suka." ucap Althaf dengan tersenyum di wajahnya. Dengan cepat Alya memalingkan wajahnya. Senyum Althaf selalu membuatnya berhasil jadi salah tingkah seperti ini.
"Kamu coba ya, saya keluar sekarang." Baru Althaf ingin keluar dari ruang tersebut, suara Alya menghentikan langkahnya.
"Mas Althaf juga cocok pakai itu."
Althaf menoleh, dan tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi putihnya. "Terima kasih, ini karena designnya yang terlalu bagus." ucap Althaf dengan mencoba rendah hati. Padahal di dalam hatinya, ia sedang mencoba untuk bersikap normal, karena sejak tadi kerja degup jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya.
Alya dan Althaf tidak hanya berdua di dalam ruangan. Ada Raya, dan juga seorang perempuan dan laki-laki lain yang bertugas untuk membantu Alya dan Althaf mengganti pakaiannya.
"Ciieee.. " Raya menyenggol bahu Alya, setelah Althaf dan petugas laki-laki keluar dari ruangan. "Serasa dunia milik berdua ya?" tanya Raya dengan nada ledekannya.
"Ih apasih, Ra." Alya langsung memalingkan wajahnya karena malu.
Raya sontak tertawa karena tingkah Alya yang jadi salah tingkah. "Ya udah yuk, kamu ganti dulu. Yang lain udah nungguin dari tadi."
Alya menoleh dan mengangguk. Ia kembali memegang gaun yang tadi sempat jadi incarannya. "Mbak, saya mau coba yang ini."
Petugas perempuan yang diketahui bernama 'Nia' dari nametagnya itu mendekat ke arah Alya. Ia tersenyum dan mengambil gaun yang diinginkan Alya. "Mari ikut saya." ucapnya dengan tersenyum ramah pada Alya.
Raya tersenyum lebar dengan kepala mengangguk, menyuruh Alya untuk segera mencoba gaun pengantinnya lewat tatapan mata.
Setelah menunggu selama hampir 20 menit. Alya berdiri di depan cermin ruang ganti. Gaunnya sangat cantik, sehingga rasanya tidak rela jika harus melepasnya. Ukurannya juga pas untuk Alya, tidak kebesaran dan kekecilan.
Nia membuka tirai ruang ganti. Raya sudah sejak tadi menunggu di depan tirai. "MasyaAllah Al, kamu cantik banget." Raya sampai menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Tubuh Alya masih membelakanginya, tapi Raya masih bisa melihat pantulan wajah Alya dari dalam cermin.
Alya berbalik, dan menatap lurus pada mata Raya. "Bohong ya?"
Raya menggeleng kuat. "Nggak Al. Kamu serius cantik banget. Beneran." Alya memang terlihat lebih cantik dengan gaun pengantin itu, walaupun ia hanya memakai gaunnya, karena kerudung dan wajahnya masih polos seperti awal ia datang.
Alya tidak bisa menahan senyumnya. Ia memang juga sangat menyukai gaun yang ia pakai.
"Aku panggil yang lain buat ke sini ya." Raya segera berlalu ketika mendapat anggukan kecil dari Alya. Alya segera memutar tubuhnya menghadap ke depan, namun masih berada di dalam ruang ganti.
Alya diam di tempatnya. Gaun yang ia pakai membuat langkahnya menjadi terbatas. Alya langsung tersenyum dengan malu-malu begitu satu-persatu anggota keluarganya masuk ke dalam ruangan. Heri, Kartika, Gunawan, Herlina, Althaf, Bima, dan Raya semuanya fokus memandang Alya.
"MasyaAllah cantiknya Pak." ujar Herlina kepasa suaminya. Bahagia melihat calon menantunya yang tampak cantik dan anggun dengan gaun pengantin.
Bima tersenyum geli saat melihat Althaf yang sejak tadi fokus memandang Alya. Ia menyenggol Althaf pelan. "Serius masih mau nunggu 2 minggu lagi buat akad? nggak sekarang aja?" goda Bima.
