Axel masih menatapnya. Tatapan itu terasa fisik, seolah menyentuh kulit. Lucia duduk di tepi kursi kulit besar itu, kakinya tidak menapak sempurna di lantai karena kursi itu terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya yang mungil. Dia meremas kain gaun putihnya yang lembab.
"Tatap aku," perintah Axel. Nadanya datar, tapi ada ancaman yang bergetar di sana.
Lucia, yang sejak tadi menatap pola karpet Persia di lantai, memaksakan dirinya mendongak. Lehernya terasa kaku. Dia melihat wajah itu lagi. Tampan, ya. Sangat tampan dengan cara yang menyakitkan, seperti melihat badai petir atau jurang yang dalam. Tapi di balik mata hitam itu, tidak ada belas kasih.
Axel memiringkan kepalanya, menopang dagu dengan satu tangan. Siku tangannya bertumpu di pegangan kursi.
"Don Bonetti..." Axel menyebut nama ayah Lucia dengan nada meremehkan. "Dia bilang putrinya adalah permata Sisilia. Penurut. Cantik. Dan..." Axel melirik tangan Lucia yang gemetar. "...berbakat."
Axel mendengus kasar. "Dia menjualmu untuk melunasi hutang pasokan senjata yang gagal. Kau tahu itu?"
Dada Lucia terasa sesak. Tentu saja dia tahu.
Kemarin malam,
Malam itu di ruang kerja ayahnya. Don Bonetti tersenyum lebar, senyum palsu yang selalu membuat perut Lucia mual.
"Ini demi keluarga, Lucia. Kau akan menjadi Ratu di Utara."
Hanya Carlo, kakak laki-lakinya, yang membanting gelas ke dinding. "Ayah menjualnya pada Iblis Wolfe! Dia akan mati dalam seminggu!"
Ayahnya hanya menampar Carlo. "Kalau dia mati, berarti dia tidak cukup berguna. Sekarang diam atau kau yang kulempar ke kandang anjing." Lucia menerima nasibnya demi Carlo. Agar kakaknya tidak dihukum, terlebih tidak menjadi korban Axel Wolfe.
(Kembali ke masa kini)
Lucia mengangguk pelan. "S-saya tahu, Tuan." jawab Lucia, dengan suara yang sedikit tertahan.
"Keras sedikit suaranya," desis Axel. Dia mulai mengetukkan jari telunjuknya ke meja. Satu...
Lucia tersentak. Dia hapal ketukan itu sekarang. Itu suara lonceng kematian. "SAYA TAHU, TUAN!" teriak Lucia spontan, matanya melotot panik. Suaranya bergema terlalu keras di ruangan sunyi itu, membuat Adbert sang pelayan hampir menjatuhkan teko teh.
Axel berhenti mengetuk. Matanya sedikit membelalak, terkejut dengan volume suara itu, lalu dia menyipitkan mata.
"Jangan berteriak. Aku tidak tuli," ucap Axel dingin.
"Maaf! Maafkan saya!" Lucia membungkuk-bungkuk di kursinya, hingga kepalanya hampir membentur meja. "Saya... saya hanya tidak ingin anda bosan menunggu jawaban saya. Ayah bilang... ayah bilang anda tidak suka menunggu."
"Ayahmu rubah tua yang licik. Tapi dia benar soal satu hal." Axel bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang, membuat ruangan terasa semakin sempit. Dia berjalan perlahan mengitari meja, mendekati Lucia.
Aroma tembakau mahal, musk, dan sedikit bau bubuk mesiu tercium saat Axel berdiri tepat di depan Lucia yang duduk menciut.
Axel mengulurkan tangan, mencengkeram dagu Lucia dengan jari-jarinya yang kasar dan kuat, memaksanya mendongak penuh. Lucia menahan napas, air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Kau gemetar," bisik Axel, menunduk hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. "Kau takut padaku?"
Ini pertanyaan jebakan. Kalau jawab ya, dia mungkin tersinggung. Kalau jawab tidak, dia tahu Lucia berbohong, dan dia benci pembohong.
Otak Lucia berputar kencang mencari jawaban "aman" yang bisa menghibur.
"S-saya tidak gemetar karena takut, Tuan," cicit Lucia, air mata satu menetes membasahi jari Axel.
Axel mengangkat alis. "Oh? Lalu?"
"Saya... uh..." Lucia melirik ke arah jendela yang menampilkan hujan badai.
"Saya... kedinginan! Ya, AC! Eh, maksud saya, udara di sini dingin sekali. Di Sisilia panas, Tuan. Di sini... brrr... dingin."
Lucia bahkan memperagakan gerakan menggigil yang kaku dan dibuat-buat. "Gigi saya gemeretuk karena dingin, bukan takut."
Axel menatapnya lekat. Dia tahu gadis ini berbohong. Dia bisa merasakan nadi di leher gadis itu berdetak gila-gilaan karena teror. Tapi alasan konyol ini...
Axel melepaskan cengkeramannya di dagu Lucia dengan kasar, lalu berbalik badan memunggungi gadis itu.
"Erik," panggil Axel.
"Ya, Tuan."
"Nyalakan perapian. Dan suruh pelayan menyiapkan kamar di sayap timur." Axel melirik Lucia dari balik bahunya. "Kalau dia mati kedinginan sebelum aku sempat menggunakannya, itu akan merugikan investasiku."
Lucia menghembuskan napas lega yang panjang, bahunya merosot.
"Dan Lucia," tambah Axel, suaranya kembali tajam saat dia berjalan menuju pintu keluar.
"Y-ya, Tuan?"
"Berhenti menatap sepatuku. Mulai besok, kau akan menatap mataku setiap kali aku bicara. Jika kau menunduk lagi..." Axel menoleh sedikit, menampilkan profil wajah tegasnya yang mengerikan. "...akan kucongkel matamu, karena percuma tidak terpakai."
Pintu tertutup. Bam.
Lucia lemas di kursi.
Erik, yang masih berdiri di sana, menatap Lucia dengan pandangan yang sulit diartikan, sedikit kasihan, tapi lebih banyak rasa heran.
"Nona Bonetti," kata Erik kaku. "Mari saya antar ke Elen. Dia akan mengurus... kekacauan Anda."