"Istirahat yang cukup... aku pulang ya?"
"Oke... hati-hati di jalan," jawab Icha lalu melambaikan tangan.
Mobil Vic langsung tancap gas dari kompleks perumahan Icha. Gadis itu masih berdiri di depan pagar, menunggu mobil Vic menghilang di belokan pertigaan depan. Setelanya Icha langsung disambut oleh Pak Narto yang baru saja membukakan pintu gerbang.
"Oalah... Alhamdulillah, Non Icha udah sampai..." ucap Pak Narto kemudian mengambil alih tas Icha.
"Iya, Pak... Alhamdulillah, oh iya... Papa sama Mama Dinandra sudah balik dari singapore belum, Pak!?" tanya Icha tiba-tiba.
"Iya, Non udah balik semalem. Bapak enggak ngeliat nyonya sih, kalau tuan lagi duduk di ruang tengah sambil mainin leptop," jawab Pak Narto.
Icha terkekeh, karena papanya pasti bukan sedang bermain laptop tapi sedang memeriksa dokumen-dokumen milik perusahaan.
"Oh iya pak, kalo gitu ayo cepat masuk ke dalam... kayaknya mau hujan ini," ajak Icha, mereka serius mengobrol sampai lupa masuk.
Pak Narto menutup pintu gerbang dan membawakan tas Icha ke dalam rumah. "Non, tasnya Bapak taroh disini, ya?"
Icha melihat Pak Narto meletakkan tas ransel
miliknya di atas meja makan. "Iya, Pak... makasih," jawab Icha.
"Loh? Udah sampai?" tanya ayahnya pada Icha.
"Iya, Pa... barusan," jawab gadis itu lalu mengambil duduk di sofa, menghadap tepat pada ayahnya yang sedang bekerja.
"Vic mana? Enggak diajak masuk dulu?" tanya Pram.
Icha menggeleng. "Kayaknya lagi buru-buru mau pulang, Icha nggak ngajak mampir juga sih... males," jawab Icha dengan nada lesu.
"Kok males? Padahal papa sama Om Randy udah bela-belain loh ngirim kalian ke luar kota buat ngurusin bisnis, eh... malah pulang cepet," kata pram sembari melirik anak gadisnya.
"Pa... stop deh rencanain hal-hal yang aneh kayak gitu. Icha gak tau mau ngomong apa di depan klien bisnis papa... untung aja Vic ngerti apa yang harus dilakuin, nah kalo nggak gimana?" protes Icha.
"Kan tinggal taken kontrak kerja doang..." jawab Pram.
"Iya... tapi..." kata-kata Icha terhenti.
"Tapi apa?" desak Pram.
Icha menghela napas panjang. "Icha nggak mau selalu berada di sekitar Vic... Icha nggak nyaman, Icha nggak mau selalu terlibat sama Vic. Icha tau... Papa sama Om Randy rencanain hal ini supaya Icha jadi deket sama Vic, terus jatuh cinta, pacaran, tunangan seperti maunya Papa... gitu kan?"
"Hey... hey... sopan santunnya kemana? Kok malah marah-marah sama Papa?" tegur Pram.
"Nggak... dengerin Icha dulu, Pa... Icha enggak mau bertunangan sama Vic, titik. Nggak pake koma," tegas Icha.
"Alasannya apa? Kenapa ngotot banget enggak mau tunangan sama Vic? Kalian kan sudah sering jalan bersama... apa chemistry-nya masih kurang?" tanya Pram.
"Paaaa... enggak semudah itu, Icha akan bersama dengan pria yang Icha pilih, bukan dengan pria pilihan Papa... Icha enggak mau kalau sampai dibilang ini pertunangan bisnis." jelas Icha lalu beranjak dari sofa.
"Loh? Mau kemana?" tanya Pram, namun anak gadisnya itu tidak menjawab.
Icha menyambar tas ranselnya di atas meja makan kemudian berlari menuju kamarnya. Gadis itu melewati Bik Yati yang baru saja ingin menyapanya, namun Bik Yati mengurungkan niat karena melihat wajah Icha yang terlihat sedang marah.
"Tuan? Non Icha kenapa atuh?" tanya Bik Yati pada Pram.
"Biasalah... Bik, nanti juga bakal hilang kesalnya," jawab Pram.
"Oh... ya sudah, Tuan... saya pamit dulu ke belakang," pamit Bik Yati.
"Iya..." jawab Pram sembari tersenyum tipis.
***
Icha baru saja merebahkan diri di ranjangnya beberapa detik yang lalu sebelum ponselnya berdering. Gadis itu bergegas melihat layar ponselnya yang ternyata adalah panggilan Video Call dari Rere.
"Haiii Cha! Katanya kamu ke luar kota ya kemaren?" tanya Rere.
"Ah... itu... iya disuruh papaku," jawab Icha dengan raut wajah tak suka.
"Hah? Kok lemes banget muka kamu? Katanya pergi bareng sama Vic..." tukar Rere.
"Hah... pergi sama dia tuh biasa aja, ga ada yang spesial pake telor," jelas Icha.
"Terus gimana soal besok? Kamu nggak jadi ikut ke puncak?" tanya Rere.
"Hmmm gimana ya, aku kabarin besok deh, mau tidur dulu yang bener biar tenaga jadi fit lagi," jawab Icha.
"Oke... jangan lupa kabarin, kalo nggak ya terpaksa kita tinggal... hehehe," ujar Rere.
"Yak! Jangan dong!" protes Icha.
Rere tertawa melihat tanggapan Icha. "Ya sudah, cepat tidur biar cepat fit... bye!" pamit Rere.
"Bye!" balas Icha.
Icha tidur terlentang melihat langit-langit kamarnya, ia memikirkan tentang staycation mereka di puncak besok. Bersama dengan teman-teman pasti akan sangat seru dan menyenangkan, pikir Icha.
"Kemana saja, asalkan enggak ada Vic," gumam Icha lalu mulai menutup kelopak matanya perlahan, gadis itu pun terlelap.
***
Pagi hari pun tiba, udara pagi yang dingin membuat Icha betah bergelung di dalam selimutnya. Alarm ponselnya sudah berbunyi sebanyak tiga kali namun tidak ada yang berhasil menarik nyawa Icha kembali ke dunia nyata.
TOK TOK TOK!
"Non?"
TOK TOK TOK!
"Non Icha!" panggil bik Yati, Icha sudah tidur sangat lama.
"Non Icha! Sekarang udah jam sembilan, bangun atuh!" seru Bik Yati.
Bik Yati bergegas membuka pintu kamar Icha yang ternyata tidak terkunci dari dalam. Bik Yati bergegas menghampiri Icha yang masih bergelung selimut.
"Ya.... Iya.... Bik," jawab Icha.
Gadis itu pun bergegas pergi ke kamar mandi dengan langkahnya yang tak tentu arah.
"Non... pelan-pelan aja kalau jalan, nanti bisa kepentok kaki meja," tukas Bik Yati.
"Icha telat Bik, hari ini ada janji sama Temen-temen." kata Icha sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
***
Ting!
Dari : Rere
Cha, gimana jadi pergi nggak?
Cha?
Hallo?
Icha sedang mandi saat Rere mengirimkannya sebuah pesan singkat. Bik Yati yang masih berada di kamar Icha pun tidak berani menyentuh ponsel Icha. Bik Yati hanya melihat notifikasi dari layar ponsei Icha.
Pesan dari Rere (3)
"Non... temennya ngirim pesan," ucap Bik Yati yang sedang menyetrika baju Icha.
"Iyaaaa!" seru Icha dari dalam kamar mandi.
"Non... bajunya udah rapi ya... Bibik mau ke belakang dulu," kata Bik Yati.
Bik Yati hanya bisa geleng-geleng kepala lalu keluar dari kamar Icha.
Beberapa menit kemudian Icha selesai dengan mandinya, ia buru-buru mengeringkan rambut kemudian memakai pakaian yang sudah Bik Yati rapikan tadi.
Ponsel Icha berdering, ternyata panggilan dari Rere. Icha bergegas menerima panggilan telepon itu.
"Hallo, Re... aku baru selesai mandi," jelas Icha di akhir kalimatnya.
"Kamu enggak baca chat aku sih, oh iya...kamu ngajak Daniel?" tanya Rere.
"Eh... aku pernah ngajak sih... tapi enggak tau kalo bakal ikut beneran apa gimana... belum nanya lagi," jawab Icha.
"Tadi Daniel ngechat aku sih, nanya jam berangkat, dia mau bawa mobil sendiri katanya... kamu ikut mobil Daniel apa bareng kita-kita?"
"Aku ikut kalian aja, enggak enak kalau sampai Daniel bawa ceweknya, nanti aku jadi nyamuk lagi disitu." tukas Icha.
"Oke... setelah adzan dzuhur ya... jangan lupa bawa cemilan yang banyak... hehe," Rere terkekeh di akhir kalimantnya.
"Gampang itu mah, kan tinggal mampir ke indomaret atau alfamart aja, ya udah... aku beres-beres barang bawaan dulu," sela Icha.
"Oke, bye!" ucap Rere, kemudian sambungan telepon pun terputus.
Icha melihat notifikasi di layar ponselnya, ia masih belum membuka pesan dari Rere.
Pesan w******p Baru :
Rere (3)
Victory (1)
"Vic..." ucap Icha ketika melihat notif yang baru saja muncul, gadis itu pun membuka Chat dari Victory.
Victory :
Cha, mau ke puncak ya hari ini?
Anda :
Iya...
Victory :
Tumben gercep banget balesnya
Anda :
Iya emang lagi megang hp aja
Victory :
Ok, sampai ketemu di puncak
Anda :
Kamu ikut juga?
Victory :
Iya lah, kan bareng sama anak tongkrongan aku
Anda :
Aaah... oke.
Victory :
Gimana tidurnya? Nyenyak?
Anda :
Lumayan, sekarang udah ngerasa enteng badan aku
Victory :
Baguslah
Icha tidak lagi membalas chat Victory, gadis itu keluar dari kamarnya menuju ke ruang makan. Tidak ada siapa-siapa disana, Icha teringat kalau ia bangun kesiangan. Papa dan Mamanya pasti sudah pergi ke kantor. Icha melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang.
"Bik... Icha laper," kata Icha ketika mendengar bunyi Bik Yati yang sedang menggoreng sesuatu.
"Iya, Non... Bibik lagi goreng ayam ini buat neng Icha," tukas Bik Yati dari dapur.
Gadis itu pun bergegas menyusul Bik Yati, pergi melihat apa saja yang sedang dimasak oleh Bik Yati untuk makan siang nanti.
"Bik... bikin sayur bayem?" tanya Icha ketika melihat sayuran di dalam nyiru.
"Iya Non... Den Daniel suka banget makan sayur bayam," ucap Bik Yati.
"Eh, Bik... ngomong-ngomong selama Icha pergi, Daniel sempet dateng ke rumah nggak Bik?" tanya Icha penasaran.
"Hmmm... Bibik belum ngeliat Den Daniel lagi sih... kayaknya belum pernah pulang lagi," jawab Bik Yati.
"Oooh... ya udah, Icha mau ke kamar lagi...
Icha mau beres-beres barang bawaan Icha dulu," ucap Icha.
"Mau kemana lagi, Non?" tanya Bik Yati.
"Mau ke puncak, Bik... nanti tolong bilangin ke Papa sama Mama ya," jawab Icha.
"Baik, Non..."
Icha bergegas menuju kamar setelahnya, ia menyambar ponselnya di atas ranjang dan menelepon Daniel.
Tut! Tut! Tuuuut!
Namun Daniel tidak mengangkat panggilan telepon dari Icha.
"Payah... pasti lagi bareng Monic," gumam Icha.
***
“Gimana perkembangan Icha sama Vic?” tanya Randy.
“Kalau kulihat-lihat Vic tidak ada masalah, tapi Icha… anaknya keras kepala sekali. Aku bingung mau pakai cara apa lagi menghadapinya…” jelas Pram.
Kedua pebisnis itu sedang berada di sebuah restoran, Randy mengajak Pram bertemu untuk membahas masalah kedua anak mereka, mereka sudah terlanjur menjanjikan sebuah pertunangan pada publik demi membantah berita skandal antara Icha dan Daniel.
“Gak ada cara lain selain tegas pada anak-anak itu, bahwa semua ini untuk kepentingan mereka, bukan untuk bisnis… meskipun publik pasti akan melihat langsung kesana.” sanggah Randy.