Althaf balik menyenggol lengan Bima sambil menahan diri untuk tidak tersenyum. "Sshhtt. Jangan ngaco."
Rama dan Kartika pun tidak bisa menghilangkan senyum yang sejak tadi sudah merekah di wajah mereka. Melihat puteri pertamanya, yang sedang mencoba gaun pengantin itu membuat mereka terharu. Sebentar lagi mungkin mereka harus merelakan anak perempuannya bersama dengan laki-laki lain yang merupakan calon suaminya.
Kartika melangkah maju, ia mendekat kepada puterinya. Kartika menyentuh pipi Alya dengan tersenyum lebar. "Kamu cocok pakai ini, mau pakai gaun ini atau mau coba yang lain?"
"Yang ini saja Bun, Alya suka yang ini." ucap Alya ikut tersenyum.
Kartika mengangguk senang. "Kita tinggal cari warna lain, untuk ganti gaun resepsi."
Alya tersenyum simpul menanggapi ucapan Bundanya.
Saat Bundanya sudah menjauh, Alya kembali mengangkat kepalanya. Alya sedikit tersentak saat melihat Althaf ternyata sedang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum padanya. Tanpa bicara, hanya lewat senyuman manis yang Alya lihat.
*****
Althaf menatap paper bag berwarna putih yang kemarin diberikan Alya padanya. Sebanyak 600 undangan sudah mereka buat bersama. Alya yang mendesignnya, sedangkan untuk masuk ke percetakan Althaf yang mengurusnya, melalui relasinya. Sebenarnya angka 600 itu terlalu banyak untuk Alya dan Althaf, dengan estimasi Alya dan Althaf mengundang masing-masing 200 orang. Tapi karena kedua orang tua masing-masing memiliki banyak rekan bisnis, sehingga mau tidak mau mereka membuat 600 undangan.
Kebetulan hari ini jadwal Althaf meeting manajemen dengan para Direksi di awal bulan, maka dari itu Althaf akan sekalian mengabarkan pada atasannya bahwa ia akan menikah. Ralat, tidak semuanya diundang, hanya orang-orang terdekatnya saja, dan juga seluruh jajaran manajemen. Karena jumlah seluruh karyawan di perusahaannya hampir ada 500 orang lebih.
Tok Tok!
Althaf mengangkat kepalanya dan menatap pintu ruangannya yang diketuk. "Masuk."
Dea masuk dan mendekat ke arah meja Althaf. "Permisi Pak, meeting sebentar lagi akan dimulai."
Althaf mengangguk kecil. "Baik, terima kasih." Dea segera keluar dari ruangan setelah menyampaikan pesannya pada atasannya.
Setelah banyak menimbang, akhirnya Althaf keluar dari ruangannya dengan membawa paper bag berisi undangan untuk rekan kantornya. Althaf bermaksud membagikan undangan-undangan itu setelah meeting berakhir.
Althaf langsung menundukkan kepalanya setelah masuk ke dalam ruangan. Ia juga menjabat tangan jajaran Direksi dan juga Manajer yang telah menduduki kursinya masing-masing, termasuk Pak Bambang dengan sopan.
"Sehat Althaf?" Pak Bambang menepuk bahu Althaf dengan cukup kencang sambil tersenyum. Althaf adalah salah satu timnya yang paling bisa diandalkan di Departemen Impor.
Althaf tersenyum dan mengeratkan jabatan tangannya. "Alhamdulillah sehat, Pak."
Althaf langsung duduk di kursinya. Tak lama berselang, Pak Riksa datang dan meeting segera di mulai.
***
"Dea." Dea berdiri, begitu melihat Althaf yang sudah berdiri dari mejanya. Althaf baru saja selesai meeting.
"Ya Pak?" tanya Dea, tak lupa senyum menghiasi wajahnya. Secara sepintas, Dea melirik ke arah paper bag yang di bawa Althaf di tangan kanannya.
"Boleh saya minta tolong?"
"Tentu Pak. Apa yang bisa saya bantu?"
"Hmm, di dalem aja deh ya saya bicaranya."
Senyum Dea tampak semakin merekah, seperti bunga yang mekar dari kuncupnya. "Mari Pak."
Althaf mengangguk kecil, dan masuk ke dalam ruangannya, begitu pula dengan Dea.
"Saya mau minta tolong ini." Althaf menyodorkan paper bag tersebut kepada Dea.
Dea menerima pemberian Althaf dan mengangkatnya. Ia membukanya. "Apa ini Pak?"
"Undangan pernikahan."
Dea mengerutkan keningnya, dan menatap Althaf. "Siapa yang mau menikah?"
"Saya." jawab Althaf.
What? "Nikah? Pak Althaf?"
Althaf menarik semua sudut bibirnya dengan lebar, ia terkekeh. "Iya saya. Belum pantes ya?"
Paper bag putih itu langsung terjun bebas ke sisi paha Dea. Sungguh tidak bisa dipercaya. Orang yang ia cintai menikah dengan orang lain.
Dea mengangkat kepalanya, dan Althaf masih secara tidak sadar tersenyum padanya. Senyum yang bahkan sungguh jarang ia lihat. Althaf bahkan tadi tertawa padanya.
Sungguh, bangunkan Dea dari mimpi buruk ini, Tuhan. batin Dea meringis.
"Tolong dibagikan ke rekan kantor kita sesuai dengan nama dan divisinya ya. Mohon maaf karena saya harus mengerjakan laporan untuk meeting dengan klien besok." pinta Althaf, yang tidak langsung membangunkan Dea dari mimpinya barusan. Bahwa Althaf menikah bukanlah mimpi buruk, tapi sebuah kejadian nyata di hidupnya.
*****
Malam ini terasa sunyi bagi Adnan. Namun itu adalah hal yang biasa bagi Adnan. Kedua orang tuanya ke luar kota, kakak laki-lakinya sudah menikah dan tinggal bersama istrinya, sehingga di rumah Adnan selalu sendiri. Adnan rebahan di atas tempat tidur dengan tangan kanan ditekuk sebagai bantalan kepalanya. Adnan menatap secarik hasil foto yang berada di layar ponselnya. Foto para panitia acara akhir tahun.
Adnan memperbesar fotonya dan berhenti saat wajah perempuan yang sedang tersenyum terpampang di sana. Foto Alya yang sedang berdiri tepat di sampingnya. Adnan tersenyum melihatnya.
Adnan mengangkat kepalanya saat mendengar pintu kamarnya terbuka. Ia berdecak begitu mengetahui kakak laki-lakinya masuk tanpa mengetuk pintu kamarnya. Adnan kembali menempelkan kepalanya ke kasur.
"Ngapain ke sini?" tanya Adnan.
"Rossa nginep di rumah orang tuanya. Karena tau lo sendiri, jadi gue ke sini deh."
Adnan memutar bola matanya, dan bangkit duduk. Ia menatap malas kakaknya, Bima. Bima adalah satu-satunya saudara yang dimiliki Adnan. "Terus ngapain ke kamar gue?"
Bima mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Jalan yuk." tawar Bima.
"Ogah."
"Dih, nggak asik lo ah. Makan ke mana kek, lo juga pasti laper kan?"
"Nggak." Adnan memilih kembali merebahkan tubuhnya, daripada harus menanggapi ucapan kakaknya lebih jauh.
Bima berkacak pinggang, dan melangkah maju mendekati adiknya. Ia menarik paksa Adnan untuk bangun. "Siap-siap sekarang. Gue tunggu di bawah."
"Ah elah." Dengan sebal Adnan bangkit, ia membuka lemarinya dan hanya mengambil jaket boombernya yang berwarna putih. Ia segera turun ke bawah, mengikuti Bima yang sudah ke luar lebih dahulu.
Selama perjalanan, Adnan dan Bima hanya saling diam. Tidak ada yang berinisiatif untuk membuka pembicaraan. Hingga Bima menghentikan mobilnya di sebuah restoran yang hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari rumahnya.
"Belum pernah makan di sini kan?" Bima menoleh pada Adnan sebelum ia memutuskan untuk keluar.
Adnan menjawabnya dengan gelengan kecil.
"Bagus kalau gitu." ucap Bima sambil tersenyum. Ia membuka seatbeltnya dan keluar dari mobil diikuti Adnan.
"Lo pesen duluan ya, gue ke kamar mandi dulu." Adnan mengangguk dan segera mengedarkan pandangannya ke sekitar. Restoran tersebut tampak ramai, namun masih menyisakan beberapa meja untuk para customer selanjutnya.
Adnan sudah menentukan pilihannya untuk duduk di meja paling pojok dekat jendela. Matanya menyipit saat melihat sosok perempuan yang dikenalinya. Adnan melangkah maju, semakin mendekat.
"Alya?"
Yang dipanggil pun menoleh. Bukan lagi hanya Alya yang menoleh, tapi Althaf dan juga Farel yang sedang bersama perempuan itu.
Adnan mengerutkan keningnya saat melihat 2 orang laki-laki yang sedang bersama Alya. Tidak pernah ia lihat Alya bersama dengan laki-laki, apalagi Alya perempuan sendiri saat itu.
Sama halnya dengan Adnan, Althaf dan Farel pun mengeluarkan ekspresi yang hampir sama dengan Adnan. Althaf dan Farel beradu pandang, seolah sama-sama bertanya 'dia yang waktu itu kita lihat di kampus kan?'.
"Kak Adnan?"
"Ehm iya. Kamu lagi apa di sini?"
"Aku? Makan." jawab Alya apa adanya.
Adnan memberikan senyumnya pada Alya. "Kamu sama siapa?" Adnan memberikan kodenya melalui mata yang menatap Althaf dan Farel bergantian.
"Oh, ini Farel, adikku kak. Kalau ini.. " Baru Alya ingin mengenalkan Althaf, suara panggilan itu jadi menghentikan penjelasannya.
"Adnan!"
Sang pemilik nama menoleh, melihat Bima yang berjalan menghampirinya.
Bima menepuk pundak kanan Adnan. "Lo, gue cariin dari tadi." Bima menggeser pandangannya dan melihat Althaf dan Alya. "Loh kalian berdua juga di sini?"
Althaf tersenyum walaupun memang ia sedikit terkejut dengan kehadiran Bima. "Iya, habis nyebar undangan tadi." ujar Althaf, yang membuat Alya ikut tersenyum ramah ke arah Bima.
"Wah parah lo. Undangan buat yang lain udah kemana-mana. Gue bahkan belom dapet.
Althaf terkekeh kecil. "Besok di kantor ya."
Bima mendengus sebal, mana ada sahabat yang tahu belakangan. "Oh ya, kenalin ini adik gue, Adnan." Bima merangkul bahu Adnan dengan menatap Althaf dan Alya bergantian.
Althaf menaikkan sebelah alisnya. "Adik?"
"Wah, serius kalian adik kakak?" tanya Alya dengan penasaran.
Bima tersenyum dan mengangguk. "Yup. Oh ya Nan, kenalin ini temen gue Althaf." Bima menujuk Althaf, dan menggeser telunjuknya ke arah Alya. "Dan perempuan ini calon istrinya, Alya."
Adnan sontak menoleh pada kakaknya dengan alis tertaut. "Apa?"
Bima mendengus geli melihat ekspresi wajah adiknya. "Iya mereka sebentar lagi mau nikah."
"Nikah?"
Alya menatap Althaf, laki-laki itu mengangguk seolah mengetahui pikiran Alya. Ia merogoh paper bagnya. Ia mengambil undangan dan memberikannya pada Adnan. "Ini undangannya, kak. Acaranya minggu depan, datang ya." Alya memberikannya dengan tersenyum tipis pada Adnan.
Adnan menerima undangan itu. Adnan bergeming di tempatnya, membaca nama Althaf dan Alya yang tertera sebagai calon pengantinnya. Ia bingung, dan tidak bisa berpikir jernih saat ini.
Farel yang sejak tadi diam, memperhatikan semuanya. 4 orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Kini Farel tahu satu hal ... laki-laki bernama Adnan itu menyukai kakaknya, Alya.
*****
"Alya beneran sekampus sama lo, Nan?" Bima langsung bertanya begitu ia dan Adnan sudah memasuki rumah. Sejak bertemu dengan Althaf dan Alya tadi, Adnan hanya diam saat makan, dan semakin diam saat mereka berada dalam perjalanan.
"Adnan! Lo nggak denger gue ngomong?" Bima sedikit berteriak sambil berkacak pinggang, saat melihat Adnan malah ngacir ke atas menuju kamarnya.
"Gue ngantuk. Mau tidur." ujar Adnan tanpa menoleh. Adnan langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan cukup kencang.
Bima meringis karena terkejut dengan suara yang ditimbulkan adiknya. "Ih ngapa sih tu anak?" Bima memilih untuk pergi ke kamarnya sendiri, daripada menyusuli kepergian Adnan.
Sedangkan di kamarnya, Adnan merobohkan tubuhnya begitu saja di kasur. Masih terngiang di kepalanya saat mendengar bahwa Alya akan menikah seminggu lagi.
Menikah?
Bukankah Alya dulu pernah mengatakan padanya bahwa ia baru akan menikah minimal setelah lulus kuliah.
Lalu kini? Perempuan itu akan menikah, seminggu lagi? Saat ia bahkan baru akan menuju semester 6? Kalau sudah begini, apa yang harus Adnan lakukan? Mencegah perempuan itu untuk menikah?
Awalnya Adnan menganggap Alya seperti perempuan yang lain, atau lebih tepatnya adik kelas, partner organisasi dan juga kepanitiaan di kampus. Namun karena seringnya interaksi antara dirinya dengan Alya, hingga membuatnya secara tidak sadar jadi lebih sering memperhatikan Alya. Adnan yang suka berada di dekat Alya. Adnan yang suka cara Alya bicara. Adnan yang suka tingkah dan pribadi Alya, dan Adnan yang suka Alya tersenyum. Perhatian, serta perasaan lain tumbuh di sisi hatinya.
Hingga Adnan menyadari, bahwa ia menyukai Alya.
Adnan tahu bahwa Alya bukanlah perempuan yang mudah didekati. Terbukti perhatiannya selama ini, ternyata tidak dianggap lebih oleh Alya. Perempuan itu hanya menganggapnya senior yang tak lebih sebagai kakak tingkatnya.
"Kenapa kamu harus menikah secepat ini?" lirih Adnan dengan menatap undangan di tangan kanannya. Adnan menjatuhkan tangannya dan berganti menutupi kedua matanya dengan punggung lengannya.
Yang Adnan tahu, mencintai dalam diam tidak akan sesakit ini. Yang Adnan tahu ketika ia selalu berada di samping gadis itu, maka ia bisa mendapat tempat di dalam hatinya. Namun Adnan salah. Ketika kamu terlambat untuk maju, maka orang yang kamu cintai mungkin sudah lebih dulu mendapatkan yang lain. Mendapatkan sosok yang lebih memberikan jaminan untuk hidupnya. Mendapatkan sosok yang halal untuk selalu berada di sampingnya.
Ikhlas. Satu kata yang saat ini mendekam di pikirannya. Haruskah ia ikhlas? Mengikhlaskan seseorang yang ia cintai menjadi milik orang lain?