Bab 3. She Changed

1340 Kata
Satu Minggu setelah kejadian itu, perubahan drastis dalam diri Aruna berhasil memunculkan kekhawatiran orang sekitarnya. Aruna jadi lebih pendiam, wanita itu juga selalu murung. Rangga berulang kali ingin mengajak Aruna berbicara, tetapi putrinya itu selalu saja menghindar. Seperti malam ini, Aruna duduk tenang di ruang keluarga. Di depannya televisi menyala, tetapi perhatian Aruna ada pada buku di atas pahanya. Buku "Yang Belum Usai" seakan menjadi buku yang menggambarkan luka dan trauma Aruna saat ini. Di belakang wanita itu, Rangga berdiri dengan tatapan dalam. Pria itu menghela napas panjang, dia melangkah tenang mendekati sang putri. Tanpa mengatakan apa pun, Rangga duduk di single sofa yang berada di samping Aruna. Pria paruh baya itu berdeham, Aruna mendongak—wanita itu mengerjapkan mata pelan. "Kenapa, Pa?" tanya Aruna dengan tenang. "Papa rasa kamu lagi ada masalah." Rangga menjeda sejenak ucapannya, dia menatap lekat mata Aruna yang bergerak liar. "Kenapa kamu diem? Apa yang terjadi? Papa tau betul kamu lagi ada masalah, Aruna." Aruna terdiam, wanita itu tak langsung menjawab. Menutup bukunya, dia menarik napas panjang—Aruna lantas menatap Rangga dengan tatapan tenang. Dia tengah meyakinkan sang ayah bahwa tidak terjadi apa pun, tetapi firasat seorang ayah seakan tak meleset. "Pa, aku nggak papa. Nggak ada masalah apa pun, aku cuman capek belakangan ini. Jadwal aku terlalu padat dan pikiranku rasanya rame aja," jelas Aruna dengan tenang. "Kamu bisa cerita ke Papa, Sayang. Kamu punya Papa, jangan kamu pendem sendiri masalah kamu, Runa." Rangga menarik napas panjang, pria itu berpindah duduk ke samping Aruna. Melihat perhatian sang ayah menimbulkan perasaan bersalah dalam diri Aruna. Wanita itu yakin sang ayah akan kecewa jika tahunya dirinya tak mampu menjaga diri. Untuk saat ini, Aruna tak memiliki tumpuan. Bibirnya enggan untuk terbuka setiap kali Aruna menceritakan apa yang menimpa dirinya, tetapi naas—lidahnya begitu kelu. Aruna menutup bukunya, wanita itu bersandar di pundak Rangga yang tak lagi kokoh. Pundak yang dulunya menjadi tempat sandarannya perlahan termakan usia—kian rapuh dan semakin banyak beban yang Rangga tanggung. Namun, pria paruh baya itu sama sekali tak pernah menunjukkan kehancurannya di hadapan sang putri. "Pa, gimana kalau aku gagal bahagiain Papa? Gagal jadi orang, gimana nantinya aku gagal?" Pertanyaan bernada lirih itu membuat Rangga langsung menatap sang putri. Menarik napas dalam, Rangga mengusap surai Aruna sebelum menjawab, "Nak, bagi Papa keberhasilan kamu itu nomor sekian. Bagi Papa yang terpenting kamu bahagia dan sehat. Sejauh ini kamu udah berhasil buat Papa bangga sama setiap pencapaian kamu, Sayang." "Apa Papa akan tetap bilang ini setelah tahu aku gagal jaga diri sendiri?" kata Aruna di dalam hati. Mimik wajah wanita itu berubah menjadi muram, Aruna memejamkan matanya. Dia berusaha menahan air mata yang mengenang di pelupuk mata. "Tetep di sini ya, Pa. Tetep di samping aku, apa pun yang terjadi." *** Jalanan ibu kota mulai ramai, toko-toko di sepanjang jalan kembali buka. Aroma kopi dan gorengan dari warung-warung di pinggir jalan menggoda indra penciuman siapa pun yang melintas di sekitar. Mobil dan motor melaju dengan kecepatan sedang, waktu kembali berjalan seolah tak terjadi apa pun di hari kemarin. Burung-burung berkicau merdu, embun pagi terasa menyejukkan. Banyak di antara mereka sudah bersiap untuk memulai hari Senin dengan semangat yang membara. Di sebuah taman Universitas Garuda, beberapa mahasiswa duduk santai sembari mengobrol maupun menyelesaikan tugas. Di bawah pohon rindang, Aruna duduk bersila bersama kedua sahabatnya. Dua gadis yang Aruna kenal sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, mereka adalah Karey Anindita dan Salsabila Putriani. "Gue rasa lu berubah, Run," celetuk Salsa sembari memasukkan kacang polong ke dalam mulutnya. Aruna menarik napas panjang. Dia cukup tahu perubahannya akan membuat sekitarnya menjadi penasaran dan khawatir. "Gue nggak papa, kalian tenang aja," balas Aruna berusaha tenang. Gadis dengan rambut sepunggung berdecak, dia memutar malas bola matanya. "Aruna Atmaja, lu nggak usah bohong deh. Lu belakangan ini banyak murungnya tau nggak, sih? Lu kenapa, sih? Mikirin utang? Nggak mungkin, secara duit lu aja unlimited," celoteh Karey dengan nada kesal. Aruna menatap Karey dengan tatapan intens. Wanita itu tahu Karey bukan orang yang mudah dia bohongi, tetapi Aruna masih belum siap menceritakan apa yang menimpa dirinya di malam itu. Aruna takut akan penghakiman, penolakan, dan hinaan. Segala hal buruk sudah lebih dulu berputar di pikiran wanita itu. "Run, lu punya kita. Jangan lu pendem masalah lu sendiri. Lu tau 'kan mendem masalah itu bahaya." Salsa menatap hangat sang sahabat, tatapannya seolah menjelaskan mereka akan selalu ada untuk Aruna apa pun kondisinya. Di tempat lain, seorang pria tengah menatap ponsel di tangannya. Di sebelah pria itu berdiri sosok pria dengan rambut ikal. Dewangga Mahardika—dia berdecak saat dirinya tak dapat mengakses lokasi Aruna, decakan Dewa berhasil membuat pria di hadapannya menoleh. "Udahlah, Wa. Lu udah ngelanggar privasi orang. Lagian kalau lu deketin Aruna dengan cara sehat, dia pasti bisa nerima lu," jelas Rian—Rian Wijaya, lengkapnya. Dewa langsung menoleh, dia memandang sinis sahabat seperjuangannya itu. "Gue udah nunggu Aruna dari dia umur 3 tahun. Lu pikir semudah itu gue biarin dia lepas?" Jawaban bernada tajam itu membuat Rian mendengus, Dewa terlalu keras kepala. "Lu udah ambil hal paling berharga di hidup Aruna dan sekarang lu nyari dia di kampus, gue yakin Aruna bakal langsung kabur." Rian menoleh ke belakang, dia memandang malas wajah datar Dewa. Dewa terkekeh, ucapan Rian seakan lelucon bagi pria itu. Dewa tak akan membiarkan penantian dirinya sia-sia, dia tak akan membiarkan Aruna lepas begitu saja. Dewa akan menarik Aruna ke dalam lingkarannya dan mengunci Aruna di dalamnya. Rian menarik napas panjang, pria itu sedikit lelah memutari Universitas Garuda di siang bolong, dia mendudukkan diri di salah satu bangku disusul Dewa. Pria itu memandang sekitar, lalu memandang Dewa yang tengah melihat ponselnya—lebih tepatnya melihat foto Aruna. "Apa Aruna udah pulang atau nggak ada mata kuliah hari ini?" Rian mencoba menduga, ucapannya membuat Dewa langsung menoleh ke arah pria itu. "Gue udah cari tau dan dia ada satu mata kuliah hari ini," sahut Dewa yakin. Terdiam, Rian mencoba memikirkan beberapa kemungkinan. Sudah satu jam mereka di sini dan mereka tak menemukan keberadaan Aruna. "Apa udah pulang?" Rian menjeda sejenak ucapannya. "Kita pulang aja deh, Wa. Mending lu nanti langsung temuin dia di rumah deh," saran Rian yang membuat Dewa terdiam. *** Langkah pelan seorang wanita menjejak tanah basah, aroma tanah dan bunga kamboja menyapa indera penciuman. Hening, tak ada suara—hanya desau angin yang membelai dedaunan dan rambut. Aura kesedihan, rindu, rasa sesal, dan amarah begitu pekat. Sebuah nisan berdiri tegap, nama yang terukir di sana seakan begitu akrab—memanggil secercah kenangan yang pernah terukir. Wanita itu perlahan jongkok, dia mengusap batu nisan itu dengan gerakan pelan. Matanya berkaca-kaca, air mata wanita itu mengenang di pelupuk mata. "Ma, aku datang," bisiknya, lebih tepatnya pada dirinya sendiri daripada gundukkan tanah di depannya. Aruna Atmaja, wanita itu menatap nanar gundukkan tanah di hadapannya. d**a wanita itu terasa berat dan sesak, napasnya begitu lambat. Di hadapannya, sang ibu terbaring tanpa nyawa. Sosok yang dulu memeluk erat dirinya, kini tertidur pulas tanpa dia tahu kapan akan bangun lagi. "Ma, aku gagal ... aku rusak, Ma ...." Air mata yang sedari tadi Aruna tahan akhirnya luruh membasahi pipinya. Napas Aruna tersendat, pandangan wanita itu buram. Rasa sakit, kecewa, penyesalan, dan rindu menyatu dalam tangki perasaan Aruna—perasaan itu meluap dan melebur menjadi satu. Tangan Aruna berhenti mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ibu. Kepala wanita itu tertunduk, langit seolah merasakan kesedihan Aruna—awan kelabu menyaksikan hancurnya Aruna dalam diam. "Aku harus bilang apa sama papa, Ma? Papa pasti kecewa sama aku, Papa pasti marah." Ucapan bernada lirih itu sarat akan emosi. Aruna menghapus air matanya bertepatan dengan hujan yang turun membasahi tanah seakan ikut merasakan kesedihan Aruna. Wanita itu mendongak, matanya mengerjap—menghalau air hujan memasuki matanya. "Ma, Mama pasti kecewa, 'kan? Maaf, Ma ...." "Maaf aku gagal, aku gagal jaga diri aku sendiri. Maaf." Napas Aruna tersekat, tenggorokan wanita itu rasanya dicekik. Perlahan Aruna berdiri, kepala wanita itu menunduk. Tanpa kata, tanpa suara, Aruna melangkah pelan meninggalkan area pemakaman dengan perasaan sesak dan penuh—rasanya, dia ingin mengakhiri hidupnya sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN