6. Pisau Berdarah

1548 Kata
"Gue merasa ini semacam teror." • • • "Bagus, gue saranin lo jangan sampai suka sama dia," saran Daniel sembari mengunyah makanan dalam mulutnya. Adnan mengerutkan dahi. "Kenapa?" "Yang pertama, itu cewek gak gampang buat digebet. Selain dingin, dia juga misterius. Kalau jalan aja, matanya selalu lurus ke depan, gak pernah tengok kanan-kiri." Sebetulnya Adnan bertanya pada Daniel, namun lagi-lagi pertanyaan tentang Nasya hanya mampu terjawab oleh Yudan. Membuat Adnan langsung menolehkan kepalanya pada Yudan. "Yang kedua, bokapnya gak pernah suka kalau ada yang deket-deket sama Nasya. Jadi, sebelum lo suka sama Nasya, lo mesti hadapin dulu, tuh, Pak Thomas Lawden pemilik Lawden Hall! Dan yang terakhir, lo tau kan ini asrama cowok? Udah gitu, di sini cuma ada satu cewek. Jadi, kalau lo suka sama Nasya, saingan lo bakalan banyak dan berat-berat." "Sebanyak apa, sih, yang suka sama dia?" tanya Adnan lagi. Mendengar jawaban panjang dari Yudan yang seolah tahu betul tentang Nasya, justru malah membuat Adnan merasa tertantang juga ingin tahu lebih dan lebih lagi tentang Nasya. Tiba-tiba Lukas melepas sendoknya. Merangkul bahu Adnan dengan kasar. "Tuh, lo liat cowok yang dandanannya rapi itu?" Lukas mengarahkan bahu Adnan untuk melihat apa yang dia lihat. Adnan mengangguk. "Iya," "Itu namanya Raka Aditama. Dia senior, kelas sebelas. Paling teladan, paling pinter, paling disayang guru-guru, pokoknya paling-paling, deh. Dia aja suka sama Nasya dari kelas sepuluh, katanya. Tapi gak pernah sekalipun berhasil dapetin perhatian Nasya. Apalagi lo?" Sejenak Lukas menyorot Adnan dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Muka lo gak ganteng-ganteng amat. Otak lo juga pasti standar. Kelakuan, paling juga gak beda jauh sama kita-kita. Soalnya kalau lo anak baik-baik, gak mungkin, tuh, sekamar sama kita." Mendengar penilaian Lukas tentangnya, seketika gigi Adnan bergemeletuk. Matanya menyorot tajam dua mata bulat milik Lukas. "Udah pernah ngerasain tampolan gue belom?" tanya Adnan sarkastik. "Gue cuma bicara jujur, man! What's wrong with that?" tanggap Lukas, santai―dengan gaya bicaranya yang campur-campur Inggris―seraya melepaskan rangkulannya, kemudian melanjutkan makannya yang sempat tertunda karena Adnan. "Sebenernya menurut gue bukan itu yang jadi masalah." Ethan yang sedari tadi berusaha untuk tidak mencampuri obrolan teman-temannya, akhirnya ikut terpancing juga. Si normal yang satu itu tiba-tiba menceletuk sambil terus menikmati makanannya. "Terus apa masalahnya?" Adnan kian penasaran. "Ntar juga lo tau sendiri," sahut Ethan cuek. Pagi itu, saat Adnan, Lukas, Daniel, Ethan, dan Yudan sedang berjalan dengan santainya menuju ruang kelas, seketika langkah mereka terhenti saat melihat teman-teman sekelasnya berhamburan keluar. Hampir semua dari mereka menutup hidung. Bahkan ada pula yang sekuat tenaga menahan muntah. Padahal kalau menurut jarum jam, seharusnya jam segini kegiatan belajar sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu, karena sebenarnya mereka itu datang terlambat. "Ada apa? Kenapa pada di luar?" Ethan bertanya pada Bagas, ketua kelas X – Delapan, yang sedang berupaya menenangkan anak-anak yang lain. "Itu, di dalem ada darah. Bau amis banget." "Darah?" Adnan bertanya dengan kerenyitan pada dahinya. "Iya, darah. Ada pisaunya juga." Jawaban Bagas seketika membuat kelima-limanya saling melempar tatap, menunjukkan raut wajah yang penuh tanya. Karena tentunya hal seperti ini tidaklah wajar. "Terus Bu Hanny ke mana? Dia gak ngajar?" Kini giliran Daniel yang bertanya. "Bu Hanny lagi lapor