Ryu menggeleng."Aku sering lihat kamu kok,dulu waktu masih kuliah."
"Oh ya?" Maira cukup kaget dengan hal itu.
Ryu tersenyum malu-malu, sekarang ketahuan kalau dulu ia sering memperhatikan Maira dari kejauhan."Iya, aku kenal kamu dari jaman kuliah. Tapi, cuma sekadar tahu kalau kamu anaknya Om Hermawan. Kalau ada acara juga aku sering datang ,tapi karena dulu ya posisi Papaku nggak begitu penting, kami hanya berada di barisan belakang. Bukan orang-orang yang dilirik." Ryu tertawa.
Maira tersenyum geli, kemudian ia membuang pandangannya ke arah jendela. Ia melangkah ke sana merasakan embusan udara yang dingin sampai-sampai sweaternya terhempas angin hingga turun dari pundaknya. Tubuh Ryu membatu menatap keindahan itu, ia bisa merasakan miliknya mengeras perlahan.
"Maira!" Ryu melangkah cepat ke arah wanita itu dan merapikan sweaternya. "Sorry."
"Oh ya, baru mau kurapikan. Maaf,"kata Maira sambil kembali ke tempatnya semula.
Ryu mengatur miliknya di tempat yang nyaman agar tidak sakit saat duduk. Semoga saja akan segera mengecil kembali. Maira terkekeh saat Ryu memegangi miliknya. Keduanya terdiam beberapa saat karena suara mereka akhirnya dikalahkan oleh petir yang bersahutan.
"Jendelanya ditutup saja, Mai!" Ryu menutup jendela dan tirainya.
Pikiran Maira melayang pada Nugra dan Yuki, hujan-hujan begini apa yang dilakukan kedua manusia itu. Beberapa detik kemudian ia merutuk dirinya karena sudah mengingat Nugra. Ia kembali fokus pada Ryu.
"Mai, kita keluar aja dari sini ya, cari tempat lain,"kata Ryu. Suasana di sini begitu membuatnya merinding. Pikirannya dengan mudah berfantasi saat menatap lekukan tubuh Maira. Tapi, pindah tempat juga tidak akan mengubah isi pikirannya. Tapi, tempat ini begitu mendukung untuk menyentuh wanita itu.
"Kita mau kemana? Serem kan? Lorong-lorongnya gelap,"tolak Maira.
"Iya sih, kamu takut?"
"Lumayan,"balas Maira.
"Terus aku nggak apa-apa di sini aja?" Ryu kembali memastikan, sebenarnya sebuah kode kalau nanti mereka melakukan apa-apa itu adalah tanggung jawab berdua.
"Iya."
"Tapi, Mai, perlu kuingatkan kalau kita ini lawan jenis dan aku laki-laki normal."
Maira tertawa."Aku juga wanita normal kok."
Baiklah, sepertinya Maira belum mengerti kemana arah pembicaraan Ryu. Akhirnya Ryu jadi gemas sendiri. Ia berjalan ke hadapan Maira, meraih tengkuk wanita itu dan menariknya. Mata Maira terbelalak saat Ryu berhasil mencium bibirnya. Ciuman beberapa detik itu cukup membuat wajah dan telinga Maira memanas.
"Sekarang kamu paham maksudku kan?"tanya Ryu setelah melepaskan ciumannya.
Maira mengangguk dengan wajah merah. Ia menelan ludahnya sambil mengumpat di dalam hati karena sialnya ia menyukai ciuman Ryu barusan."Oh oke..."
Keduanya malah berdiri di sana, masing-masing sibuk mengurus wajah dan telinganya yang terasa panas.
"Hmm. Ya udah kita keluar saja,"kata Maira.
"Oke." Ryu meraih lampu yang diletakkan di lantai. "Ayo."
Maira mengikuti Ryu di belakang, tiba-tiba saja langkah Ryu terhenti mendadak. Maira yang tidak melihat Ryu berhenti pun akhirnya menabrak Ryu. Ryu mematung saat benda kenyal milik Maira menyentuh punggungnya. Pikirannya kembali berfantasi.
“Mai, kita kembali ke kamar sajalah,"katanya memutuskan.
"Kenapa?"
"Kalau kita di ruang tamu atau ruang tengah, lampu sekecil ini nggak akan bisa ngasih penerangan yang maksimal. Yang ada kamu malah makin takut,"kata Ryu.
"Ya udah, terus gimana...kamu juga nggak mau kalau di kamar. Atau kita di lorong ini aja?" Maira terkekeh.
"Sempit!"balas Ryu geli. Ya sudah kembali ke kamar kamu saja, lampunya aku tinggal, aku balik ke kamarku.
"Nanti kamu gelap!"
Ryu meletakkan lampu di tengah-tengah lorong. Ia membuka pintu kamarnya dan kamar Maira yang berhadapan."Kalau begini adil kan?" Ryu menggeser karpet Maira ke depan pintu."Kamu baring di sini sambil nunggu lampu nyala. Terus aku di sini juga."
Akhirnya mereka duduk berseberangan. Tapi, ternyata itu tak membuat milik Ryu mengecil. Pikirannya tetap berfantasi. Sekarang ia merutuk semua orang yang membiarkan ia dan Maira berdua saja di sini. Perlahan Ryu mengantuk, tidur di depan pintu beralaskan karpet demi menemani Maira. Tapi, sayangnya Maira tidak bisa tidur, seperti cemas dan takut karena ini bukanlah rumahnya.
"Ryu!"panggil Maira. Pria itu tidak menjawab. Akhirnya Maira menyeberang, ia masuk ke kamar Ryu dan berbaring di sebelah pria itu. Tiba-tiba saja Ryu memeluknya dalam keadaan tidur.
Maira berusaha melepaskan pelukan itu, tapi kemudian niatnya diurungkan saat melihat wajah Ryu dari dekat. Begitu halus dan menyejukkan. Tatapannya turun ke bawah, bibir tipis yang menciumnya tadi. Dengan iseng, Maira mengecup bibir Ryu, sudah terlanjur penasaran dengan rasanya karena insiden tadi. Ternyata satu kecupan tidak cukup, awalnya ia menempelkan bibirnya sebentar, kelamaan ia menempelkannya cukup lama hingga Ryu membalas ciumannya.
Maira menatap mata Ryu yang masih terpejam, Ryu masih belum sadar, mungkin saja Ryu menganggap ini adalah mimpi. Maira masih melanjutkan ciuman itu karena ia juga suka bagaimana cara Ryu berciuman. Lalu, perlahan ia merasakan satu tangan Ryu menelusup ke dalam tanktop dan meremas dadanya.
"Maira!" Ryu menutup tubuh Maira dengan cepat,"sudah...sudah. kita tidur saja,"kata Ryu cepat, ia takut khilaf.
Maira tersenyum, kemudian memakai pakaiannya kembali. "Beneran?"
"Iya. Kamu tidur di atas saja, aku tidur di bawah." Wajah Ryu merah karena sempat melihat bentuk tubuh Maira meski hanya dengan sedikit penerangan.
Maira naik ke atas tempat tidur, merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit."Ryu!"
"Iya,"jawab Ryu dengan tegang, takut tiba-tiba Maira berbuat aneh-aneh lagi.
"Kamu pernah ngebayangin nggak punya anak?"
"Ya itu yang lagi aku pengen sih saat ini, punya anak. Kayaknya lucu." Di bayangan Ryu, ia akan mengheningkan seorang bayi lucu yang pastinya akan mirip dengan dirinya.
"Kamu tahu tidak kalau mengurus anak itu tidak mudah?"
"Ya tahu, tapi, bukankah semua itu akan tetap dilewati oleh semua orangtua ya? Masa tidak mau punya anak,"balas Ryu.
Maira membalikkan posisinya menjadi tengkurap dan kini menatap Ryu."Kamu nggak ngerasa ngeri?"
"Memangnya kenapa harus ngeri?"
"Punya anak, terus nanti seluruh waktu kita tersita untuk mereka."
Ryu tertawa geli."Kamu punya keponakan tidak?"
Maira menggeleng."Nggak, aku anak tunggal."
"Anak-anak dari sepupu kamu?"
Maira kembali menggeleng,entahlah kenapa ia tidak punya sepupu selain Danan. Hermawan dua bersaudara, sementara Odelie juga merupakan anak tunggal."Kakakku juga belum menikah, jadi, nggak punya keponakan."
"Anak kecil itu lucu dan menyenangkan. Makanya aku pengen punya sendiri, daripada nguyel-nguyel anak orang,"balas Ryu.
"Memangnya kamu udah mampu membiayai seorang istri dan juga anak?"tanya Maira lagi, sepertinya ini sesi wawancara terhadap sang calon suami.
"Harus siap, cepat atau lambat masa itu akan tiba juga. Makanya...yuk nikah dan bikin anak,"kata Ryu dengan spontan.
Maira tertawa keras, lucu sekali ucapan Ryu barusan. Ryu terlihat benar-benar ingin menikah, alasannya begitu simple, ingin memiliki keturunan."Segampang itu ya ngomongnya?"