“Iya… aku sudah coba ngomong sama Icha, tapi anaknya yang kayak tidak mau tahu banget, mungkin dia lupa bahwa pemberitaan online itu bisa saja mencuat kembali ketika mereka tahu bahwa Icha dan Vic tidak jadi bertunangan. Hal itu pasti akan menimbulkan banyak tanda tanya, dan pers pasti akan mengangkat hal itu sebagai bahan.” tukas Pram.
“Sebenarnya aku agak curiga dengan ayahnya Monic, dia masih memiliki saham di yayasan… aku curiga hal ini akan digunakannya untuk mengambil alih pengelolaan yayasan,” Randy tampak cemas.
“Berapa persen?” tanya Pram.
“3,7 persen, lima persen lebih banyak dari saham kamu,” jawab Randy.
“Lalu bagaimana cara kamu menanggulangi masalah ini?” tanya Pram.
Randy menatap Pram kemudian, “Vic harus bertunangan dengan Icha, untuk menambah saham kamu… sebanyak delapan persen.”
Pram terdiam, artinya mereka memang harus memaksa Icha melakukan pertunangan. Bukan lagi tentang pertunangan bisnis, tapi ini demi menyelamatkan yayasan.
***
“Mon? Bangun…” Daniel membangunkan Monic yang masih bergelung disisinya.
“Hmmm… aku masih ngantuk,” sela Monic lalu berbalik membelakangi Daniel.
“Mon… kita ke puncak hari ini,” bujuk Daniel agar gadis itu segera bangun.
“Nggak mau… kita dirumah aja,” jawab Monic.
“Kalau dirumah aja ya nggak apa-apa juga sih… tapi kamu sanggup nggak?” tanya Daniel.
Mata Monic langsung terbuka lebar mendengar pertanyaan Daniel. “Nggak! Aku nggak siap hari ini!” panik gadis itu.
Daniel terbahak setelahnya, Monic sampai minta ampun karena Daniel minta jatah semalaman. Wajah Monic berubah merah, gadis itu bergegas bangun berlari ke arah kamar mandi tanpa sehelai benang pun.
“Kamu mau aku mandiin?” tanya Daniel dengan suara keras agar gadis itu dapat mendengarnya.
“Enggak! Aku bisa sendiri!” jawab Monic dari dalam kamar mandinya.
Daniel terkekeh lalu mengusap rambutnya yang acak-acakan. Pria itu merasa bangga karena sudah membuat Monic kewalahan semalam suntuk.
“Yang bener aja… pinggangku seperti mau lepas, Daniel memang gila! Untung saja bayinya masih kecil dan kuat, kalau enggak bisa bahaya…” gumam Monic sembari menggosok tubuhnya dengan sabun.
Sangat berlawanan dengan wajah imut seperti bayi yang dimiliki pria tampan itu, Daniel ternyata memiliki stamina layaknya kuda liar. Terlihat jelas dari tubuh Daniel yang begitu atletis, membayangkannya saja sudah membuat jantung Monic berdegup kencang.
TOK TOK!
“Mon? Boleh aku masuk?” tanya Daniel dari luar.
“Gak! Kamu pakai kamar mandi di luar aja!” ketus Monic.
“Oke!” jawab Daniel diselingi kekehan, langkah kaki Daniel terdengar menjauh dari pintu kamar mandi.
“Haaah… Dasar m***m!” kata Monic sembari menghela napas lega.
“Gila aja sih, bisa gawat kalo sampai Daniel masuk kesini, yang ada aku bakal di serang lagi… dan kita gak bakalan pergi kemana-mana,” gumam Monic sembari menggosok sabun ke tubuhnya.
***
Tin! Tin!
“Chaaaa! Ichaaa!” teriak Ririn dari depan gerbang rumah Icha.
“Iyaaaa!!! Sebentar!” teriak Icha dari arah pintu.
Jemputan Icha sudah datang, gadis itu akan pergi dengan teman-temannya.
“Hay… Cha!” sapa Aiden yang menjadi driver mereka hari ini.
“Hay… Den… udah lama ga ketemu,” Icha menyapa balik pria muda itu.
“Hmmm… udah biasa aja tatapannya, ya nggak Cha?” goda Rere yang jelas melihat Aiden yang terpana menatap Icha.
“Husss sudah-sudah… ayo berangkat!” ucap Icha ketika ia sudah duduk di dalam mobil.
“Let’s go!!!” seru Rere, dan mobil pun langsung tancap gas.
***