ke Kepala Asrama." Tadinya, mereka berlima berniat untuk nekat masuk kelas, hanya untuk memastikan kebenarannya. Namun baru juga sampai di depan pintu kelas, tiba-tiba Yudan langsung berlari ke toilet. Bau anyir yang menyengat hidung itu seketika mampu mengocok isi perutnya sampai ia merasa mual. Sementara teman-temannya yang lain, dengan kompak mereka langsung menutup hidung masing-masing. Melangkah jauh-jauh dari ruangan yang pintunya terbuka lebar itu. Kecuali satu. Adnan. Cuma Adnan yang terus melanjutkan langkahnya memasuki ruang kelas. Bau itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa pada hidungnya, lantaran kalah dengan rasa penasarannya yang jauh lebih besar. Sejak kecil Adnan ini memang memiliki rasa penasaran yang jauh lebih tinggi dibanding manusia pada umumnya. Dia selalu saja ingin tahu sesuatu-sesuatu tertentu yang menurutnya menarik untuk dicari tahu. "Nan, jangan, Nan. Ntar elo yang disalahin!" Lukas mencoba untuk mengingatkan. Meskipun diabaikan oleh Adnan. Cowok keras kepala itu sama sekali tidak menggubris apa yang Lukas katakan. Dia tetap berjalan menghampiri meja yang tertancap pisau dengan lumuran darah tersebut. Bahkan menyentuh darah itu dengan jarinya. Kemudian beberapa saat ia dekatkan pada lubang hidungnya. Mencoba meneliti jenis darah tersebut melalui aromanya. Setelah itu barulah Adnan membuat kesimpulan, kalau ini bukan darah manusia, ini darah hewan. Adnan tahu betul. Darah hewan memang jauh lebih amis ketimbang darah manusia. Akan tetapi, yang mengganggu pikiran Adnan, apa maksud dari semua ini? Sudah pasti ada seseorang yang memang sengaja melakukan ini. "Adnan, kamu keluar. Biar ini diselidiki lebih dulu." Suara seorang wanita yang umurnya berkisar 50 tahunan itu, seketika membuat Adnan menoleh. Dia mendapati Bu Hanny sudah berdiri beberapa meter dari tempatnya berdiri, didampingi oleh dua orang laki-laki. Adnan mengangguk singkat, lalu berjalan keluar, menuruti apa yang diperintahkan oleh Bu Hanny. Di luar, keempat teman sekamarnya langsung mendekatinya. Tidak terkecuali Yudan yang baru saja muntah banyak di toilet. "Gimana, Nan? Kok, bisa ada darah?" "Beneran di dalem ada darah? Ada pisaunya juga?" "Itu darah beneran atau bikinan?" Lukas, Daniel, dan Yudan langsung saja menyerang Adnan dengan berbagai macam pertanyaan. Sampai Adnan bingung harus menjawab yang mana dulu. Hanya Ethan yang memutuskan untuk tidak ingin tahu tentang itu. Bertolak belakang dengan Adnan, Ethan justru tipikal orang yang masa bodo. Tidak pernah ingin tahu akan hal apapun. Termasuk hal semacam ini. "Gue merasa ini semacam teror." "Teror?" Lukas menggaruk kepalanya, lantaran tidak mampu mencerna makna yang tersirat dalam ucapan Adnan. "Iya, teror. Menurut gue ada orang yang emang sengaja menancapkan pisau penuh darah itu di meja siswa. Dan di dalem itu bukan darah manusia, tapi darah hewan." "Lo tau dari mana?" tanya Daniel. "Gue bisa bedain. Darah hewan itu lebih amis dibanding darah manusia." "Maksud gue, lo tau dari mana kalau emang ada orang yang sengaja ngelakuin itu?" Daniel meralat pertanyaannya. "Sekarang logikanya, masa iya itu pisau bisa bergerak sendiri menancapkan diri di atas meja?" Mendapat pertanyaan retoris dari Adnan, seketika membuat Daniel langsung memutar otak. Ternyata apa yang dibilang Adnan ini ada benarnya juga. Bisa dibilang ini adalah teror. "Tapi tujuan dia ngelakuin ini semua buat apa?" tanyanya lagi. "Nah, itu yang gue pertanyakan." "Udahlah, ngapain amat dipikirin," ucap Lukas tidak mau ambil pusing. Dia memang memiliki otak yang mudah pusing. Percayalah, mencari jawaban dari