Pasangan Halal

3542 Kata
Akad akan dilaksanakan pada hari ini, pada tanggal 11 November tepat jam 8 hingga jam 9 pagi, di Ballroom Hotel Madani yang berada di wilayah Jakarta Timur. Sedangkan acara resepsinya akan dilaksanakan jam 9 hingga jam 12 siang di tempat yang sama. Ballrom sudah selesai di design untuk pernikahan mereka sejak 2 hari yang lalu. Alya tak banyak membantu dalam mengonsep pernikahan, semuanya ia serahkan dan percayakan pada Althaf. Menikah memang bukan seberapa megah dan mewah resepsi yang diadakan. Bukan seberapa banyak undangan yang disebar. Bukan seberapa enak makanan yang tersedia untuk para tamu. Bukan tentang seberapa besar budget yang dikeluarkan impian menikah sekali seumur hidup. Tapi tentang bagaimana sebuah keikhlasan untuk memberikan itu semua pada pasangan semata-mata karena Allah Swt. Althaf tahu, ia telah meminta pada Allah agar menjodohkannya dengan seorang gadis seperti Alya. Althaf telah meminta pada kedua orang tuanya Alya, agar mau merestui dirinya dan Alya untuk menikah. Karena itulah Althaf ingin mencoba memberikan yang terbaik untuk istrinya. Nabi Muhammad Saw pun memberikan 1000 unta merah untuk Khadijah Ra, sedang Althaf juga akan mencontoh Nabi Muhammad dengan memberikan yang ia mampu tanpa memberati kedua orang tuanya dan tanpa menyulitkan dirinya sendiri. Sebanyak 700 kursi juga telah di sediakan dalam ruangan yang memiliki luas 1085m tersebut. Ruangan yang telah di design dengan warna putih dengan berbagai bunga yang telah memenuhi pelaminan. Althaf juga menyesuaikan dengan Alya yang mengingikan pernikahan mereka agar dibuat lebih sederhana. Di belakang Ballroom hotel, terdapat 2 ruangan yang terpisah. 2 ruangan tersebut dimanfaatkan sebagai ruang untuk mempelai pria, dan mempelai wanita. Jadi ruang antara Althaf dan Alya berbeda, namun bersebelahan. Sementara itu, di depan pelaminan, sudah disediakan satu meja beserta 4 kursi yang telah ditutupi dengan kain berwarna putih. Tempat tersebut akan digunakan sebagai tempat untuk pelaksanaan ijab qabul. Di sepanjang koridor hotel pun, sudah penuh dengan karangan bunga yang didapatkan dari para tamu undangan. Rata-rata karangan bunga itu didapat dari partner kerja Althaf, dan rekan bisnis kedua orang tua masing-masing. Pernikahan sekali seumur hidup itu, Althaf persembahkan seluruhnya untuk Alya. Althaf menatap pantulan dirinya dari dalam cermin sekali lagi. Memastikan sekali lagi bahwa ia sudah rapih dan siap untuk menghalalkan Alya di depan penghulu dan para saksi sekalian atas izin Allah Swt.  Bima yang berada di samping Althaf tersenyum geli. Ia menepuk pundak kanan Althaf. "Santai aja, Al. Nggak usah gerogi gitu. Biasanya juga sok pasang muka cool."   "Bercandanya nggak lucu, Bim." Protes Althaf dengan ledekan Bima. Bima sontak tertawa, wajah Althaf memang sangat kentara karena tegang dan gugup. Tapi jujur, Althaf memang merasa sangat gugup. Takut jika nanti ia melakukan kesalahan saat melafalkan kalimat ijab qabul. Selanjutnya Althaf lebih memilih untuk muroja'ah surat Ar-Rahman, yang akan ia berikan sebagai salah satu mas kawin untuk Alya. Tok Tok! Pintu ruang terbuka, memunculkan sosok yang membuat Althaf dengan sigap berdiri. Sosok itu adalah Rama, ayahanda Alya. Rama Masuk dengan tersenyum ke arah Althaf. "Boleh tolong tinggalkan kami berdua?" pinta Rama pada Bima.  Bima mengangguk seraya tersenyum. "Tentu Om, silahkan." Bima segera keluar dari ruangan tersebut dan menutup pintunya kembali, memberikan ruang bagi kedua lelaki di dalam sana untuk bicara empat mata. "Ada apa, Om?"  Rama tertawa kecil, dan mengajak Althaf untuk duduk di kursi. "Kamu ini masih saja panggil saya Om. Panggil saya Ayah."  "Ada apa, Yah?" tanya Althaf dengan canggung. Sudah pantaskah jika ia menyebut Rama sebagai ayah? Bolehkah jika ia menganggap Rama sebagai ayahnya sendiri? Rama menatap lurus mata calon menantunya. "Boleh saya tanya kamu sesuatu?" Dapat Althaf lihat perubahan aura Rama yang lebih serius terpampang di pria itu. Althaf mengangguk kecil. "Silahkan, Yah." "Apakah kamu bisa menjaga puteri saya, Alya?" Althaf mendadak mematung di tempatnya. Pertanyaan itu adalah sebuah kewajiban bagi dirinya, yang seharusnya tidak perlu dimintapun itu harus ia lakukan.  Rama menurunkan arah pandang matanya menatap ke lantai hotel yang dibuat dari marmer. "Saya tahu suatu hari nanti, momen seperti ini pasti akan datang. Momen dimana saya akan memegang tangannya untuk yang terakhir kali dan menyerahkannya kepada lelaki yang akan menjadi suaminya kelak." "Alya adalah anak perempuan, titipan dari Allah yang tentu sangat saya sayangi. Selama Alya hidup, saya bersama istri saya selalu berusaha agar tidak akan pernah menyakiti hatinya. Ia adalah anak yang ceria dan aktif. Tidak pernah saya melihat ia menangis seumur hidup saya, karena ada hal yang menyakitinya. Gaya bicara serta senyumnya seperti mampu menyihir orang lain untuk ikut tersenyum." Rama jadi tersenyum sendiri saat membayangkan wajah Alya dari semenjak anaknya itu terlahir hingga hari ini yang sebentar lagi akan menjadi menjadi seorang istri. Rama menolehkan kepalanya dan menatap wajah Althaf yang duduk di sampingnya. "Alya mungkin bukan perempuan paling sempurna yang kamu temui di dunia. Bukan pula perempuan paling cantik yang mungkin hadir di hidupmu. Tapi kamu harus yakin dan percaya, bahwa dialah satu-satunya perempuan yang memang Allah takdirkan untuk bersamamu. Yakinkan dirimu bahwa dia satu-satunya perempuan yang bisa membantumu menjadi lelaki yang lebih kuat, lebih baik dan lebih dewasa setiap saat." "Setelah ini, kamu adalah rumah bagi Alya. Tidak ada yang lebih penting selain rumah karena di sana tempat kalian berteduh, berlindung dan berkumpul bersama. Tentu kamu tidak akan pernah bisa memberikan cinta kasihseperti yang saya berikan kepadanya, jadi saya yakin kamu punya cara sendiri untuk mencintai dan mengerti dirinya." Rama berhenti sejenak melanjutkan ucapannya. Ia meremas bahu kanan Althaf.  "Tolong tegur dan peringati puteri saya kalau dia berjalan ke arah yang salah, seperti yang saya dan istri saya lakukan ketika dia salah mengambil jalan dalam hidup. Buat ia selalu merasa aman dan nyaman ketika bersamamu, Althaf. Setelah ini mungkin porsi saya menjaganya hanya tersisa 20%, karena sisanya, Alya berada di tangan kamu." "Yah.. " Althaf memberanikan diri menyentuh punggung tangan Rama, calon mertuanya. Saya juga bukan lelaki terbaik yang mungkin akan Ayah temukan sebagai calon menantu, ataupun seorang suami terbaik bagi Alya. Saya juga tidak bisa menjanjikan bahwa rumah tangga yang akan saya jalani nanti dengan anak Ayah akan bahagia selalu selamanya seperti di cerita dalam negeri dongeng. Tapi percayalah, bahwa saya akan selalu menjadi suami yang selalu menjaga istrinya dari hal apapun. Membawa Alya menuju syurga bersama, dan bersama dengan puteri Ayah untuk menjadi sepasang orang tua yang memiliki anak soleh-solehah." Rama menampilkan senyum yang lebih lepas di wajahnya. Setidaknya, sampai detik akad berlangsung nanti, ia harus memastikan bahwa anaknya akan mendapatkan lelaki yang baik sesuai ketentuan Allah Swt. "Saya berharap banyak dengan kamu, Nak." "Terima kasih sudah mempercayai lelaki seperti saya, untuk bisa meminang puteri Ayah, Alya." Ujar Althaf seraya tersenyum dan mencium punggung tangan Rama. ***** Sementara itu, Alya menunggu di ruangannya sendiri dengan perasaan yang sulit digambarkan. Rasa bahagia, syukur, sedih, gugup, semuanya bercampur mengaduk hati Alya menjadi satu. Kedua orang tuanya sudah berada di Ballroom Hotel, menemani Althaf yang sebentar lagi akan membacakan ijab qabul. "Al.." Raya menggenggam erat tangan Alya, membantu memberikan perempuan itu ketenangan. "Bismillah, semuanya pasti akan Allah lancarkan," ucap Raya sambil mengusap bahu Alya dan mencoba memberikan sahabatnya itu senyum yang menenangkan. Alya balas tersenyum dan mengangguk kecil. "Makasih ya, Ra. Udah nemenin aku sampai aku mau nikah sekarang." Alya mengerucutkan bibirnya dan merentangkan tangannya lebar, seolah ia akan menangis sebentar lagi. Raya mendengus, dan memeluk Alya dengan erat. "Kamu harus bahagia. Kalau kamu bahagia, aku juga akan bahagia. Aku sayang sama kamu, Al." Alya harus bersyukur, memiliki seorang sahabat seperti Alya. Alya sudah mengenal Raya sejak SD, dan sejak itu mereka berdua menjadi teman baik hingga akhirnya bersahabat. Raya selalu ada untuk Alya. Begitupun Alya yang selalu berada di samping Raya. Alya yang sibuk berorganisasi namun tetap tidakk pernah melupakan Raya. Jika Raya kesulitan dalam pelajaran, maka Alya dengan senang hati akan membantu semampunya. Tok Tok! Alya dan Raya saling menjauhkan diri mereka masing-masing. Alya langsung berdiri dan tersenyum begitu melihat Herlina mendatanginya masuk ke dalam ruangan. "Boleh Tante bicara dengan Alya dulu sayang?" Herlina memegang lengan Raya, sambil menunggu jawaban gadis itu. "Silahkan Tante. Aku keluar dulu ya, Al." Raya langsung keluar dari ruangan tersebut setelah mendapat kode dari Alya. "Ada apa, Tante?" Herlina mengembangkan senyum di wajahnya. "Panggil saya Ibu," kata Herlina dengan mantap. "Iya Tan.. eh.. Ibu," ucap Alya dengan masih sedikit ragu dan gugup. Herlina mendekat dan menggenggam kedua tangan Alya. "Alya, Ibu mau bicara sesuatu." "Apa itu, Bu?" "Selama 26 tahun Ibu menjadi Ibunya Althaf, yang Ibu tahu dia adalah anak yang berbakti dan bertanggung jawab. Sejak kecil Althaf sudah belajar mandiri dan menjadi sosok Kakak yang baik bagi Melisa." "Ibu bicara seperti ini bukan bermaksud ingin membanggakan dia selangit karena dia anak Ibu, tapi murni karena itulah Althaf apa adanya. Ibu berterima kasih sama kamu, karena mau menerima lamaran anak Ibu. Ibu tahu, pasti masih banyak hal di luar sana yang ingin kamu lakukan di masa muda kamu. Namun menjadi seorang istri bahkan seorang ibu adalah pekerjaan yang sangat mulia, Alya. Menikah di usia muda, bukan berarti membatasi ruang gerak kamu. Hanya saja ketika kamu menikah, kamu memiliki tambahan kewajiban sebagai seorang istri yang harus melayani suaminya." “Ibu akan selalu mendoakan kehidupan rumah tangga kedepannya semoga selalu Allah lindungi dan Allah jaga.” Alya langsung mengusap pipinya cepat saat ia berhasil menitikkan air mata. "Terima kasih atas pesannya, Bu. InsyaAllah Alya akan berusaha menjadi seorang istri yang baik bagi Mas Althaf." Herlina menahan tangan Alya yang ingin kembali menghapus air matanya. "Sudah cantik, tidak boleh menangis." Herlina mengambil tisu yang ada di atas meja dan mengusap air mata Alya dengan lembut. ***** "Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Althaf