"Ra, kamu mandi duluan?"
"Memangnya kenapa?"
"Harusnya mandi bareng gitu," kata Elang sambil melepaskan jasnya.
Rara terdiam, ia melanjutkan mengeringkan rambut. Sementara Elang yang sekarang hanya memakai boxer, terbaring kelelahan."Kamu enggak mandi gitu?"
"Enggak. Masih wangi ini."
"Ya udah, aku males deket-deket kamu."
"Memang kalau aku mandi kamu mau deket-deket aku?" Elang langsung duduk dan bersemangat.
"Enggak juga."
"Yah!" Elang terlihat kecewa. Ia tahu, bisa melakukan hubungan suami isteri masihlah tidak mungkin. Ia juga tidak bisa langsung memaksa Rara agar mau bercinta dengannya.
Rara berdiri, lalu berbaring di tempat tidur. Ia melirik ke arah Elang yang menatapnya."Ada apa?"
"Kamu cantik!"
Wajah Rara terlihat datar, lalu ia menarik selimut dan tidur. Tapi, tiba-tiba Elang memeluk Rara.
"Elang!"pekik Rara.
Elang tidak peduli."Hei, jangan berisik. Udah malam. Kamu isteriku, kan.. aku berhak memeluk kamu. Tenang aja...aku cuma mau peluk. Tapi, kalau kamu mau yang lebih...dengan senang hati, Ra."
"Awas kalau berani macem-macem."
"Iya."
Rara terdiam, ia mengantuk sekali. Tidak ada waktu untuk memperdebatkan hal tersebut. Ia mengalah, kemudian memejamkan matanya dan tertidur.
**
Pagi ini, Rara menggeliatkan badannya saat mendengar suara berisik dari luar kamar. Ia melihat Elang masih di sampingnya tertidur.
"Elang," panggil Rara sambil mengguncangkan tubuh suaminya.
"Iya?" Spontan Elang terbangun.
"Di luar kok kayak ada orang ya...jangan-jangan ada maling," kata Rara.
Elang menajamkan pendengarannya. Benar apa yang dikatakan Rara. Ia segera bangkit dan keluar kamar secara perlahan. Rara mengikutinya dari belakang. Mereka sama-sama terkejut saat melihat kedua Mama mereka, Tina dan Sumi sibuk di dapur.
"Mama ngapain di sini?" tanya Rara.
Sumi dan Tina menoleh bersamaan.
"Eh, pengantin baru sudah bangun. Gimana tidurnya? Enak?" tanya Tina dengan ceria sekali.
"Ya gitu, Mi, agak pegal karena baru resepsi semalam, kan." Rara tersenyum.
"Kalian udah...balik aja sana ke kamar kalau masih ngantuk. Urusan dapur...biar jadi urusan kami berdua,"kata Sumi.
"Tapi, Ma..." Rara menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Sumi mendorong Rara dan Elang ke kamar mereka."Pokoknya, istirahat aja. Keluar kamar kalau lapar. Kalian harus selalu bersama biar cepetan punya anak."
Rara dan Elang kebingungan, mereka masuk ke kamar. Keduanya bertukar pandang.
"Kita enggak lagi di rumah kamu atau di rumahku, kan?"tanya Rara.
Elang menggeleng."Enggak. Ini rumah kita."
"Terus...Mama sama Mami kenapa di sini," tunjuk Rara ke arah pintu sambil kebingungan.
"Mami punya kunci cadangannya, kemarin aku minta tolong buat beliin sesuatu buat di rumah ini. Sorry...aku enggak nyangka kalau Mami bakalan datang ke sini."
"Ya enggak apa-apa, sih, cuma...kan enggak enak kita disuruh tidur malah Mama sama Mami yang masakin buat kita."
"Ya udah...mungkin mereka paham kalau kita kecapekan, enggak sempat masak. Anggap aja...itu sebagai salah satu bentuk kasih sayang orangtua kita. Jangan dipikirin. Yang perlu dipikirin adalah...keinginan mereka yang begitu besar."
"Apa itu?"
"Supaya kamu hamil. Mami udah pengen banget punya cucu. Soalnya aku kan anak pertama," jelas Elang sambil merebahkan badannya di tempat tidur.
Rara langsung terdiam. Ia mau saja hamil. Tapi, untuk melakukan hubungan itu ia belum siap karena ia tidak mencintai Elang. Ia tidak bisa melakukan hubungan itu tanpa cinta."Aku...enggak tahu. Kamu tahu, kan...kalau kita sudah punya perjanjian semalam."
"Ya itu kan kalau kamu enggak bersedia. Kalau kamu bersedia, perjanjiannya kan enggak berlaku lagi. Semua itu intinya di kamu kok, Ra."
"Aku belum siap!" Rara pergi ke kamar mandi. Ia tidak ingin membicarakan masalah hubungan badan dengan suami yang tidak dicintainya itu. Ia tahu, ia sangat berdosa menolak itu. Tapi, ia sendiri tidak memiliki rasa apa pun.
Elang menatap Rara dengan sedikit kekecewaan. Ia tidak marah pada Rara, karena wanita itu tidak bisa disalahkan. Ia juga yang sedikit memaksa Rara agar menikah dengannya. Rasanya juga sudah untung Rara tidak bersikap dingin padanya. Mungkin ini hanya masalah waktu.
Elang mengaktifkan ponselnya. Kemudian, keningnya berkerut saat melihat banyak pesan masuk. Beberapa teman mengucapkan selamat atas pernikahan sekaligus meminta maaf karena tidak bisa hadir. Ia membalasnya satu persatu. Lalu ada sebuah pesan yang menarik perhatiannya. Dari orang yang kontaknya tidak ia simpan. Namun mengirimkan pesan sampai ratusan chat. Elang hendak mengklik foto kontak tersebut untuk melihat siapa wanita itu. Tapi, ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk.
"Halo?" jawab Elang sambil menguap.
"Elang!" Suara yang seksi terdengara dari seberang sana. Tapi, suara itu benar-benar tidak menarik minat Elang berhubung di hatinya sudah ada Rara.
Elang terdiam, suara itu tidak asing. Ia berusaha mengingat si pemilik suara."Iya. Siapa ini?"
"Kamu beneran enggak save nomor aku, Lang? Ini Esti."
Elang memejamkan matanya."Oh, ada apa, Es?"
"Kamu...beneran nikah? Aku tahu kabar ini dari temen-temen. Kemarin aku hubungin kamu enggak bisa. Enggak aktif."katanya dengan suara tertahan.
"Iya. Aku beneran nikah," jawab Elang dengan nada malas. Untuk apa berlama-lama bicara dengan orang tidak penting, apa lagi bisa menjadi potensi perusak rumah tangganya.
"Aku enggak percaya." Dengan nada tegas dan sok marah, Esti menyangkalnya.
Elang memutar bola matanya. Siapa yang peduli Esti percaya atau tidak. Dia itu bukan siapa-siapa."Ya sudah. Aku enggak butuh sebuah kepercayaan darimu."
"Elang...."
"Ya?"jawab Elang malas. Ia ingin segera mengakhiri sambungan telepon ini dan bercinta dengan sang istri, Tapi, itu masih khayalan. Ia harus masih bersabar sampai pantatnya lebar.
"Kenapa kamu setega ini?" Suara Esti terdengar begitu lirih. Mungkin sengaja, supaya Elang kasihan.
Elang tertawa geli di dalam hati. Baru saja akan menjawab, Rara muncul dengan pakaian lengkap. Elang tersenyum melihat keindahan itu. Ia tidak peduli dengan telepon itu. Ia langsung memutuskan sambungan dan menon-aktifkan ponselnya.
"Kamu mandi sana," kata Rara.
Elang memeluk bantal guling dengan malas."Nanti,”jawabnya dengan tatapan memuja.
Rara mencebik, sedikit tidak nyaman mendapat tatapan seperti itu."Mami nungguin loh di luar. Enggak enak kalau kita lama-lama di kamar."
"Kan kita disuruh berlama-lama."Selalu saja ada jawaban untuk mengelak.
"Ya enggak gitu juga. Kita juga harus punya perasaan lah bikin orangtua capek." Rara menarik tangan Elang dengan paksa.
"Ya udah...aku mandi." Elang mengalah. Ia segera mandi. Setelah selesai, ia dan Rara keluar kamar bersamaan.
Tina dan Sumi tersenyum penuh arti ke arah kedua anak mereka.
"Hai, Ma, Mi!" Rara dan Elang duduk di meja makan.
"Rambut kamu kok enggak basah, Ra?" Tina memegang rambut Rara.
Rara melirik Elang, ia cukup kaget kalau mertuanya sampai memerhatikan dengan begitu detail.
"Kalian...enggak ngapa-ngapain semalam?" tebak Tina sambil menatap ke anaknya.
Elang tertawa kecil."Belum, Ma. Kan...capek banget. Gitu nyampe rumah kita langsung tidur. Kasihan kan Rara...kalau Elang paksa."