perkalian 5 x 5 saja sudah membuat otaknya pusing setengah hidup! "Tau, bukan urusan kita ini," tambah Yudan. "Yaudah, gue mau ke toilet dulu, cuci tangan. Titip tas." Adnan memberikan ranselnya pada Lukas, setelah itu sengaja menggoda Yudan dengan menunjukkan jarinya yang masih menempel noda merah. "Najis! Jauh-jauh lo dari gue!" Dengan spontan Yudan menjepit kedua lubang hidungnya. Mendorong bahu Adnan dengan kesal. Sementara Adnan malah terpingkal sangat geli melihatnya. Adnan yang baru saja kembali dari toilet, alih-alih berhenti mengambil langkah, saat telinganya samar-samar mendengar dentingan piano yang sangat mengindahkan pendengarannya. Alunan musik itu seketika membuat ia urung untuk kembali lagi ke kelas, dan langkah kakinya justru seolah berjalan dengan tanpa perintah mengikuti sumber suara tersebut. Derap langkahnya berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu terbuka yang di dalamnya hanya terdapat sebuah piano besar yang sedang dimainkan oleh seseorang berambut panjang berwarna kecokelatan. Tanpa perlu melihat wajahnya, dari samping pun Adnan sudah mampu mengenali, itu Nasya. Beberapa saat Adnan diam berdiri sambil bersandar di pintu dengan mata tertutup. Menikmati irama lembut yang dihasilkan oleh tiap-tiap tuts pada piano yang Nasya mainkan. Tidak tau mengapa, dentingan demi dentingannya seakan mampu menghipnotis sekaligus menenangkan pikiran Adnan. Ah, rasanya sudah lama sekali Adnan tidak mendengarkan irama seperti ini. Terakhir dia dengar ketika dirinya masih kecil. Karena bundanya, dulu suka sekali memainkan piano untuknya dan Raihan. Tapi entah apa yang terjadi, tiba-tiba bundanya berhenti bermain piano tanpa ada alasan yang jelas. Ketika Adnan bertanya, dia selalu saja mengalihkan topik. Sampai Adnan bosan sendiri menanyakannya, sehingga memutuskan untuk tidak mau tahu. Kedua mata Adnan terbuka ketika alunan piano tersebut tahu-tahu saja berhenti. Kepalanya menoleh ke arah pianis yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya dengan sorotan mata yang tidak mampu terbaca olehnya. Adnan berjalan mendekat memberi senyuman yang terbaik yang dia punya. Karena dia tidak ingin gadis itu takut dan malah memilih untuk menjauh lagi darinya, seperti kejadian di atas rooftop waktu lalu. "Lo suka main piano?" Dengan kaku, Nasya mengangguk samar. Wajahnya kembali menghadap ke depan ketika Adnan tiba-tiba duduk di sampingnya dengan bahu yang benar-benar menghadapnya. "Bunda gue dulu juga suka main piano," ucap Adnan sebisa mungkin melembutkan nada suaranya. "Sekarang masih suka?" Adnan tersenyum tipis, ini pertama kalinya dia mendengar Nasya bicara. Dan ternyata suaranya menenangkan. "Sekarang dia udah sama Tuhan." Seketika Nasya menoleh ke arah Adnan, memastikan bahwa yang cowok itu berkata serius. Tidak sedang bercanda. "Maaf." Nasya menyungut pelan. "Gak apa-apa." Adnan menggeleng sembari tersenyum pada Nasya agar gadis itu tidak perlu merasa bersalah. Namun senyum Adnan mendadak pudar dan berubah menjadi bingung ketika ia menyadari memar-memar pada wajah dan tangan Nasya terlihat dengan sangat jelas dari jarak yang cukup dekat ini. Tentu saja hal tersebut membuat Adnan bingung. Pasalnya waktu makan siang kemarin, Adnan sudah tidak lagi melihat semua memar pada wajah juga tangan gadis yang berada hadapannya sekarang. === To be continue... A/n: di sini akan ada banyak misteri. tapi romance baper yang jadi ciri khas ceritaku gak akan dihilangkan, wkwk. aku akan up setelah komentarnya mencapai 300 yaa:) boleh spam sebanyak2nyaa Bonus foto Nasya 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN