Tina mengangguk-angguk."Iya juga ,sih. Ya udah...sini kalian berdua makan."
"Kita berdua...udah masakin yang enak dan bergizi. Nah, Rara...ini minum s**u persiapan hamil." Sumi menyodorkan segelas s**u.
Rara tersenyum miris."Tapi, Rara belum hamil, Ma."
"Ini bukan s**u hamil. Tapi, s**u persiapan kehamilan. Ayo minum," paksa Sumi.
Elang menahan tawanya. Kemudian ia pura-pura mengunyah saat Rara melayangkan tatapan tajam padanya.
"I...iya, Ma." Rara terpaksa meminumnya sampai habis. Setidaknya ia juga harus menghargai Mamanya yang sudah capek membuatkan s**u dan masak untuknya.
Sumi dan Tina tampak memekik kegirangan. "Sebentar lagi kita punya cucu."
Elang dan Rara bertatapan. Ekspresi keduanya berbeda, tapi sulit diartikan.
Rara menyikut lengan Elang, matanya terus memerhatikan kedua Ibu mereka yang sedang cekikikan di teras samping. Ini sudah hampir malam, tapi keduanya belum juga pulang.
"Kenapa, Ra?" tanya Elang yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya.
"Mama sama Mami di sini sampai kapan?" bisik Rara.
Elang melihat ke arah teras."Memangnya kenapa? Enggak apa-apa kan mereka di sini. Kan orangtua kita."
"Tapi, masa kita dilayani terus. Aku tuh ngerasa enggak enak. Ini mau sampai makan malam gitu kita dimasakin?"
"Kamu bisa masak?"
"Bisa."
"Ya udah...nanti kamu yang masak aja kalau ngerasa enggak enak sama mereka. Lagi pula...besok juga pasti mereka udah balik. Tenang ya." Elang mengusap kepala Rara.
"Aku udah coba masak, tapi dilarang sama Mami."
"Ya udah, terima aja kalau gitu. Kita hargai keinginan Mama sama Mami untuk masakin kita hari ini. Kan cuma hari ini, sayang."
"Oke deh."
Rara memerhatikan layar laptop Elang. Ada beberapa grafik di sana."Kapan kamu masuk kerja?"
"Ya Senin dong, ini masih Sabtu...weekend sekalian libur setelah menikah. Maaf, ya...aku enggak bisa libur lama."
"Enggak apa-apa. Aku boleh urus toko lagi enggak?'
"Enggak boleh."
"Yah!" Rara mendesah kecewa.
"Toko itu kan usaha keluarga kamu. Sekarang...kamu itu udah jadi isteriku. Tanggung jawabku. Jadi, kalau butuh apa-apa bilangnya sama aku. Enggak perlu kerja lagi."
"Aku belanjanya banyak loh! Makanku juga banyak."
"Enggak sampe bikin aku jual saham, kan?" balas Elang tak mau kalah.
Rara terkekeh."Bisa iya bisa enggak."
"Ra, kapan kamu sayang sama akunya?" tanya Elang tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
"Kenapa nanyain itu? Kita baru kemarin menikah, Lang. Dua Minggu kenalan."
"Itu belum cukup?"
Rara mengangkat kedua bahunya. "Enggak tahu."
"Ra, kita itu sudah menikah...mau tidak mau kamu harus sayang sama aku. Karena kita akan selamanya bersama."
Rara tertunduk sedih, ia berusaha menyembunyikan wajahnya. Kemudian ia pergi ke kamar."Aku ke kamar dulu."
"Rara..."
Rara tidak menjawab. Sementara Elang mendesah kecewa. Ia begitu memaksakan Rara agar menyayanginya.
"Elang, Rara mana?"tanya Tina.
"Di kamar, Mi. Tadi agak pusing katanya."
"Kami pulang dulu, ya. Makan malamnya sudah kami sediakan. Kalian baik-baik di rumah," kata Sumi.
Elang mengangguk."Terima kasih, Ma, Mi. Elang antar pulang ya."
"Jangan. Kami sudah dijemput di depan. Kamu temeni Rara aja. Siapa tahu dia butuh bantuan kamu."
Elang mengangguk, ia mengantarkan Tina dan Sumi sampai ke mobil. Setelah itu ia kembali masuk. Merapikan laptopnya lalu ke kamar mencari Rara.
Isterinya itu sedang berbaring.
"Ra, makan yuk," panggil Elang sambil duduk di sisi tempat tidur yang kosong."Makan malam udah disiapin tuh. Terus...Mami udah pulang juga barusan."
"Makan duluan aja." Suara Rara terdengar begitu dingin.
Elang berbaring di sebelah Rara, lalu memeluknya dari belakang."Kenapa, sayang? Kamu marah sama aku?"
"Aku ngantuk. Kamu makan aja duluan, nanti kalau aku lapar bakalan makan kok."
"Ya udah...aku juga nanti." Elang mengecup pipi Rara dan terus memeluk isterinya itu.
"Ra," panggil Elang setelah beberapa menit mereka begitu hening.
"Hmmm." Rara hanya bergumam.
"Aku sayang kamu, Ra."
Jantung Rara berdegup kencang, perasaannya menghangat mendengarkan ungkapan cinta setelah tiga tahun lamanya ia menyendiri.
Rara berbalik arah, menatap Elang di hadapannya."Aku tahu, Elang. Tapi, beri aku waktu untuk belajar mencintai kamu. Jangan pernah memaksaku, karena aku akan semakin menghindar."
"Aku akan sabar, Ra," ucap Elang lirih. Ia harus bersabar meskipun miliknya sudah mengeras di bawah sana.
**
Ini hari senin, Elang sudah mulai kembali bekerja. Rara memulai hidup barunya sebagai Ibu rumah tangga. Setiap pagi ia menyiapkan sarapan untuk Elang, mengerjakan pekerjaan rumah. Lalu ia menunggu Elang pulang. Pria itu selalu pulang sampai larut malam karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Begitu sampai di rumah, ia langsung tertidur. Begitu seterusnya sampai weekend lagi.
Rara bangun dari tidurnya, melirik ke arah Elang yang masih tertidur pulas. Ia lantas menggulung rambut panjangnya dengan asal, lalu pergi sikat gigi dan cuci muka. Rara menatap seisi rumah yang berantakan akibat ulah Elang semalam. Suaminya itu begadang untuk menyelesaikan pekerjaan lagi. Rara berpikir harus segera merapikannya lalu setelah itu menyetrika pakaian mereka.
Elang terbangun, matahari sudah bersinar cerah. Ia melirik jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Ia melihat Rara sudah bangun. Elang keluar kamar, mencari sang isteri. Akhirnya ia menemukan Rara sedang menyetrika di belakang. Ia tersenyum penuh arti. Biar pun katanya Rara menikah dengannya secara terpaksa, wanita itu tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga sesungguhnya.
"Ra," panggil Elang.
Rara menoleh."Iya?"
"Aku udah bangun," kata Elang yang kemdudian langsung pergi usai member laporan. Sebenarnya ia ingin ketika bangun, Rara masih ada di sebelahnya, bisa dipeluk dan dicium. Ia ingin dimanja saat matanya terbuka. Tapi, apalah daya, ia harus terima keadaan sementara ini.
"Iya, sebentar." Rara meletakkan setrikaannya. Kemudian pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi Elang. Sementara itu, Elang melakukan olahraga kecil di teras samping. Ia ingin menjaga bentuk badannya agar selalu bagus. Mungkin saja, nanti Rara akan tertarik dan hatinya mulai luluh.
Rara datang membawa secangkir teh dan roti bakar. Ia tahu makanan apa yang dimakan Elang setiap pagi dari Mama mertuanya.
"Terima kasih, Sayang," kata Elang sambil menatap wajah Rara dengan intens.
"Sama-sama."Rara menjawab dengan datar.
"Boleh peluk enggak, sih, sini...sini..." Elang merentangkan kedua tangannya. Rara mendekat, sudah bersedia dipeluk. Elang memeluk dalam posisi duduk, lalu kepalanya bersandar tepat di d**a Rara.
"Ra, empuk banget," katanya sambil menggerakkan kepalanya berkali-kali dengan pelan.
Rara terdiam, lalu merasakan dadanya seperti ditekan-tekan oleh kepala Elang."Ih, apaan, sih. Niat banget!!”Matanya melotot [ada Elang yang sudah berusaha mencari kesempatan di saat ia lengah.
"Ya kan ...kamu isteriku, ya enggak apa-apa dong, Ra. Kamu tega banget, sih!" kata Elang dengan nada manja.
"Tau, ah...aku mau lanjut nyetrika," kata Rara sambil pergi dari sana.
"Ra..." Elang hanya bisa gigit jari dengan wajah yang terlihat sangat menginginkan tubuh sang isteri. Ia pun segera sarapan sambil membayangkan bentuk tubuh isterinya.”Ah, Rara…tega banget, sih, Ra!” Pria itu hanya bisa menerima nasib.