Bab 6. Praduga

1328 Kata
Aruna duduk tenang di kursinya, di samping wanita itu ada Rangga yang sedang berkutat dengan telepon pintar miliknya. Pandangan Aruna tertuju pada hidangan yang tertata rapi di atas meja. Mata indah wanita itu berbinar saat mendapati ikan bakar dengan sambal matah di atasnya. Wanita itu melirik Rangga yang masih fokus dengan benda pipih itu. Tersenyum lebar, Aruna mengetuk-ngetuk tangan Rangga membuat pria itu langsung merendahkan ponselnya. "Kenapa, Sayang?" tanyanya. "Bibi buat ikan bakar, ya?" Aruna bertanya dengan nada suara pelan, dia melirik ikan bakar yang tampak menggoda di matanya. Mengangguk sebagai jawaban, Rangga memandang heran sang putri. "Iya, Aruna. Papa lagi pengen makan ikan bakar," sahut Rangga. "Aku boleh minta dikit?" Mata Aruna mengerjap lambat, dia tersenyum manis, wajahnya memelas—padahal tanpa memohon pun, Aruna akan mendapatkan apa yang dia mau. Rangga mengangguk pelan, dia menaikkan sebelah alisnya saat melihat wajah bahagia sang putri. Kening pria itu berkerut, ada yang aneh—Aruna bukan orang yang menyukai ikan. Wanita itu lebih menyukai daging babi daripada daging ikan. Rangga masih diam saat Aruna dengan antusias mengambil satu ikan bakar. Wajah bahagia dan tatapan berbinar Aruna berhasil membuat Rangga bertanya-tanya. "Tumben kamu suka ikan, bukannya nggak suka?" celetuk Rangga dengan nada heran. Aruna terbatuk, wanita itu segera meraih air dan meminumnya. Setelah perih di tenggorokannya hilang, wajah Aruna berubah panik—dia baru menyadari hal ini saat Rangga bertanya. Berdeham pelan, Aruna mengusap ujung bibirnya yang basah. Dia menatap Rangga dengan tatapan gugup. Wanita itu memaksakan senyuman manis. "Ah, itu ... tadi keliatan enak gitu, Pa. Jadi, aku kayak pengen coba deh," balas Aruna. "Yakin?" Dahi Rangga berkerut, dia memandang ragu sang putri. "Seenak apa pun olahan ikan, kamu tetep nggak suka, lho. Ini tumben?" Aruna menganggukkan kepalanya, dia tertawa paksa. "Yakin, Pa! Tadi keliatan enak gitu, apalagi sambal matahnya. Aku sampe ngiler hehe. Emang nggak boleh ya aku minta ikannya?" "Bukan, bukan nggak boleh." Rangga menggeleng cepat. "Ya udah, kamu makan aja," lanjut pria itu. Aruna tersenyum. Diam-diam, wanita itu menghela napas lega. Dalam hati, Aruna bertanya-tanya—dia merasakan ada yang aneh dalam dirinya, tetapi Aruna masih belum menemukan apa yang aneh tersebut. Setelahnya, hanya ada suara dentingan sendok dan piring. Rangga dan Aruna makan dengan khidmat. Sesekali Rangga akan melirik sang putri yang makan dengan lahap, Aruna bahkan sudah nambah dua kali. Semakin terlihat aneh di mata pria paruh baya itu, tetapi Rangga tak ingin menanyakannya pada sang putri. Pria itu takut sang putri tidak nyaman nantinya. Selepas makan, Aruna dan Rangga duduk di ruang keluarga. Televisi menyala, hanya Rangga yang menonton. Sementara Aruna tengah sibuk dengan laptop di pangkuannya. Dia sedang menyelesaikan tugas kuliahnya yang harus dikumpulkan besok. Saat iklan, Rangga beralih menatap sang putri yang begitu fokus dengan tugas kuliahnya. Dia tersenyum tipis, sering kali saat melihat Aruna—Rangga tak menyangka putri semata wayangnya tumbuh dengan baik. Aruna adalah duplikat mendiang istrinya, bagaimana karakter wanita itu, bagaimana caranya berjalan, dan apa yang menjadi kesukaan Aruna sama persis dengan mendiang istrinya. Rangga sering kali tak menyangka jika dia berhasil membesarkan Aruna seorang diri. Wanita itu tumbuh dengan baik, Aruna bahkan selalu membuatnya bangga dengan prestasi yang dimilikinya. "Gimana kuliah kamu?" tanya Rangga. Aruna mendongak, dia tersenyum. "Lancar, Pa. Cuman ya gitu, kadang aku dibuat pusing sama tugas dan ujian, but It's okay, aku masih bisa atur semuanya." Rangga mengacak gemas rambut sang putri. Dia tersenyum lembut saat putri semata wayangnya melempar senyuman hangat. "Persis banget kayaknya mamanya," celetuk Rangga. "Kalau mirip tetangga patut dipertanyakan, sih, Pa," canda wanita itu. Rangga menggeleng, dia kembali menatap televisi. Namun, setelahnya pria itu menghela napas panjang. Mematikan televisi, atensi Rangga kini berfokus pada sang putri. "Setiap liat kamu, rasanya kangen Papa ke mama kamu itu terobati." Aruna menoleh, dia terdiam beberapa saat—bingung harus merespons seperti apa. "Seandainya Mama kamu masih di sini, dia pasti bangga anaknya tumbuh jadi perempuan cantik, cerdas, dan bisa ngejaga diri," lanjutnya. Mendengar kata terakhir sang ayah membuat Aruna langsung menundukkan kepala, rasanya seperti ada bongkahan batu yang menimpa dirinya. Aruna tersenyum miris, wanita itu merasa berdosa telah membohongi sang ayah. "Pa, makasih ya. Makasih Papa udah sabar ngerawat aku sendiri, aku tau jadi single parent itu nggak gampang. Pasti banyak hal yang jadi beban Papa, tapi Papa berhasil." Aruna meletakkan laptopnya di atas meja, lalu memeluk tubuh Rangga dari samping. "Makasih juga kamu udah jadi anak yang baik, ya. Papa bangga sama kamu." *** Hening, kamar berwarna biru muda itu begitu hening—hanya terdengar suara denting jarum jam dan papan ketik. Di atas kasur, Aruna duduk bersila, di hadapan wanita itu ada laptop yang menampilkan halaman pencarian. Aruna terdiam, dia menatap gamang layar laptop yang menyala itu. Menarik napas panjang, Aruna mulai mengetik kata kunci. Dia menunggu dengan harap cemas, tangannya meremas bantal yang ada di pangkuannya. Saat hasilnya telah keluar, Aruna memilih salah satu artikel. Wanita itu memejamkan mata, di dalam hati dia berharap dugannya salah. Membuka mata perlahan, Aruna menggigit bibir bawahnya. Wanita itu menggulir ke bawah perlahan, jantung Aruna berdegup kencang—napasnya begitu berat, dirinya tenggelam dalam ketakutan. "Ciri-ciri wanita hamil berbeda pada setiap orang. Namun, secara umum berikut ciri-ciri wanita hamil." Aruna terdiam, sengaja memberi jeda. Setelah sedikit tenang, dia kembali menggulir ke bawah. "Tanda paling umum adalah terlambat haid, hormon kehamilan membuat p******a lebih sensitif, nyeri, dan sedikit membengkak." Aruna menunduk, menatap payudaranya sendiri. "Enggak ada nyeri atau bengkak, oke, aman," tuturnya lega. "Morning sickness ... gue sempet muntah tadi pagi, tapi bisa aja masuk angin, 'kan?" katanya mencoba meyakinkan diri sendiri. Aruna menghela napas, kembali membaca informasi yang ada. "Sering buang air kecil, mudah lelah, perubahan nafsu makan, perubahan suasana hati, implantasi ...." Menutup laptopnya, Aruna memandang langit-langit kamar—pandangan wanita itu menerawang jauh. "Apa gue cek aja ke Dokter kandungan?" *** Dewa masuk ke dalam ruang kerja Reno, pria itu membawa beberapa berkas. Dia ingin mendiskusikan beberapa hal dengan sang ayah. Dewa duduk di hadapan sang ayah, pria itu meletakkan berkas yang dia bawa di atas meja. "Kenapa? Ada yang mau kamu bicarain?" Reno mengalihkan atensinya dari laptop di hadapannya, dia memandang serius sang putra. Dewa mengangguk, pria itu memberikan berkas yang dia bawa agar bisa dibaca oleh sang ayah. Setelah Reno membaca berkas tersebut, Dewa langsung berdeham—siap menjelaskan beberapa hal yang sudah dia analisa. "Aku udah review laporan Q2, ada beberapa hal yang perlu ditindak lanjuti lebih cepat," kata Dewa dengan nada suara tegas. Reno mengerutkan kening, dia menanti penjelasan sang putra lebih dalam. Meskipun mereka ayah dan anak, tetapi jika urusan pekerjaan, keduanya mampu bersikap profesional. "Ayah suka kamu ambil inisiatif, itu langkah yang bijak. Terus menurut kamu, apa yang paling menonjol?" Dewa terdiam sejenak, dia menganggukkan kepala. "Divisi marketing stagnan, growth-nya cuman 2%. Padahal kita udah suntik budget lumayan besar sejak awal tahun. Aku rasa kita perlu restrukturisasi tim," jelasnya. Mengangguk mengerti, Reno memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. "Gimana kalau ternyata masalahnya ada di strategi bukan di tim?" tanya pria paruh baya itu dengan tenang. "Masalahnya jelas di tim." Dewa menggelengkan kepala tak setuju dengan pertanyaan sang ayah. "Dari data yang udah aku lihat, strateginya oke, tapi pelaksanaannya lemah. Beberapa champaign bahkan delay lebih dari sebulan," sambung pria itu. "Okay, kalau gitu ajukan rencanamu. Jangan lupa untuk bicara dengan kepala divisi. Ayah mau kamu jadi pemimpin yang mendengar bukan cuman menganalisa di balik meja," tutur Reno dengan bangga. Dewa mengangguk dengan senyum sumringah. "Ayah tenang aja. Ah, aku juga ada usulan. Aku mau coba masukin pendekatan yang lebih digital, terutama di pasar luar negeri." "Kamu yakin? Memperluas pasar artinya menambah risiko. Kamu siap dengan tekanan?" Reno menaikkan sebelah alisnya. Bukannya tidak percaya dengan sang putra, pria itu hanya mencoba meyakinkan. Dewa mengangguk tanpa ragu. "Tentu, aku nggak mau dianggap numpang nama sama Ayah. Jadi, aku mau buktiin kalau aku layak jadi penerus Ayah," sahutnya. Reno tersenyum bangga, putranya benar-benar mewarisi karakternya. "Kamu udah bekerja keras, Nak. Orang-orang nggak akan bisa mikir kayak gitu. Ayah dukung kamu, kalau ada kendala, kamu bisa diskusikan sama Ayah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN