Bab 5

1015 Kata
Secara bersamaan Nugra dan Yuki menoleh ke arah Ryu. Kemudian Ryu berkata pada Yuki,"nggak perlu, kami punya tempat sendiri,"katanya sambil menarik tangan Maira. "Astaga, itu manusia atau apa sih,"omel Yuki sambil duduk kembali."Kasihan Maira ya, dapat laki-laki aneh kayak gitu. Pernikahannya nanti pasti nggak bahagia. Iya kan, sayang?" Nugra tidak menjawab, pria itu memilih melanjutkan makannya dengan pikiran penuh. Sesekali ia melirik ke arah Maira, tapi ia justru mendapat tatapan tajam dari sang lelaki. Nugra jadi bertanya-tanya, siapa laki-laki yang bersama Maira tersebut. Mungkinkah Maira sudah menemukan penggantinya. Ryu membawa Maira ke meja yang menurutnya nyaman posisinya. Setelah memesan makanan, ia menatap Maira yang terlihat tidak tenang. "Kalau ada hal seperti tadi, kamu nggak harus menanggapi, Maira..." Maira tersenyum kecut, Ryu tahu apa yang sedang ia pikirkan."Aku nggak mikirin itu kok,"katanya berbohong. "Ya sudah, sekarang aku mau ngomongin soal kita." Ryu memulai,"besok kamu kan sudah pulang, tentu waktu kita bicara panjang cuma malam ini, aku mohon waktu kamu ya." Maira menatap Ryu, jadi, pria itu memang serius dengan ucapannya siang tadi. Ia pikir itu hanya sekadar basa-basi."Oke..." "Bagaimana kalau kita mempertimbangkan perjodohan ini, Mai?" "Beri aku alasan kenapa kita harus mempertimbangkan ini? Aku nggak apa-apa kok belum menikah, maksudnya biar aku sudah berusia seperti ini, nggak menjadikanku harus menikah dalam waktu dekat,"balas Maira. "Itu benar. Usia bukanlah sebuah patokan. Tapi, tidak ada salahnya kita mencoba, kan?" “Ryu...aku pernah dijodohkan, nyaris menikah. Persiapan sudah seratus persen, tinggal menunggu tiga hari saja, tapi, kemudian hatinya berpaling dengan mantannya yang tiba-tiba datang di antara kita. Aku tidak menyamakan kamu dengannya, tapi, aku tetap harus berhati-hati dalam memilih pasangan. Aku percaya semua orang itu baik, tapi tidak semua orang memiliki karakter yang cocok dengan kita. So...itulah yang menjadi bahan pertimbangan, kuharap kamu ngerti, Ryu." "Dan pria itu adalah laki-laki yang di sana?"tebak Ryu. Tebakan yang bagus, pikir Maira. Ia mengangguk, jujur lebih baik, lagi pula memang laki-laki itu adalah Nugra."Iya, Dia." "Jujur saja, aku ingin secepatnya menikah, entahlah...gimana dengan kamu. Aku sudah berusaha mencari tapi nyatanya semua gagal,sampai detik ini aku pasrah." Ucapan Ryu terdengar serius, bahkan ekspresi pria itu juga terlihat sama dengan nada bicaranya. "Berapa usia kamu?" "Bukankah kamu yang bilang jangan jadikan usia sebagai penentu?" Ryu tersenyum tipis. Maira tertawa geli."Ah, iya juga. Sudah, kita makan dulu saja,kita akan tahu apa yang terjadi nanti, seiring berjalannya waktu." Ryu menghargai keputusan Maira saat ini. Ia tahu bangkit dari masa lalu juga bukan hal yang mudah, oleh karena itu ia tidak pernah melukai hati pasangannya saat pacaran, yang terjadi justru sebaliknya. Ia tidak mau jika di hati mantan-mantan kekasihnya ia adalah laki-laki jahat, ia akan dikenang sebagai pria bresengsek seumur hidupnya. Kemudian ia melirik ke arah Nugra yang juga tengah memperhatikannya. Sekarang ia tahu, bahwa Nugra masih berharap pada Maira. Ryu menatap Maira yang tengah lahap menyantap makan malamnya. Maira harus berhati-hati dengan pria itu. Makan malam usai, Ryu dan Maira pulang. Hujan rintik-rintik turun saat mereka sudah sampai setengah jalan, untungnya hujan deras turun setelah mereka sampai di rumah. "Ryu...bajuku basah sedikit, aku ganti dulu ya?" Ryu mengangguk."Tapi, habis ini kamu keluar lagi,kan...aku masih ingin ngobrol." Maira mengangguk, wanita itu melangkah ke kamarnya dengan riang. Setelah ini ia akan menikmati hujan. Sekitar dua menit berlalu, ada petir yang begitu keras terdengar, beriringan dengan listrik yang padam. Maira berteriak karena kaget. Ryu cepat-cepat mencari senter dan membawa lampu baterai ke kamar Maira. "Maira!" Ryu mengetuk pintu. Maira membuka pintu kamarnya. Ia masih mengenakan tanktop dan celana pendek saja."Ryu listriknya mati?" "Iya. Kamu sudah selesai?" Maira menatap dirinya sendiri, kemudian ia tersenyum malu. Boleh pinjam lampunya?" Ryu menyerahkan lampu."Aku tunggu di sini." Maira tidak menutup pintu kamar karena merasa seram gelap-gelapan seperti ini, ia hanya memakai sweater. Tidak apalah jika ia memakai celana pendek, tidak terlalu pendek juga, pikirnya."Sudah selesai." "Ya sudah, kita bicara di gazebo saja." "Jangan, terlalu dingin, bukannya hujannya deras banget ya!"tolak Maira. Ia sudah terlanjur kedinginan kena gerimis dan angin kencang di perjalanan. "Ya sudah kamu aja yang nentuin." Ryu mengalah. Maira kembali membuka pintu kamar, lalu masuk. Ia meletakkan lampu di lantai, kemudian membuka jendela lebar-lebar. Ia tidak takut jika ada orang lain di sini."Ayo masuk,"katanya pada Ryu yang masih berdiri di depan pintu. "Nggak apa-apa?"Ryu melangkah masuk dan menutup pintu. Maira menggeleng. Ia duduk di karpet bulu di lantai, menurunkan bantal- bantal. Ryu duduk di sebelah wanita itu. "Kamu suka lihat hujan?" "Ya!" "Katanya hujan itu identik dengan kenangan." Maira terkekeh."Tapi, saat hujan aku lebih memilih untuk nggak memikirkan hal berbau kenangan. Nanti susah move on, di negara kita kan sering hujan." Ryu tersenyum, kemudian mengusap puncak kepala Maira."Kamu tidak takut bawa aku ke kamar seperti ini? Aku ini laki-laku loh, Mai!" Maira tersenyum, ia ingat kalau dulu pernah satu kamar dengan Nugra, mereka hampir saja melakukan hubungan intim yang tentu saja akan membuatnya tidak lagi perawan. Tapi, untungnya itu tidak terjadi karena sekarang ternyata mereka tidak jadi menikah. Ia memang tidak pernah merasa takut jika berada satu ruangan dengan pria seperti ini, maksudnya tentu saja dengan pria-pria tertentu yang menurutnya ia akan aman dan baik-baik saja. Maira menatap Ryu, mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban. Ia tidak tahu, begitu katanya menanggapi pertanyaan Ryu. "Kamu tahu salah satu alasan kenapa aku ingin menikah?" Maira menggeleng. "Menikah memang butuh komitmen,menikah itu seumur hidup, bukan main-main..." Tiba-tiba saja Ryu menghentikan ucapannya padahal Maira sedang serius sekali menunggu kelanjutannya. "Oke terus...." Telinga dan wajah Ryu merah seketika, tapi tentunya itu tidak dapat dilihat oleh Maira dalam suasana remang-remang."Ah, sudah...lupakan saja." Tadinya ia ingin mengatakan kalau ia menikah karena ingin sudah ingin memiliki keturunan, tapi, rasanya terlalu cepat membicarakan ini pada wanita yang belum tentu akan setuju menikah dengannya. Maira mengubah posisi duduknya menghadap ke Ryu."Aku bukan tidak ingin menikah, Ryu, tapi aku hanya butuh waktu untuk meyakinkan diriku, kalau aku tidak siap, bagaimana aku bisa bahagia nantinya?" "Jika ditanya, tidak ada yang pernah siap untuk menikah, Mai,"balas Ryu lagi dan ia kembali menggantung ucapannya. Maira pikir kalimat Ryu akan berlanjut, ternyata tidak. Pria itu bicara sampai di sana saja."Jadi,intinya adalah...kamu ingin menikah denganku?" "Iya,"balas Ryu dengan wajah yang kembali merah. "Meskipun kita baru kenal hari ini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN