***
Vic baru saja sampai ke Villa Puncak setelah hari mulai gelap. Itu karena Vic berangkat bersama dengan Daniel dan Monic. Monic meminta untuk mampir sebentar di salah satu supermarket, ia membeli beberapa barang yang akan ia butuhkan di puncak nanti, itulah yang membuat perjalanan mereka menjadi terlambat.
Ketika turun dari mobil mereka pun berpisah, Daniel dan Monic menuju kamar Villa Puncak yang sudah mereka booking, meninggalkan Vic yang tidak tahu harus melakukan apa di pojok ruang tunggu.
Victory sebenarnya masih kelelahan karena ikut memeriksa ketidakjelasan dokumen proyek bersama ayahnya semalam suntuk. Hal itu jugalah yang membuat Vic langsung pulang ke rumah setelah mengantar Icha kemarin malam.
Ayah Vic belum menunjuk sekretaris baru setelah dikhianati oleh Pak Bram, padahal Pak Bram sendiri adalah orang kepercayaan ayahnya. Pak Bram yang telah menjual saham tanpa sepengetahuan Randy itu pun langsung menerima surat pemecatannya setelah diketahui menjual saham perusahaan kepada ayahnya Monic. Itulah kenapa Vic harus berkerja keras membantu ayahnya saat ini, ia bahkan menunda pengajuan proposal skripsinya di kampus.
Pria muda itu duduk sembari memijit kepalanya yang berdenyut, padahal ia sudah tidur di mobil sepanjang perjalanan ke puncak, namun kepalanya masih terus berdenyut.
Sekelebat bayangan sosok Icha melintas di hadapan Vic saat itu, membuat pria muda itu penasaran dan berjalan mengikuti sosok itu. Namun Icha tidak sendiri, gadis itu sedang berjalan bersama dengan Aiden yang merupakan teman setongkrongannya.
Vic baru saja ingin menghampiri keduanya tapi senyumannya menghilang ketika mendengar ucapan Aiden. Pria muda itu tengah menyatakan rasa sukanya kepada Icha. Vic refleks menghentikan langkahnya dan berbalik namun ia masih berada disana. Ia masih ingin mendengar respon Icha, namun gadis itu tak mengatakan apa-apa lagi. Disaat yang sama Vic merasa dikhianati oleh Aiden yang jelas-jelas mengetahui perasaannya pada Icha. Vic mengepalkan tangannya lalu beranjak meninggalkan tempat itu.
***
Langit malam yang bertabur bintang mengingatkan Vic saat ia duduk bersama dengan Icha di dermaga. Vic duduk di atas rerumputan area barbeque sembari menyesap bir kaleng di genggamannya. Udara puncak yang dingin seakan tak terasa lagi olehnya saat ini.
"Hey! Kok baru kelihatan?" sapa Icha lalu mengambil duduk di samping Vic.
"Hey... baru setengah jam yang lalu, hmmm kamu sendiri?"
"Aaa... a-aku dijemput Rere tadi siang, bareng mobilnya Aiden..." jelas Icha agak terbata-bata.
"Oh... gitu."
Vic tampak tak bersemangat, Icha pun dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan Vic hari ini.
"Kenapa? Kok lesu banget gitu?"
Vic menyodorkan kaleng birnya kepada Icha. "Enggak apa-apa, mau minum?"
Gadis itu pun menerima kaleng bir itu, lalu meneguknya dua kali. "Aaaassshh... rasanya seger banget."
Vic masih terpaku ketika Icha mengembalikan kaleng bir itu kepadanya. Seakan tak percaya, Icha baru saja minum dari kaleng bir miliknya, tepat di tempat bekas bibir Vic. Pria muda itu pun refleks memegangi bibirnya sendiri.
"Kenapa?" tanya Icha keheranan.
"Eh— enggak, gak apa-apa..." ucap Vic mulai salah tingkah.
Pria muda itu melarikan pandangannya dari manik Icha sembari menyesap bir kalengnya. Seperti ada ribuan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya, Vic tersenyum-senyum sendiri.
Icha dapat melihat dengan jelas sikap aneh Vic, namun ia berpikir bahwa Vic hanya sedang merinding kedingingan. Icha salah paham lagi.
"Udah mulai ngerasa dingin, ya? Jaket kamu dimana?"
"Ah... jaket, ada kok... ketinggalan di mobil."
Icha bergegas berdiri dari duduknya, kemudian mengulurkan tangannya kepada Vic. Pria muda itu lumayan kaget ketika melihat Icha mengulurkan tangan, ia hanya bingung dengan apa yang akan Icha lakukan.
"Hah? Apa?"
"Berdiri lah... ayok kita ke mobil, aku temenin ngambil jaket, kalau kamu sakit disini bisa bahaya..."
Wajah Vic kembali bersemu merah mendengar penjelasan Icha, ia mulai merasakan bahwa ini adalah bentuk perhatian Icha yang khusus hanya untuknya.
Keduanya pun berjalan menuju area parkiran mobil. Tak ada suara, tak ada percakapan, mereka hanya berjalan. Bunyi langkah seakan sedang terekam jelas dalam otak Victory, sesekali Icha melirik ke atas langit yang bertaburan bintang berkelap-kelip.
"Bintangnya cantik banget... jadi inget pas ke danau waktu itu, ya nggak sih?"
"Iya... bintangnya masih sama, kayak kamu."
Icha sontak menoleh, menatap Vic yang juga sedang menatapnya. Hati Icha seakan meleleh, baru saja Icha menyadari ketampanan Victory yang sedang tersenyum menatapnya.
"Jangan gombal... aku lagi nggak pengen berantem loh sama kamu."
Victory terkekeh, Icha selalu mengalihkan topik pembicaraan ketika mereka mulai memasuki pembicaraan tentang hati. Seakan-akan Icha sedang melarikan diri dari kenyataan perasaannya.
"Cha? Kalau misalnya saat ini aku enggak lagi ngegombal, kamu... bisa suka beneran nggak sama aku?"
Icha menatap mata Vic, lalu kembali melihat ke arah langit.
"Bisa jadi... tapi, rasa suka itu bukanlah perasaan yang tulus. Rasa suka itu egois... dan selalu menuntut."
"Maksud kamu?" Vic bingung dengan ucapan Icha barusan.
"Apa ada orang yang menyatakan rasa suka kepada cewek, kemudian tidak menuntut untuk disukai balik? Bullshit tau nggak... kamu melihatnya kan?"
"Hah? Maksud kamu? Aku lihat apa?"
"Kamu lihat Aiden ngungkapin perasaannya ke aku."
Vic refleks menatap Icha, tak percaya kalau ia ketahuan oleh Icha. Gadis itu mengulum senyum lalu mencubit pipi Vic.
"Aaaw! Sakit... iya aku lihat."
Vic memasang wajah cemberut karena dirinya ketahuan oleh Icha, pipinya yang masih terasa nyeri itu pun diusapnya pelan. Rasa sakit di pipinya tak sebanding dengan rasa malunya saat ini. Vic menundukkan wajahnya.
"Apa kamu juga seperti itu?"
Pertanyaan Icha tepat mengenai mental Victory hingga sanggup membuat jantung Vic berdegup kencang. Ia tak menjawab pertanyaan gadis itu, lidahnya serasa membeku.
"Vic?"
"Ah... aku nggak, eh... bukan maksudku... aku... bisakah aku tidak menjawab pertanyaan ini?"
Vic tampak begitu kebingungan, ia protes di akhir ucapannya. Vic memilih untuk tidak menjawab, pertanyaan Icha bagaikan soal matematika yang paling sulit di dunia. Vic bergegas membuka pintu mobil dan mengambil jaketnya.
"Iya... nggak apa-apa, lagipula aku hanya bertanya."
Icha mengambil kaleng bir di tangan Vic lalu meneguk isinya sampai tandas, lantas mengembalikan kaleng itu pada Vic setelahnya.
"Buang sampah sembarangan itu tidak baik, jadi aku kembalikan kepadamu...."
Vic tak dapat berkata apa-apa lagi, ia menerima kaleng itu lalu menatap Icha dengan tatapan bingung.
"Jaketmu sudah ada kan? Aku pergi ke tempat Rere sama Ririn dulu, bye!"
"Bye!"
Icha meninggalkan Vic di parkiran mobil. Gadis itu menjadi canggung karena ulahnya sendiri.
***
“Dan, disini dingin banget… aku nggak tahan dingin,” rengek Monic pada kekasihnya itu.
Daniel masih merapikan barang bawaan mereka, sementara Monic duduk di tepian ranjang sembari memeluk dadanya sendiri.
“Kan ada aku… aku bisa jadi selimut kamu,” ucap Daniel tanpa beban.
“Hey… sudah cukup modusnya, pinggangku sampai mau rontok dihajar kamu tiap malem.”
“Ah… maaf sayang, siapa suruh pakai pakaian kurang bahan… aku nggak mungkin biarin kamu keluar rumah dengan pakaian-pakaian minim kayak gitu kan? Dari pada kamu memancing laki-laki di luar sana mending kamu dirumah aja mancingin aku terus…”
“Dasar m***m!”
Semenjak menjadi sepasang kekasih dengan Monic, Daniel berubah sangat banyak. Ia seakan tak terbendung lagi ketika bersama Monic. Dapat dikatakan jika Daniel sudah kecanduan Monic. Setiap saat ia selalu teringat akan gadis itu, bahkan ketika berada di kelas perkuliahan pun.
“Dan, mama sama papa aku belum tahu soal kita, aku juga bingung mau ngasi tahu dengan cara apa… bilangnya kayak gimana kalau aku… hamil.”
“Kita ketemu sama mama papa aku dulu, habis itu baru ketemu mama papa kamu.”
Monic mengangguk, ia menyetujui rencana Daniel. Beruntungnya Monic tidak muntah-muntah lagi, itu karena ia rajin minum s**u khusus wanita hamil.
“Mon… malem ini kita ngomong ke Icha soal hubungan kita.”
“Oke… aku juga harus minta maaf sama Icha, aku udah banyak salah selama ini. Icha bakal maafin aku enggak ya, Dan?”
“Pasti… Icha anaknya baik, selagi orang itu jujur dan meminta maaf dia pasti akan memaafkan, apalagi sekarang calon ponakannya ada di perut kamu…”
“Baiklah…”
***