Said Abrisam Bin Gunawan Abrisam dengan Alya Khansa Ramadhani Binti Rama Wicaksono dengan mas kawin berupa emas seberat 35 gram, dengan uang tunai sebesar Rp. 11.112.016;, disempurnakan dengan surat Ar-Rahman, dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Alya Khansa Ramadhani Binti Rama Wicaksono dengan mas kawin berupa emas seberat 35 gram, dengan uang tunai sebesar 50.000.000, disempurnakan dengan surat Ar-Rahman, dibayar tunai." "Bagaimana para saksi?" "SAH!" teriakan sah menggema dalam balroom hotel pagi hari itu. "Alhamdulillah!" Althaf dan yang lainnya kompak mengucap syukur. Disempurnakan dengan do'a setelah akad dari penghulu. Althaf sampai tak tahan menahan rintikan air matanya yang jatuh dari kelopak matanya. Akhirnya, ia mampu melafalkan ijab qabulnya dengan lancar dan tanpa hambatan. "Alhamdulillah, Alya!" Raya langsung memeluk tubuh Alya erat, hingga mereka berdua menitikkan air matanya. Althaf telah mengucapkan ijab qabulnya dengan suara lantang, tanpa keraguan sedikit pun. Sekarang ia sudah menjadi istri sah dari seorang lelaki bernama Althaf Said Abrisam. Dari ruangan yang memang pintunya sengaja dibuka, terdengar suara riuh ucapan selamat untuk dirinya dan juga Althaf. "Silahkan dijemput, adinda istrinya ke sini." Alya melepas pelukannya dengan Raya, begitu mendengar suara penghulu tersebut yang meminta Althaf untuk menjemput dirinya. Tidak menunggu lama untuk Althaf masuk ke dalam ruangan yang ada Alya di dalamnya. Alya berdiri, dan menatap Althaf yang sudah berdiri di ambang pintu. Althaf melangkah semakin dekat pada Alya, sementara Alya langsung menundukkan kepalanya, gugup, tidak berani berkutik. Jantungnya semakin berdetak tak karuan saat Althaf mengikis sedikit demi sedikit jarak di antara mereka berdua. Perlahan Alya mengangkat kepalanya, sehingga mata mereka bertemu. Althaf menatapnya lekat dengan senyum merekah di wajahnya. Alya semakin meremas kuat gaun putihnya. Rasanya berkali-kali lipat lebih gugup dibandingkan saat masa ta'aruf lalu. Hanya 2 detik Alya sanggup menatap Althaf tepat di matanya. Karena selanjutnya perempuan itu kembali menunduk. Althaf mengangkat tangannya dan menghapus air mata dari wajah gadis yang kini telah sah menjadi istrinya dengan lembut. “Jangan menangis,” ucapnya yang langsung membuat tubuh Alya seperti tersengat sesuatu. Orang yang ada di sekitar termasuk Raya pun ikut histeris dengan membekap mulut mereka. Kepala Alya hanya bisa menunduk dalam dan malu. "Terima kasih karena sudah memilihku, dan mau menjadi istriku." Ujar Althaf dengan sedikit berbisik di telinga Alya. Alya kembali memberanikan diri mengangkat kepalanya, membalas tatapan Althaf padanya. Althaf tidak mengurangi senyumnya, malah yang Alya lihat senyum Althaf semakin melebar. "Ayo," suara Althaf terdengar begitu lembut di telinga Alya. Suara dan senyum lelaki yang kini telah menjadi suaminya yang mampu membuat darahnya berdesir hebat. Althaf membuka lengan kanannya yang ditekuk, menunggu Alya mengaitkan lengan padanya. Perlahan tapi pasti, Alya menerima uluran Althaf. Gadis itu mengaitkan tangannya di dalam lengan milik Althaf. Mengikis habis jarak antara mereka berdua. Dapat Alya cium, aroma mint segar dari tubuh Althaf. Althaf menuntun Alya mendekati meja tempat ijab qabulnya tadi. Ayahnya Alya, Rama, tersenyum haru melihatnya. Bisa Alya lihat mata ayahnya yang sudah memerah menahan air mata. Ibundanya, Kartika pun bahkan sudah menangis dengan tersedu-sedu. Melepas anak perempuan yang telah mereka asuh dan didik selama di dalam perut hingga jadi gadis dewasa yang cantik adalah hal sebuah ujian bagi setiap orang tua. Para fotografer pun sudah bersiap membidik kamera ke arah Althaf dan Alya, untuk mengabadikan momen bahagia tersebut. "Silahkan mempelai perempuan cium tangan suaminya dulu," pinta penghulu. Alya dan Althaf berdiri berhadapan. Alya mengangkat kepalanya dan menatap Althaf. Althaf tersenyum tipis kepadanya. Dengan   masih sedikit malu-malu, Alya melakukan apa yang diminta oleh penghulu itu. Saat tangan kanan itu ia raih dengan kedua tangannya, dapat Alya rasakan kehangatan dari tangan suaminya. Setelah Alya mencium tangannya. Althaf bergerak maju. Ia menyentuh kedua pipi Alya, dan mendekatkan wajahnya ke atas pucuk kepala Alya. Althaf memejamkan matanya, dan memberikan doa, sementara Alya mengamininya dalam hati segala doa yang dipanjatkan Althaf untuk mereka berdua.  Althaf memasangkan cincin bermata berlian di jari manis Alya. Begitu pula Alya sebaliknya. "Silahkan dibacakan surat Ar-Rahman untuk sang istri beberapa ayat. Nanti selanjutnya bisa dilanjutkan berdua di dalam kamar." Ucapan penghulu itu sukses membuat wajah Alya bersemu, memerah karena malu. Para tamu pun seakan kompak ikut meriuhkan suasana, hinga Althaf juga ikut tersenyum malu-malu. "Mas bacakan dari ayat 1 sampai ayat 10, ya?" tanya Althaf dengan suara pelan. Sudah pasti bahwa suara pelan itu hanya didengar oleh Alya. Alya tersenyum simpul dan mengangguk. Alya melihat suaminya yang sedang menarik napas panjang. "أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ" "بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم" "الرَّحْمَٰنُ" "عَلَّمَ الْقُرْآنَ" "خَلَقَ الْإِنسَانَ" Begitu seterusnya hingga Althaf melafalkan surat Ar-Rahman hingga ayat kesepuluh, yang ia persembahkan untuk kekasih halalnya. Alya mendengarkan dengan seksama betul lantunan ayat suci Ar Rahman yang dibacakan suaminya dari ayat 1-10. Suara lantang lantunan ayat suci dari suaminya membuat aliran darah di tubuh Alya berdesir. *** Resepsi yang digelar, sungguh membuat kaki Alya pegal-pegal. Padahal waktu resepsi hanya berlangsung 2 jam, tapi karena banyaknya tamu sehingga Alya hampir berdiri selama 2 jam untuk bersalaman dengan semua tamu yang hadir. Memakai sepatu tinggi, serta gaun yang berat dan berlapis jadi membuatnya tak nyaman. Hampir semua tamu undangan sudah datang. Dari para rekan kerja Althaf, hingga semua teman kampus Alya, dan teman masa kecil mereka masing-masing. Keduanya kini jadi tahu siapa-siapa saja orang yang dekat dengan antar keduanya. "Kamu cape, ya?" suara lembut itu membuat Alya refleks menoleh ke sampingnya. Alya tersenyum canggung dan mengangguk kecil.  Althaf terkekeh dan mengambil tissue yang disediakan di meja kecil di samping sofa pelaminan mereka. Kini mereka akhirnya mendapat jeda beberapa menit setelah tamu sebelumnya bersalaman dengan mereka. Althaf menyeka keringat yang ada di kening Alya dengan lembut. Alya langsung diam mematung di tempatnya. Sikap manis suaminya, kembali menyerang kegugupan Alya setengah mati. Perubahan status mereka belum bisa mengendalikan kegugupan Alya setiap Althaf melakukan kontak fisik di antara mereka. "Mas Althaf, nggak cape?" tanya Alya ragu dan suara yang begitu pelan. Membuat Althaf harus sedikit mendekatkan telinganya pada Alya.      Althaf menjauhkan tangannya dari wajah Alya. Ia menggeleng dan menatap lekat manik mata Alya. "Nggak, karena ada kamu, istri aku." Alya sungguh tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Jadi seperti ini rasanya menjadi penganti baru? Seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di atas perutnya, sehingga selalu membuatnya tersenyum malu dan bahagia.  "Kamu pasti haus, aku ambilin minum ya." Althaf berdiri dan melangkah ke meja prasmanan untuk mengambilkan Alya minuman. Dari semua undangan yang disebar, sepertinya hanya tinggal beberapa tamu yang belum datang. Sehingga, kedua orang tua Althaf dan Alya saat ini sudah duduk melingkar bersama dengan keluarga besar mereka. Jauh di ambang pintu sana, berdiri seorang lelaki tampan dengan baju batik, serta celana hitamnya. Jam silver juga melingar di pergelangan tangannya. Rambutnya di tata rapih ke belakang dengan gatsby.  "Adnan!"  Lelaki yang sejak tadi hanya berdiam diri di depan pintu, langsung menoleh ke samping dan melihat kakaknya, Bima, menghampirinya. "Baru dateng? tuh langsung aja ke depan. Alya pasti udah nungguin. Temen-temen kampusnya juga udah banyak yang dateng dari tadi. Oh ya, gue ke sana dulu ya, ketemu temen kantor. Lo ke sana sendiri gapapa kan?" Bima sejak tadi berbicara sendiri. Semua pertanyaan dan ucapannya tidak ada yang ditanggapi sedikitpun oleh Adnan. Bima bahkan langsung ngacir, berkumpul dengan rekan kantornya. Meninggalkan Adnan yang sibuk dengan pikirannya sendiri.  Adnan kembali menatap ke arah pelaminan. Hanya ada Alya yang duduk seorang diri, ia tidak bisa melihat dimana suaminya Alya berada. Adnan menggerakkan kakinya, maju melangkah ke depan. Mau tidak mau, Adnan harus memberikan ucapan selamat kepada Alya atas pernikahannya. Adnan datang sendrian karena semua teman dan sahabatnya sudah lebih dulu datang lebih awal.  Adnan naik ke atas pelaminan, dan Alya berdiri begitu melihat Adnan berjalan menghampirinya. "Aku kira Kak Adnan nggak bisa datang." Adnan tersenyum tipis. "Ya dateng dong. Kan di undang." "Selamat ya Alya atas pernikahan kamu." Adnan memberikan ucapan selamat pada Alya. "Makasih ya Kak. Oh ya, Mas Althaf nya-" Alya mengurungkan niat untuk memanggil suaminya, karena Althaf telah berdiri tegap di sampingnya. Adnan menatap Althaf tepat di matanya. Ia mengulurkan tangannya dan Althaf menerima jabatan tangan tersebut. "Selamat atas pernikahannya. Tolong jaga Alya dengan baik," ucap Adnan seraya mengeratkan jabatan tangan mereka. "Tentu, terima kasih sudah datang." Althaf tersenyum pada Adnan dengan tangan secara tidak sadar melingkar di pinggang Alya dengan posesif. "Mas Althaf," cicit Alya yang tak diindahkan oleh Althaf. Althaf tidak kunjung melepaskan tangannya yang berada di pinggangnya. Alya menyentuh tangan Althaf yang melingkar di pinggangnya. "Mas." "Ya?" Althaf mengikuti arah pandang Alya. "Maaf," Althaf langsung menurunkan tangannya, begitu tahu maksud tatapan Alya. Ternyata saat Althaf menghadap ke depan, Adnan sudah tidak ada di hadapannya. Adnan sudah turun dari pelaminan, sejak ia melihat Althaf yang merangkulkan tangannya di pinggang Alya. *** Althaf dan Alya memasuki kamar yang sudah di pesan atas nama mereka. Sedangkan seluruh keluarganya sudah kembali ke rumah masing-masing. Tubuh Alya dan Althaf juga sudah pegal semua karena setelah acara resepsi tadi, acara gathering keluarga langsung dilaksanakan, diakhiri dengan solat maghrib berjamaah. Alya langsung merubuhkan tubuhnya di atas sofa yang letaknya tidak jauh dari tempat tidur, dan meninggalkan kopernya begitu saja. Althaf ikut masuk, tak lupa mengunci pintu kamarnya. Alya memejamkan matanya begitu saja, tubuhnya sudah tidak bisa diajak kompromi. Ia benar-benar lelah hari ini. "Sayang," Alya langsung membuka matanya lebar, begitu mendengar suara lembut Althaf yang juga mengusap pipinya. Alya langsung duduk dengan tegap dan menoleh. Beberapa detik yang lalu, ia bahkan lupa kalau di kamar ini bukan hanya ada dirinya, tapi juga suaminya. Seketika Alya jadi menahan napasnya, karena Althaf duduk terlalu dekat dengannya. Pahanya bahkan menempel dengan paha Althaf. "Kamu nggak mandi dulu?" tanya Althaf lembut. "Hm?" Alya menaikkan alisnya sebelah, bola matanya melirik ke sekeliling. Ia salah tingkah, gugup, malu. Semuanya bercampur jadi satu, sehingga ingin rasanya Alya menyembunyikan wajahnya di dalam kantong kemeja Althaf. "Kamu mandi duluan ya. Habis itu kita solat sunnah 2 rakaat, Allah pasti sudah menunggu kita." "Mas duluan aja," jawab Alya cepat. Alya melirik ke samping, sofanya masih memiliki banyak ruang kosong. Ia berniat menggeser bokongnya ke samping, agar memberi jarak antara dirinya dengan Althaf, namun Althaf sudah lebih dulu tahu maksud Alya. Althaf menahan tangan istrinya, dan tersenyum geli. "Muka kamu lucu kalau gugup begitu," ujar Althaf dengan sedikit terkekeh geli. "Maass!" Alya langsung menutup wajahnya dengan bantal sofa. Ia sungguh tidak suka digoda seperti itu. Rasanya malu, dan pastinya malah membuat wajahnya semakin memerah tidak karuan. Cup! Althaf mencium pucuk kepala Alya singkat. Althaf bergeser dari posisinya, dan bangkit berdiri. "Atau mau mandi berdua aja? Biar cepat?” tanyanya iseng. Apa? Alya langsung ikut bangkit dan melempar bantal sofanya asal. "Mandi sekarang!" jawab Alya cepat tanpa babibu lagi, dan langsung ngacir ke kamar mandi. Sepeninggal Alya, Althaf langsung memegang dadanya sendiri. Baru sikap kecil seperti tadi saja sudah sukses membuatnya ingin pergi ke dokter untuk periksa jantung, gimana nantinya? *** Alya mematung di balik pintu kamar mandi. Jika dihitung, sudah hampir 1 menit ia berdiri di sana. Alya sudah memakai piamanya yang berwarna biru muda, tapi Alya lupa sekali untuk membawa kerudungnya. Alya meringis, memikirkan bagaimana caranya ia harus keluar dari kamar mandi. "Alya, kamu masih lama?" "I.. iya Mas. Se..sebentar.. la..lagi." Lengkap sudah kegugupannya. Wajah memerah. Gelisah. Bicara terbata-bata. Alya membuka pintunya perlahan. Ia melongokkan kepalanya sedikit demi sedikit keluar. Alya berjalan keluar dengan kaki berjinjit, dan handuk yang menutupi kepalanya. Ruang kamar executive dengan king bed yang biasanya terlihat luas itu, kenapa mendadak terasa sempit malam ini? "Sudah selesai?" Althaf yang tadi sedang merapihkan pakaian, berjalan menghampirinya. Alya mengangguk kecil. Ia masih berdiri sejak tadi. Untuk sekedar duduk pun rasanya canggung dan bingung. Alya memilih untuk membelakangi suaminya, dengan pura-pura sibuk mengubek isi tasnya, sementara tangan kirinya menahan handuk itu agar tidak jatuh dari kepalanya. Srrrtt! Althaf menarik handuk yang ada di kepala Alya, membuat Alya melotot dan kembali mematung. Rambut hitam panjangnya yang basah terurai terlihat seutuhnya oleh Althaf. Alya langsung berbalik dan menatap lelaki yang kini telah halal untuknya. Althaf bahkan bisa menatap penuh wajah Alya yang lalu tertutupi hijab. Alis, mata, hidung, telinga hingga lekukan leher putih Alya. Althaf juga bisa melihat Alya yang memakai anting emas di kedua telinganya. Alya langsung gelagapan menutupi rambutnya. "Ke.. kenapa?" tanya Alya gugup karena melihat tatapan suaminya. Althaf tersenyum kepadanya. Senyum yang Alya tidak mengerti maksudnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN