Seorang wanita berjalan pelan di lorong rumah sakit. Pagi-pagi sekali wanita itu sudah berada di salah satu rumah sakit besar yang ada di ibu kota. Aruna—wanifa itu sengaja memanfaatkan waktu paginya untuk pergi ke rumah sakit dikarenakan nanti siang dirinya harus pergi ke kampus. Aruna datang sendiri, tanpa pendamping, tanpa siapa pun yang tahu. Aruna ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, walaupun firasat wanita itu berkata sebaliknya.
Di sinilah Aruna sekarang, di depan poli kandungan seorang diri. Di sampingnya ada ibu hamil yang duduk berdua dengan anak kecil yang Aruna perkirakan berusia tiga tahunan, sedangkan di belakangnya ada seorang ibu muda yang datang didampingi suaminya. Aruna mengatur napasnya, tangannya tiba-tiba saja terasa dingin, jantung wanita itu berdegup kencang—dia grogi sekaligus gelisah.
Satu per satu pasien di panggil masuk. Aruna duduk dengan harap cemas. Kedua tangan wanita itu bertaut, saling meremas. Berulang kali Aruna mengembuskan napasnya mencoba menenangkan diri, walau rasanya percuma.
"Tenang, Run. Tenang, semua akan baik-baik aja kok," katanya di dalam hati.
Aruna menatap cemas jam tangannya. Waktu terus berjalan, tetapi nama Aruna masih belum dipanggil. Wanita itu menatap kertas berisi nomor antriannya, Aruna menghela napas panjang—gilirannya masih lama.
Saat gilirannya untuk masuk ke ruang pemeriksaan, tubuh Aruna menegang kaku. Padahal sedari tadi ini yang dia tunggu, tetapi ketakutan dan kekalutan tiba-tiba saja menyelimuti dirinya. Aruna menahan napas sejenak, hingga namanya dipanggil untuk kedua kalinya—berhasil menarik kembali kesadaran wanita itu.
"Ibu Aruna Atmaja," panggil suster.
"Saya, Sus!" Aruna mengangkat tangannya, lalu berdiri.
"Mari masuk, Bu," ajak Suster itu dengan ramah.
Aruna mengangguk kaku. Dia memegang dadanya, jantung wanita itu berdetak dengan cepat seolah jantungnya adalah drum yang dipukul dengan kencangnya. Menarik dan mengembuskan napas, Aruna akhirnya melangkah dengan ragu ke ruang pemeriksaan.
Aruna tersenyum tipis saat dokter perempuan menyapa dirinya dengan senyuman hangat. Tanpa disuruh, wanita itu duduk di hadapan sang dokter dengan sebuah kaca pemisah sebagai batasan. Kedua tangan Aruna berada di atas paha, saling bertaut dengan eratnya. Aruna mencoba tenang meskipun gerak-gerik wanita itu justru berbanding terbalik dengan keinginannya.
"Selamat pagi, Ibu Runa. Bagaimana kabarnya hari ini? Apa ada keluhan?" tanya Dokter dengan tanda pengenal Mutia itu.
Aruna terdiam sejenak, lalu berdeham pelan. "Cukup baik, Dok. Keluhan? Em ... saya udah telat haid sekitaran dua mingguan ini dan kemarin sempet muntah juga di pagi hari," sahut Aruna.
Mutia mengangguk, perempuan itu langsung tahu tujuan Aruna datang tanpa perlu Aruna beritahu.
"Baik, jadi ingin memastikan apakah Ibu hamil atau tidak, ya?"
Aruna mengangguk kaku, wanita itu tersenyum sedikit kaku. Sementara Mutia tersenyum dengan hangatnya, perempuan itu seakan tahu pasiennya kali ini sedang gugup.
"Kalau boleh saya tau, suaminya ke mana, ya? Apa nggak ikut bareng Ibu?" tanya Mutia.
Aruna terdiam, matanya bergerak tak tenang. Di tengah kekalutannya, Aruna hanya menemukan satu jawaban yang saat itu terlintas di pikirannya.
"Suami saya ... suami saya ada rapat penting hari ini, jadi saya sendiri. Rencananya juga, kalau beneran hamil bakal kasih kejutan," alibi Aruna.
Mutia mengangguk mendengar jawaban Aruna, dia melirik suster yang sedari tadi berdiri diam di sampingnya.
"Sus, tolong dicek dulu tekanan darahnya, ya," titah Mutia dengan lembut.
Aruna diam, dia membiarkan suster itu melakukan tugasnya. Namun, berbanding terbalik dengan pikiran wanita itu yang begitu berisik. Rasa takut, penasaran, dan cemas benar-benar menyatu. Rasanya Aruna ingin sekali pergi menjauh dari semua orang, tetapi dia tak akan bisa meninggalkan Rangga seorang diri.
Setelah selesai mengecek tekanan darah, Aruna diarahkan untuk berbaring di ranjang periksa. Kedua tangan wanita itu berada di atas d**a, napas Aruna begitu berat—detak jantungnya bahkan semakin menggila di dalam sana.
"Izin saya naikkan bajunya sebatas dadanya. Ibu bisa lebih rileks? Jangan tegang, ya." Mutia memberikan arahan yang langsung dituruti oleh Aruna.
Mata Aruna terpejam saat merasakan sebuah gel ultrasonik dioleskan di perutnya, sensasi dingin yang Aruna rasakan semakin membuat jantungnya berdebar. Sementara itu, Mutia mengambil probe dan menempelkannya pada kulit perut Aruna. Sebuah bayangan kecil, berukuran sangat kecil muncul di monitor. Mutia tersenyum senang, dia melirik Aruna yang sedang memejamkan mata.
"Wah, coba sekarang Ibu lihat! Yang seukuran biji jagung itu calon anak Ibu dan suami. Dia masih sangat kecil, perkiraan usianya baru satu bulan, ya," jelas Mutia.
Jantung Aruna berhenti berdetak untuk sesaat, air matanya jatuh dari sisi mata indahnya. Wanita itu membuka matanya perlahan, dia langsung melihat ke arah monitor, ada perasaan aneh yang tak bisa Aruna jelaskan. Namun, satu hal yang pasti—rasa takut itu jauh lebih besar dari rasa-rasa lain yang berkecamuk di dadanya.
"I—ni beneran? Itu calon anak saya?"
Aruna berjalan dengan wajah murung, dia baru saja keluar dari ruang pemeriksaan. Tangan kiri wanita itu berada di atas perutnya, Aruna menunduk—dia benar-benar tak menyangka jika dirinya akan hamil. Sekarang, Aruna harus memikirkan cara membicarakan ini dengan Rangga.
Asyik dengan pikiran sendiri, Aruna tak merasa jika ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Tepat saat melewati lorong sepi, tubuh Aruna ditarik dengan lembut. Wanita itu mencoba untuk berteriak, tetapi sayang mulutnya ditutup. Tubuh Aruna menempel dengan dinding, sedangkan di hadapannya adalah sosok pria yang menghancurkan hidupnya. Mata Aruna melotot kesal saat mendapati Dewa menatap dirinya dengan begitu hangat.
"Sialan! Lu ngikutin gue?!" sentak wanita itu tak terima.
Dewa menggeleng dengan wajah polosnya, dia masih mengukung Aruna supaya wanita itu tidak kabur.
"Aku hanya menjagamu, Baby. Tadi aku lihat kamu di ruang pendaftaran, ya aku ikutin. Siapa sangka kamu ke Dokter kandungan, kamu hamil?"
Aruna mendelik, lalu mendengus. Wanita itu mencoba mendorong tubuh Dewa, tetapi Dewa dengan sigap menahan tangan Aruna dan membawanya ke atas kepala wanita itu. Tatapan lekat, intens, dan penuh obsesi Dewa berhasil membuat Aruna meludah. Namun, bukannya terpancing amarah, Dewa justru tertawa yang membuat dirinya terlihat menyeramkan sekarang.
"Baby, bisakah kamu sedikit jinak?" tanya Dewa dengan nada suara menyebalkan.
"Lu pikir gue binatang buas, ha?!" Nada suara Aruna naik satu oktaf, dia memandang Dewa dengan tatapan benci.
Tanpa ragu, Dewa mengangguk. "Iya, pasti kamu lupa sebuas apa kamu malam itu," bisik Dewa, dia bahkan dengan lancang menjilat telinga Aruna.
"Sialan ...," lirih Aruna, wajahnya memanas.
Dewa terkekeh, pria itu menyatukan keningnya dengan kening Aruna. Tatapan dalam dan hangat itu, sedikit pun tak bisa meluruhkan hati Aruna yang sudah terlanjur membenci pria di hadapannya ini.
"Jadi, Baby? Kamu hamil? Aku akankah katakan ini pada keluarga kita supaya kita segera menikah," tangkas Dewa dengan santai.
"Lu gila?!" Aruna berteriak, wajahnya memerah. Kali ini bukan karena malu, melainkan karena amarah.
"Papa gue bisa kecewa sama gue. Padahal gue udah jaga diri dengan baik, tapi lu?! Lu hancurin semuanya dalam satu malam, Kak! b******n lu!" berang Aruna.
Dewa tersenyum, dia melepas kungkungannya. Pria itu berbalik membelakangi Aruna. Tersenyum miring, Dewa memasuki tangannya ke dalam celana kain yang dia kenakan.
"Aku sudah bilang padamu, Baby. Aku hanya mengambil apa yang aku mau dan yang seharusnya jadi milikku. Kamu paham, Baby Girl?" Dewa membalikkan tubuhnya, dia menatap Aruna dengan senyuman manis.
"Lu obses! Lu sadar nggak, sih?!" Aruna mengacak rambut frustrasi, berbicara dengan Dewa selalu berhasil membuat dirinya naik darah.
"Yes, i'm obsessed with you, Baby." Dewa menarik pinggang Aruna, dia memeluk erat pinggang wanitanya, sesekali Dewa akan membelai lembut pinggang ramping Aruna yang membuat wanitanya mendesis.
"Baby, aku nggak mau penantian aku sia-sia. Aku udah nunggu kamu puluhan tahun dan aku akan biarin kamu lepas, tentu nggak semudah itu." Dewa menatap hangat sorot membara Aruna, dia membelai wajah Aruna tanpa mengalihkan pandangannya.
"Di malam itu, di malam pesta pernikahan orang tuaku. Aku melihatmu, Baby. Kamu yang begitu anggun, elegan, menawan, cantik, dan sempurna. Kamu yang berdiri kaku di sebelah om Reno, that's so cute, Baby Girl," sambung Dewa dengan senyuman miring.
"Sial—" Dewa lebih dulu meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Aruna, sedangkan wanita itu melototkan mata tak terima.
"Berhenti mengumpat, Baby. Aku tidak mau calon anakku mendengar umpatan ibunya." Dewa mengecup bibir Aruna sekilas membuat wanita itu langsung menggosok bibirnya dengan ekspresi jijik yang membuat Dewa tertawa.
"Jangan harap gue sudi nikah sama lu!"
"Terus kamu mau anak kita nggak punya ayah, hm?"