Namanya Aranasya Lawden, umur enam belas tahun, lahir di Jakarta, besar di Amerika, anak dari Thomas Lawden yang punya Lawden Hall. Dingin, pendiam, misterius, gak pernah ngomong.
• • •
Kriiingg
Seluruh murid berhamburan saling dulu-duluan tiba di ruang makan. Tiap pukul 12.00, semua penghuni asrama memang selalu diwajibkan untuk ikut makan bersama di ruang makan Lawden Hall yang memiliki bangunan tersendiri. Semua berkumpul, tanpa terkecuali. Mau itu murid, guru, petinggi asrama, pengelola asrama (yang kalau di sekolah umum biasa disebut Kepala Sekolah) ataupun pemilik asrama sekalipun. Hal tersebut sudah tercatat dalam peraturan Lawden Hall, sekaligus disahkan oleh pemilik asrama, yakni; Thomas Lawden. Sehingga tidak ada satu pun yang berani melanggarnya.
Di saat orang-orang bergegas dengan semangat, meninggalkan sejenak kegiatannya demi sepiring makan siang buatan koki Lawden Hall yang selalu menggugah selera itu, hanya Adnan seorang yang nampaknya tidak butuh makan sama sekali di dalam kamarnya. Cowok itu malah sibuk dengan pikirannya yang tidak pernah bisa berhenti memikirkan sosok gadis yang baru ia temui tadi. Entah bagaimana bisa, Adnan merasa di balik sikap tak acuh gadis tersebut, seperti menyimpan banyak luka yang tidak diketahui oleh siapapun.
Bermenit-menit Adnan menghabiskan waktunya hanya dengan berjalan mondar-mandir sembari mengusap dagunya. Sementara otaknya terus berputar tiada henti memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa mengetahui semua tentang gadis itu.
Ting
Tiba-tiba pintu kamarnya bergeser. Menampakkan sesosok wanita berbadan model. Ya, siapa lagi kalau bukan Madam Loly. Madam Loly ini tugasnya memang keliling-liling asrama, memonitori para murid asrama. Mendata sekaligus menghukum siapa saja siswa yang melanggar peraturan asrama.
"Kenapa kamu masih di sini? Segera ke ruang makan!" titah Madam Loly.
"Saya gak laper, Madam. Ntar kalau saya udah laper, saya bisa makan sendiri," tolak Adnan dengan ucapan yang seolah menggampangi.
"Segera, atau kamu ingin membersihkan toilet juga seperti teman-temanmu tadi?" ancam Madam Loly dengan sangat enteng.
"Ck!" Tanpa perlawanan, terpaksa Adnan menurut. Daripada ia harus bernasib sama seperti empat teman sekamarnya itu. Lagi pula apa salahnya untuk makan bersama? Itu lebih baik ketimbang ia harus membersihkan seluruh toilet yang ada dalam salah satu gedung Lawden Hall.
Ratusan penghuni asrama telah berkumpul di ruang makan Lawden Hall. Ada banyak meja besar di sana. Beberapa disiapkan untuk para petinggi dan pemilik asrama beserta karyawan asrama. Sisanya disediakan untuk para murid asrama. Suara gaduh memenuhi seisi ruangan dari segala penjuru. Sedikit banyak dari mereka mengeluh kelaparan dan mengutuk siapapun yang belum datang.
Karena meskipun sudah menduduki kursi masing-masing dengan hidangan lezat buatan koki Lawden Hall di hadapannya, tetap saja tidak ada satu pun yang diperbolehkan untuk menyentuh makanan masing-masing sebelum semua kursi terisi penuh. Alhasil, mereka harus menunggu beberapa orang yang belum datang, barulah makan siang bisa dimulai secara bersama-sama.
Dengan pikiran yang melayang-layang entah ke mana, Adnan berjalan memasuki ruang makan. Lalu duduk di salah satu kursi kosong yang ia lihat pertama kali, tanpa memedulikan tatapan-tatapan aneh yang mengarah padanya. Dia masih sibuk dengan suara-suara dalam benaknya. Ah, bagaimana bisa pertemuan yang cuma beberapa menit itu berhasil mengunci otaknya seakan ia tidak boleh memikirkan apapun selain itu?
"Kak, maaf, di sini meja khusus SMP."
Lamunannya ambyar dalam sedetik saat seorang anak laki-laki yang dua tahun lebih muda darinya berbicara dengan nada cukup keras. Membuat ia langsung tersadar akan orang-orang di sekelilingnya yang mengenakan dasi dan celana yang warnanya berbeda dengan yang ia kenakan. Celana dan dasi yang mereka kenakan berwarna biru dongker dengan motif garis-garis hitam, sementara yang ia pakai berwarna hitam, dengan motif garis-garis merah.
"Kalau SMA, mejanya di sebelah sana, Kak." Anak itu menunjuk ke arah lima meja besar yang berada di dekat meja makan para petinggi asrama.
Setelah melihat di sana banyak yang mengenakan seragam yang sama dengannya, juga melihat lambaian tangan Lukas yang mengarah padanya, barulah Adnan bangkit dari posisi duduknya. Kemudian berjalan dengan gaya sok cuek, padahal diam-diam dia merutuki dirinya sendiri lantaran malu.
"Lo pada bukannya lagi dihukum? Kok ada di sini?" tanya Adnan seraya duduk di kursi kosong yang tepat berada di sebelah kiri Lukas. Karena hanya itu satu-satunya kursi kosong yang bisa ia duduki.
"Dihukum, sih, dihukum, tapi kita juga manusia, kali. Butuh makan!" oceh Yudan.
"Bisa dituntut Lawden Hall kalau gak ngasih kita makan," tambah Ethan dengan nada bicaranya yang selalu tenang.
Adnan memanggutkan kepalanya, mengerti. Ternyata sekolah ini tidak sekejam yang ada dalam bayangannya. Ya, setidaknya masih terbilang manusiawi.
"s**t! Cantik bangettt!!!" Tiba-tiba Lukas berseru heboh sambil menepuk-nepuk pundak Daniel yang duduk di sebelahnya kanannya, dengan refleks.
"Sakit, t***l!" bentak Daniel, emosi karena bahunya mulai nyeri. Tangannya dengan cepat menghempaskan tangan Lukas sejauh mungkin. Hal ini hampir saja membuat sikap tempramental Daniel kambuh.
"Ah, bidadari Lawden akhirnya dateng juga!" seru Yudan sembari tersenyum tenang, melihat seorang gadis yang paling ia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga.
Dengan cepat kepala Adnan menoleh melihat apa yang teman-temannya lihat. Dari arah pintu masuk, ia mendapati seorang pria berjas licin sedang membalas sapaan demi sapaan dari para guru dan petinggi asrama. Di belakangnya, Adnan juga melihat seorang gadis yang ia ingat betul wajahnya. Gadis yang ia temui di rooftop sedang mencoba untuk bunuh diri tadi. Tidak salah lagi! Itu pasti dia! Seseorang yang telah berhasil memporak-porandakan pikirannya dalam sekejap mata.
"Kalian kenal sama dia?" Seketika Adnan bertanya, matanya menyorot empat teman sekamarnya satu per satu.
"Anak pemilik asrama," sungut Ethan, singkat.
"Namanya siapa? Apa aja yang kalian tau tentang dia?" Baiklah, sepertinya rasa penasaran Adnan mulai tidak terkendali.
Yudan menarik napas sejenak. Bersiap menjawab. "Namanya Aranasya Lawden, umur enam belas tahun, lahir di Jakarta, besar di Amerika, anak dari Thomas Lawden yang punya Lawden Hall. Dingin, pendiam, misterius, gak pernah ngomong."
"Seriusan dia bisu?!" kejut Lukas, matanya melotot menuntut jawaban pada Yudan.
"Ya, gak bisu juga, cumi!" Kepalan tangan Daniel sudah terangkat, bersiap untuk meninju di pipi Lukas. Sikap Lukas yang kelewat bodoh kerap kali membuat Daniel ingin sekali menghabisinya.
"Lo kenapa, sih, marah-marahin gue mulu, Niel? Ada dendam lo sama gue?"
"Ya, abisan lo begonya keterlaluan! Bikin gue emosi, tau gak! Rasanya mau gue matiin aja kalau liat orang-orang lemot kayak lo!"
Sejenak Adnan berpikir, menghiraukan teman-temannya yang malah ribut sendiri. "Terus apa lagi?" tanyanya kemudian. Karena ia merasa, segala informasi dari Yudan tadi masih belum cukup untuknya.
"Terus―"
"Semua diam." Sentakan tegas milik―Pak Hanung―seseorang yang paling ditakuti di Lawden Hall seketika bukan hanya memotong kalimat Yudan, tapi juga mampu membuat suasana riuh seisi ruangan menjadi hening dalam sedetik. Saat semuanya sudah diam, barulah beliau bicara lagi, "Sebelum kita mulai makan, alangkah baiknya kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, mulai."
Semua menundukkan kepala dengan serentak. Hanya tersisa satu kepala yang belum menunduk. Yaitu kepala Adnan yang masih menegak memerhatikan dengan serius gadis pemilik nama lengkap Aranasya Lawden itu. Sampai akhirnya tangan Ethan bergerak menundukkan kepala Adnan sebelum hal itu mencuri perhatian para petinggi asrama.
"Berdoa, selesai." Seusai Pak Hanung memberi aba-aba selesai, semua menyantap makanan masing-masing dengan begitu semangat. Sajian koki Lawden Hall memang tidak perlu diragukan lagi rasanya. Dijamin memanjakan lidah!
Namun lagi-lagi Adnan menjadi pengecualian. Cuma dia yang masih mengaduk-aduk makanannya tanpa selera. Matanya kembali terkunci menatap satu-satunya anak gadis yang ada dalam ruangan tersebut, bahkan sampai ia lupa berkedip. Matanya meneliti wajah bulat milik gadis yang biasa dipanggil Nasya itu. Adnan bingung, bagaimana bisa sekarang gadis itu terlihat baik-baik saja? Bagaimana bisa juga, memar pada wajah dan lengannya pun hilang dalam waktu beberapa jam saja? Ini benar-benar aneh baginya. Sangat aneh.
Daniel, satu-satunya orang yang menyadari gerak-gerik Adnan, seketika berhenti menyuap. "Lo kenapa liatin Nasya mulu? Lo suka sama dia?" Walaupun galak dan tempramen, Daniel tergolong laki-laki yang cukup peka terhadap segala sesuatu yang berada di dekatnya. Seperti sekarang, hanya dia satu-satunya orang yang mampu menyadari bahwa teman sekamarnya yang baru itu sejak tadi terus saja memerhatikan Nasya.
Seketika Adnan melempar tatapannya pada Daniel. Kemudian ia menggeleng cepat. "Nggak," jawabnya.
Adnan yakin, dirinya seperti ini bukan karena dia menyukai gadis itu. Dia seperti ini hanya karena rasa penasaran dan keingintahuannya saja semua tentang gadis itu. Ah, ini semua pasti bermula karena otaknya yang sejak tadi terus saja bertanya banyak hal padanya tentang gadis itu. Dan dia tidak mampu menjawabnya, sebab dia sendiri pun baru mengenalnya.
"Bagus, gue saranin lo jangan sampe suka sama dia," saran Daniel sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.
===
To be continue...