Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam sebuah kamar yang begitu mewah dan luas. Hangatnya cahaya matahari tak mengusik tidurnya dua insan, detak jarum jam mengisi kesunyian—udara pagi ini terasa jauh lebih sejuk akibat hujan kemarin malam.
Seorang wanita melenguh, matanya perlahan terbuka. Dia meringis saat merasakan tubuhnya sakit, inti tubuh wanita itu rasanya remuk. Aruna—wanita itu mengerjap perlahan. Dengan susah payah dia mencoba untuk duduk, kesadaran Aruna belum terkumpul sepenuhnya.
Aruna meringis, selimut yang menutupi tubuhnya merosot. Mata indah wanita itu membulat saat menyadari dirinya telanjang bulat. Belum sempat otaknya mencerna apa yang terjadi pada dirinya, sebuah tangan kekar tiba-tiba saja menyentuh pahanya. Jantung Aruna berhenti berdetak untuk beberapa saat, dia menelan air liurnya susah payah.
"Enggak, enggak mungkin!" seru Aruna seraya menggelengkan kepala panik.
Aruna menoleh ke samping, dia memandang wajah asing itu dengan tatapan berang. Selimut yang menutupi setengah tubuhnya—Aruna tarik sampai menutupi lehernya. Tangan wanita itu terkepal, kuku-kuku jari Aruna memutih, mata wanita itu menyorot tajam.
"Bangun, b******n!" Aruna mengguncang tubuh pria itu dengan kuat, tangki emosi wanita itu meledak. Napasnya terasa berat, d**a wanita itu bergerak naik turun.
Pria itu mengerjap, dia memaksa membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah cantik Aruna yang memerah, tatapan tajam dan kobaran amarah dari mata Aruna. Pria itu tersenyum tipis seakan sudah siap dengan amarah dan amukan wanita yang semalam dia tiduri.
"Enggak usah senyum lu, Sialan! Maksud lu apaan ngerusak gue?!" jerit Aruna menggebu-gebu.
Pria itu mengubah posisinya menjadi duduk, dia menyandarkan punggungnya. Pria itu tetap tenang di saat tatapan Aruna seakan ingin memakan dirinya hidup-hidup, hal itu berhasil memancing amarah Aruna untuk lebih meledak lagi.
"Shut! Calm down, Baby Girl. Kenapa kamu harus marah, hm? Padahal semalam ... kamu sangat menikmati malam panjang kita," ucap pria itu dengan suara serak.
Ucapannya berhasil membuat Aruna naik pitam. Wanita itu mengertakkan giginya, tangan Aruna bersiap menampar pria asing di sampingnya. Namun, pria itu lebih dulu menahan tangan Aruna, dia menyeringai melihat wajah Aruna semakin memerah dengan napas naik turun.
"Baby, calm down, okay? Aku hanya mengambil apa yang menjadi milikku," katanya dengan lembut.
"Milik lu?" Aruna mendesis. "Sejak kapan badan gue jadi milik lu, Bastard?!" Urat-urat di leher Aruna terlihat jelas, matanya memerah—wanita itu berusaha menahan tangisnya.
Pria itu meletakkan jari telunjuknya di mulut Aruna. Dia tersenyum manis, wajahnya semakin mendekat. Sementara itu, Aruna mematung—kekuatan wanita itu seakan lenyap saat tatapan lembut pria di hadapannya berubah menjadi tatapan tajam.
"Baby, mungkin kamu lupa sama aku, tapi nggak papa. Aku akan ingetin kamu sekali lagi." Pria itu sengaja menjeda ucapannya. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Aruna. "Aku Dewangga Mahardika, seseorang yang udah jatuh cinta sejak kamu kecil. Seseorang yang dengan sabar nunggu kamu tumbuh dewasa dan seseorang yang dengan sabar menanti kamu, Baby," sambungnya dengan suara rendah.
Mata Aruna terpejam saat dia merasakan telinganya dibelai oleh sesuatu yang lunak dan basah. Dia mendesis, wanita itu mendorong Dewa menjauh. Tatapan wanita itu tak sedikit pun berubah, semakin tajam dan semakin dingin.
"Gue harap setelah ini lu dapetin karmanya! Jangan harap gue mau ngelihat muka lu lagi!"
Dewa tertawa. "You can't get away from me, Baby."
***
Langkah kaki Aruna begitu lemah—dia berjalan lemas memasuki rumahnya. Satpam yang melihat kehadiran anak majikannya tentu saja dibuat keheranan, tak biasanya Aruna tidak semangat seperti ini. Namun, dia memilih untuk diam dan tidak ikut campur.
Aruna berjalan dengan langkah lemah—mata wanita itu sembab, langkahnya begitu lemas seakan setiap jalan yang dia lalui dipenuhi oleh paku. Wanita itu tak pernah menyangka jika pesta pernikahan sahabat ayahnya akan menjadi petaka bagi dirinya.
Menarik napas panjang, Aruna memandang nanar pintu berwarna putih di hadapannya. d**a Aruna rasanya tertimpa batu besar—menyesakkan, pasokan udara di sekitarnya menipis. Mengusap air matanya, Aruna mendudukkan kepala. Wanita itu tak tahu harus mengatakan apa pada sang ayah setelah ini.
"Sayang? Kamu ngapain di luar?"
Suara berat itu membuat Aruna mendongakkan kepala, tubuhnya menegang. Aruna meremas gaun yang dia kenakan. Matanya melotot, wanita itu berdiri kaku di depan pintu. Sementara Rangga mengerutkan keningnya, merasa ada yang tak beres, pria itu berjalan cepat menghampiri sang putri.
Tubuh Aruna semakin menegang dan kaku saat Rangga sudah berdiri tepat di hadapannya. Wanita itu memejamkan mata saat punggung tangan Rangga menyentuh keningnya. Menahan napas sejenak, detak jantung Aruna menggila di dalam sana.
"Muka kamu pucet banget, kamu sakit?" tanya Rangga khawatir.
Aruna menggeleng lemah. "Nggak, Pa. Aku nggak papa," sahutnya.
Menghela napas lega, Rangga mengangguk pelan. "Gimana kondisi temen kamu? Karey atau Salsa yang dalam masalah?"
"Hah?" Aruna kebingungan, wajah cengonya membuat kening Rangga berkerut memperlihatkan garis-garis halus.
"Kemarin kamu 'kan hubungin Papa bilang pamit pulang duluan karena temen kamu dalam masalah," jelas Rangga dengan mimik wajah keheranan.
Aruna terdiam, pikiran wanita itu melayang ke mana-mana. Dia tentu tahu itu sebuah kebohongan, Aruna tahu itu pasti ulah Dewa.
Memaksakan sebuah senyuman, Aruna mengangguk dengan kaku. "Masalahnya udah kelar, Pa."
"Maafin aku bohongin Papa, aku nggak mau Papa kecewa sama aku," batin wanita itu menyesal.
Rangga tersenyum tipis, pria itu mengusap surai sang putri.
"Udah sarapan?" tanya Rangga.
Aruna menggeleng meskipun Rangga tak melihatnya, dia melangkah masuk mengikuti langkah sang ayah. Nafsu makannya hilang, pikiran Aruna terasa penuh, beban di pundaknya bertambah. Wanita itu tak tahu harus mengadu ke mana saat ini.
Langkah keduanya berhenti di ruang tengah. Rangga berbalik menatap sang putri. Tatapan intens dan dalam itu berhasil membuat Aruna berdiri tak nyaman di tempatnya. Wanita itu menggenggam kuat gaun indahnya yang sudah kusut karena kejadian semalam.
"Papa rasa kamu lagi nggak baik-baik aja, kamu mau cerita ke Papa?" Rangga menatap khawatir sang putri.
Sebagai seorang ayah, pria itu tentu tahu jika ada yang tidak beres dengan putrinya.
Tersenyum, Aruna menggeleng lembut. Dia menelan salivanya susah payah, wajah pucat wanita itu dan tatapan kosong Aruna sedari tadi berhasil mencuri perhatian Rangga.
"Aku baik-baik aja, Pa. Trust me, i'm okay. Papa jangan khawatir," kata Aruna dengan suara pelan, tetapi terdengar meyakinkan.
Menarik napas panjang, Rangga mendekati sang putri. Pria itu mengelus wajah Aruna, dia menatap dalam sorot mata Aruna. Rangga tahu Aruna menutupi sesuatu, pria paruh baya itu tahu jika sang putri sedang dalam keadaan kacau saat ini.
"Kamu punya Papa, jangan pernah merasa sendiri."
***
Suara tangisan Aruna terdengar nyaring di kamar mandi. Wanita itu duduk di bawah shower, tubuhnya basah. Kepala Aruna bersandar pada tembok. Dunia wanita itu runtuh, dunianya hancur sejak malam itu—malam di mana dunianya direnggut paksa oleh pria yang bahkan terlalu asing untuk dirinya.
"Tuhan, kenapa harus aku? Kenapa?" Napasnya berat—dadanya terasa sakit, tubuh Aruna lemas.
Bercak kemerahan menyebar di seluruh tubuhnya, Aruna menggosok tubuhnya dengan kasar. Hari ini, dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia memandang tubuhnya dengan tatapan jijik. Menjambak rambutnya, Aruna memejamkan mata, akal sehat wanita itu terenggut.
"Argh ...!" Teriakan itu menggema, teriakan penuh rasa sakit, kecewa, amarah, penyesalan, dan kesedihan.
Bahu Aruna bergetar, bibir wanita itu menggigil. Dinginnya air yang membasahi tubuhnya seakan tak cukup untuk menghanyutkan segala bebannya—beban yang Aruna sendiri tak sanggup memukulnya.
"Gue gagal, gue gagal!" Aruna memukul dadanya berulang kali dengan keras, wanita itu kembali menjerit—kali ini lebih keras dari sebelumnya, teriakannya mampu membuat tembok-tembok di sekitarnya mengiba.
"Gue salah apa sama dia? Kenapa dia tega hancurin gue? Gue bahkan nggak kenal dia. Kenapa, ha? Kenapa?" Aruna terus melantur, wajah frustrasi wanita itu menjelaskan betapa hancurnya mental wanita itu.
Menggeleng keras, Aruna kembali menjambak rambutnya—kali ini lebih keras sehingga helai rambut wanita itu menempel sempurna di tangannya. Rambut indah wanita itu rontok, air mata Aruna jatuh membasahi pipi—rasa sakit wanita itu tak bisa dijelaskan dengan kalimat apa pun.
"Andai ... andai gue nggak ikut, ini pasti nggak akan terjadi, 'kan? Gue nggak akan dihancurin sama kaparat itu!" lirih Aruna, wajah wanita itu linglung.
Berusaha berdiri perlahan, Aruna menjatuhkan seluruh barang yang ada di wastafel. Gadis itu meraih cutter yang ada di wastafel, menatap nanar cutter tersebut—Aruna lantas menggoresnya di pergelangan tangannya, tatapan kosongnya dan tawa sumbangnya. Dunia wanita itu seakan berhenti berputar.