"Ya nggak segampang itu juga, Maira, kan ngomong juga butuh nyali. Memang kamu pikir semua laki-laki mulutnya mengucapkan cinta?"
"Oh ya...berarti nyali laki-laki itu besar ya, buktinya kebanyakan mereka mudah ngucapkan kata-kata manis."
"Siapa laki-laki yang kamu maksud?" Ryu menatap Maira serius."Aku begitu?"
Maira menggeleng,"belum tahu kan...baru kenal."
"Kamu tahu kan satu-satunya bukti keseriusan laki-laki itu apa?"
Maira terdiam, tidak ada bukti pasti bagaimana pria itu serius padanya. Jika dikatakan bukti keseriusan laki-laki pada seorang wanita adalah menikah, bagaimana dengan Nugra yang juga akan menikahinya tapi tetap memiliki hubungan dengan Yuki. Memang semua itu sulit dipercaya.
"Aku nggak tahu." Maira menggeleng."Aku nggak percaya juga soal dengan menikahi ada satu-satunya bukti keseriusan seorang laki-laki. Nugra tetap ingin menikahiku meski ia masih cinta dengan mantan kekasihnya. Akhirnya aku yang mengalah daripada menikah dengan laki-laki yang belum bisa move on."
Ryu menarik napas panjang."Lalu menurut kamu apa, sayang!"kata Ryu saking kesalnya.
Maira melirik Ryu yang memanggilnya sayang, entah pria itu sadar atau tidak. Tapi, sekarang tatapan Ryu hanya lurus ke depan. Maira menarik napas panjang, belum bisa memberi keputusan apa pun pada Ryu yang sepertinya berharap sekali bisa mengambil hatinya.
"Aku hanya minta kesempatan, Maira, untuk mengambil hati kamu!"kata Ryu akhirnya."Sudah lama aku menunggu saat ini tiba dan sekarang ada kesempatan, izinkan aku dekat sama kamu, tidak perlu pacaran, aku hanya butuh ruang untuk masuk ke hati kamu."
Maira senyum-senyum sendiri mendengar ucapan Ryu."Manis banget kata-katanya."
"Kamu ini, aku nggak berusaha menggombal tahu. Aku beneran. Bila perlu aku nikahin kamu besok, supaya kamu lebih yakin lagi." Ryu masih belum menyerah untuk memohon pada Maira, kesempatannya hanya malam ini, besok mereka sudah akan berpisah,dan jujur saja itu menyakitkan bagi Ryu.
Maira tersenyum, kemudian ia turun dari tempat tidur. Duduk di hadapan Ryu."Baik!"
"Baik?" Ryu masih bingung dengan jawaban Maira.
"Aku beri kesempatan itu!"jawab Maira serius.
Ryu menghela napas lega."Terima kasih, Maira."
Maira mengangguk dengan lembut,"tetaplah pakai cara yang baik untuk mencoba memasuki celah hatiku, Ryu...jangan ada dusta atau apa pun yang membuat semua terluka."
"Iya. Aku akan berusaha." Andai saat ini Ryu sedang sendiri, mungkin ia sudah berteriak kesenangan. Ia akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
**
Pagi-pagi sekali Ryu dibangunkan oleh suara petir. Semalam hujan sempat berhenti sekitar pukul dua belas malam dan di sanalah pembicaraannya dengan Maira berhenti dan memutuskan untuk tidur. Sesuai dengan kesepakatan, Maira tidur di atas kasur dan ia di karpet. Ia tidak ingin memanfaatkan situasi meski Maira sendiri tampaknya tidak keberatan jika ia sentuh. Dan pagi ini, pukul tujuh, listrik sudah menyala, tapi ternyata hujan kembali turun disertai petir.
Ryu bangun, melihat Maira yang masih tidur.
"Maira!"panggilnya.
Maira menggeliat, kemudian menyadari ada cahaya menyilaukan dari lampu kamar yang belum dimatikan."Eh!" Ia pun sadar kalau sedang di kamar Ryu.
"Sudah pagi, bangun yuk, mandi terus...kita bikin sarapan sama-sama, soalnya aku nggak punya ART,"kata Ryu sambil mengembalikan bantal ke atas tempat tidur dan merapikan karpet.
Maira mengangguk."Ya udah, aku balik ke kamarku dulu ya."
"Oke." Ryu bersiap-siap.
Setengah jam kemudian, keduanya sudah berada di dapur. Berdiri dengan bingung di depan kulkas. Ada banyak bahan makanan tetapi merek bingung mau masak apa. Maira sendiri juga tidak ahli memasak karena di rumah ia punya banyak asisten rumah tangga.
"Aku nggak bisa masak,"kata Maira jujur. Biasanya wanita akan merasa malu mengakui hal tersebut di depan pria atau pasangannya, tapi tidak untuk Maira.
"Aku juga nggak bisa, sih, eh tapi ada mi nih. Kita masak mi aja deh,"kata Ryu mengambil dua bungkus mi goreng instan.
"Oh kalau ini aku bisa." Maira terkekeh. Ia mengambil pemanas air, menuangkan air dan menjerangnya di atas kompor.
Ryu mengambil dua butir telur kemudian menggorengnya. Maira mengambil dua piring kosong dan menuangkan bumbu-bumbunya sambil menunggu mi matang. Mereka terlihat sangat sibuk padahal hanya memasak mi instan goreng.
Ryu sudah selesai menceplok telur, kemudian membantu Maira mengangkat mi yang sudah direbus dan menuangkannya ke piring. Maira mengaduknya sampai rata. Setelah selesai keduanya tertawa bersamaan, seolah-olah sangat puas dengan kerja keras mereka pagi ini.
"Saatnya makan!"
Mereka berdua duduk di lantai depan televisi, menikmati sepiring mi goreng dan telur ceplok di atasnya. Disponsori oleh film kartun yang tayang pada Minggu pagi ini.
Makanan mereka sudah setengahnya habis, di saat itulah semua anggota keluarga datang dengan wajah tegang. Maira sampai ngeri melihat ekspresi Papanya yang terlihat sedang menyimpan masalah besar.
"hai, Pa..."
Hermawan tersenyum tipis."Iya, hai...ya udah lanjutkan sarapannya ya. Kami masih harus berdiskusi,"katanya dengan tersenyum.
"Iya, Pa." Maira masih bingung, sebenarnya apa yang terjadi. Semoga semua baik-baik saja, pikirnya.
Danan pun pergi ke kamarnya dengan terburu-buru, lalu ia kembali dengan membawa tas dan barang-barangnya.
"Kak, mau kemana?"
"Kakak harus pulang sekarang, ada yang gawat banget,"katanya.
"Ada apa sih, Kak? Kita pulang sekarang nih?"
Danan menggeleng."Nggak, cuma kakak yang pulang. Ya udah dulu ya." Danan berlalu begitu saja.
"Semua pada kenapa ya?" Maira jadi hilang selera.
"Ya udah jangan dipikirkan, kamu makan aja dulu. Nanti kalau sudah tenang, baru kamu tanya lagi,"kata Ryu.
Maira mengangguk,kemudian melanjutkan makannya sampai habis. Ponselnya kini berbunyi berkali-kali, ia melirik ada direct message dari Nugra, Maira memutuskan untuk mengabaikannya. Kemudian pesan masuk dari w******p yang akhirnya Maira buka, mungkin saja pesan penting. Lagi-lagi, itu dari Nugra, Maira tidak menyimpan kontak pria itu lagi makanya ia tidak tahu siapa pengirimnya. Kalau saja tahu, ia tidak akan pernah membacanya. Tapi, isi pesan Nugra sedikit aneh, perasaan Maira jadi tidak enak.
Ryu melihat Maira merenung, kemudian ia mendecak. Diambilnya ponsel Maira dan menyalakan kamera.
"Mau apa, Ryu?"
Ryu mengarahkan kamera depan ke arah ia dan Maira, menekan tombol bulat di tengah-tengah beberapa kali. Ia melihat hasilnya dan kemudian menjadikan salah satunya yang terbaik sebagai foto profil w******p.
Maira mengernyitkan keningnya, lalu ia tertawa. "Untuk apa?"
"Setidaknya Nugra itu tahu kalau kamu sudah move on. Tahu tidak kenapa dia masih aja hubungin kamu?"tatap Ryu.
Maira menggeleng, yang ia tahu mereka sudah lama tidak komunikasi. Memang, sesekali Maira masih menangis bila mengingat kisah mereka yang kandas itu.
"Karena dia tahu, kamu masih memikirkannya. Kamu masih belum lupa sepenuhnya, Maira. Mulai sekarang aku di sini, kamu harus lupa!"kata Ryu.
Maira mengangguk saja, dibiarkannya Ryu mengganti foto WhatsAppnya, semoga saja cara itu berhasil membuat Nugra berhenti menghubunginya. Kemudian ia menatap sang Papa di kejauhan, tampak bicara serius sekali. Mungkin mereka sedang dalam masalah yang begitu besar.