1. Seseorang dari masa lalu
Bulan september tiba, masa liburan Katria sudah berakhir, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan apalagi bergulung di bawah selimut tebal karena dinginnya cuaca saat pagi. Hari ini dia sedang bersiap-siap untuk mengikuti OSPEK di kampus. Sesuai peraturan yang telah diberitahukan dua hari yang lalu saat pembekalan, Katria sudah siap dengan seragam dan membawa beberapa alat dan bahan yang memang sudah dia catat sesuai perintah senior.
Setelah sarapan Katria berpamitan dan menyalami papanya. "Semoga ospek kamu untuk empat hari ke depan berjalan lancar, Sayang."
Katria memeluk papanya erat. "Pasti bakalan lancar, Pa."
"Jangan membuat ulah kamu sudah menjadi mahasiswi sekarang, jangan kebut-kebutan di jalan karena itu bahaya."
"Siap, Bos. Katria berangkat."
Sebenarnya Katria masih rada takut untuk mengemudi mobil karena trauma tempo dulu, tetapi sebisa mungkin Katria berusaha melawan rasa takut itu. Jika Katria tidak mencoba, maka selamanya dia akan merasa takut.
Katria mengemudi dengan santai, tidak terburu-buru karena jam setengah delapan masih sekitar 45 menit lagi. Katria bisa memastikan bahwa dirinya tidak akan terlambat. Setelah selesai memarkirkan mobilnya, Katria mengecek ponsel dan ternyata tidak ada satupun notifikasi dari Alvan. Katria memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya dan berjalan menuju aula.
Untuk hari pertama penyambutan memang di lakukan di aula. Katria melihat seorang lelaki yang sangat dia kenali. Katria berlari kecil untuk mengejar langkah kaki cowok itu dan menepuk pelan bahunya. "Hai, Rafka. Lo kuliah di sini juga ternyata."
"Eh, Katria. Lo juga lanjut ke sini, gue kira bakalan keluar negeri. Gue Jurusan Hukum, kalau lo?"
"Wah, sama. Kelompok berapa lo?"
"37," jawab Rafka.
"Seriusan? Gue juga kelompok 37. Kenapa pas pembekalan kemarin gue gak lihat lo di kelompok ini?"
Rafka tersenyum dan menggaruk kepalanya. "Gue kemarin gak datang pas pembekalan karena ketiduran, terus gue coba hubungin senior tanyain gimana nasib gue. Kata senior kelompok 37 kekurangan anggota, ya udah gue dimasukin ke kelompok ini deh."
"Dasar tukang tidur. Makanya malam jangan jadi kelelawar."
"Iya, bawel."
Setelah menemukan keberadaan kelompok 37. Katria dan Rafka langsung bergabung dengan teman-teman barunya.
"Perhatian semuanya, saya harap tidak ada yang berbicara saat presiden mahasiswa kita menyampaikan beberapa arahan. Bisa dimengerti semua?"
"Bisa, Kak."
"Saya percaya kepada kalian. Jangan bersikap seperti anak sekolahan karena sekarang kalian sudah berstatus sebagai mahasiswa. Kepada presiden mahasiswa kami persilakan untuk menyampaikan beberapa arahan."
Lelaki yang memakai almamater berwarna kuning menaiki panggung yang telah disediakan. Postur tubuh yang tegap, dan auranya yang terlihat wibawa. Tepat saat pandangan matanya bertemu dengan Katria yang kebetulan duduk di barisan paling depan, pas berhadapan dengan panggung. Cowok itu menyunggingkan senyuman tipis, seolah memberikan makna "selamat datang" untuk Katria.
Katria yang awalnya berencana untuk fokus mendengarkan arahan dari senior mendadak ambyar. Ada banyak pertanyaan kenapa cowok itu ada di sini? Tidak mungkin Liam di sini, dia sudah pindah keluar negeri beberapa tahun yang lalu. Lantas, bagaimana dengan kehadiran senior di depannya yang sekarang menatapnya tanpa kedip?
Selama Katria berada di aula dia sama sekali tidak menemukan Alvan, lelaki itu seperti hilang atau memang dirinya tidak hadir hari ini? Tetapi tidak mungkin jika Alvan tidak hadir, tadi pagi saja Alvan meminta menjemput Katria, hanya saja Katria menolak karena tidak mau merepotkan pacarnya.
Ospek hari pertama telah usai, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Katria berjalan ke parkiran seorang diri, dia dan Rafka sudah berpisah karena Rafka harus membantu kakak pembimbing untuk mengurusi data kelompok mereka.
Katria membuka pintu mobil, saat hendak masuk ke mobil seseorang menepuk pundaknya. Katria berbalik karena dia pikir itu Alvan, nyatanya bukan. Dia kesal kenapa harus kembali bertemu dengan cowok ini.
"Hai, lama banget kita gak ketemu. Lo makin cantik aja sekarang, untungnya gue masih bisa mengenali lo dengan sangat baik."
"Lo ada perlu apa sama gue?" Katria berujar sinis.
"Uh, seremnya. Jangan cuek gitu dong, gue takutnya makin suka."
"Apa mau lo sebenarnya Kak Liam?"
"Gue mau kita pacaran," jawab Liam santai.
"Lo gila, ya? Gue udah punya pacar."
"Tinggal putusin doang 'kan gampang."
"Kalau ngomong doang emang gampang karena gak tau gimana rasanya. Kayaknya lo kebanyakan mimpi deh, bangun, Kak!"
Katria hendak masuk ke mobilnya, tetapi lagi-lagi Liam menarik tangan Katria hingga gadis itu kembali berdiri menatapnya. "Lo kuliah di sini sama aja kayak nyamperin gue dengan sengaja. Atau emang lo mau ketemu gue? Tapi berlagak sok jual mahal dulu biar gue ngejar, gitu?"
"Gue sama sekali gak tau kalau lo kuliah di sini, gak usah kepedean! Kalau gue tau lo kuliah di sini. Gue gak akan sudi kuliah di sini dan satu kampus sama lo!"
"Udah dibilangin jangan serem gitu, pakai cara melotot lagi . Ya udah deh kalau emang gak tau, tapi kayaknya kita emang sengaja dipertemukan di sini atau jangan-jangan kita jodoh?" Liam menaikkan sebelah alisnya.
Saat Katria hendak menjawab pertanyaan Liam, datanglah Alvan yang sedari tadi Katria cari keberadaannya. "Kak Liam," sapa Alvan.
"Hai."
"Lagi bahas apa sama Katria? tanya Alvan.
"Sesuatu yang gak penting, Van." Katria menjawab.
"Cuma lagi ngobrol aja sama temen SMP adik gue," ujar Liam.
"Oh iya, Kak. Michelle apa kabar?" tanya Alvan.
"Gak sebaik dulu."
"Michelle kenapa?" tanya Alvan lagi.
"Dia baik. Hanya saja gak sebaik dulu, gue duluan, ya."
Liam meninggalkan Katria dan Alvan, Katria tidak mengerti apa maksud dari ucapan Liam barusan, kenapa dengan Michelle? Semenjak lulus SMP Katria tidak pernah lagi bertemu dengan Michelle yang selalu menjadi rivalnya dalam meraih peringkat kelas, mereka tidak bermusuhan. Hanya saja awalnya Michelle terlihat seperti membenci Katria, tetapi setelah saling mengenal mereka berteman baik.
"Kok bengong?"
"Eh, gak kok, Van. Eum, kamu tau kalau kak Liam kuliah di sini juga?" tanya Katria.
"Tau, kenapa?"
"Dia kuliah jurusan apa?" tanya Katria lagi.
"Hukum kayaknya."
Katria menepuk pelan jidatnya, kenapa dia harus berada di jurusan yang sama dengan seseorang yang tidak ingin dia temui. "Kamu kenapa sih?"
"Gak apa-apa."
"Kenapa sih, aku penasaran."
"Gak apa, Van. Aku duluan ya, capek banget soalnya."
Alvan membiarkan Katria pergi meskipun masih banyak hal yang mengganjal di hatinya.
***
Setelah mandi serta shalat Maghrib, Katria berbaring di kasurnya melepaskan penat karena terlalu capek mengikuti ospek tadi.
Ponsel yang dia letakkan di atas nakas berdering, Katria meraih ponselnya. Awalnya dia pikir Alvan yang meneleponnya ternyata bukan.
"Halo, ini siapa?" tanya Katria, karena nomor yang meneleponnya tidak tersimpan di kontak Katria.
"Gue."
Suara itu, tanpa perlu bertanya pun Katria sudah tau siapa pemilik suara serak yang berada di seberang sana. Katria hendak mematikan sambungan ponselnya, tetapi tidak jadi karena ucapan Liam.
"Jangan matiin, kalau lo matiin gue bakalan ke rumah lo."
"Dari mana dapat nomor gue?" tanya Katria langsung.
"Lo itu mahasiswa baru, terlalu gampang buat cari nomor lo."
"Kalau lo gak perlu apa-apa gue matiin sekarang."
"Tunggu!"
"Jadi lo perlu apa sama gue?"
"Jadi pacar gue."
"Lo kebanyakan mimpi."
Katria mematikan sambungan telepon bahkan mematikan ponselnya, malas jika Liam kembali meneleponnya.
Katria berbaring sambil mengingat masa lalunya. William Reanza, lelaki yang Katria kenal sebagai kakak dari teman sekelasnya yang bernama Michelle. Awalnya Katria hanya sekedar berteman dengan Liam. Namun lambat laun dia mulai jatuh hati pada lelaki yang usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya.
Katria ingat bagaimana dulu dirinya pernah menyatakan perasaannya, namun saat itu dewi fortuna tidak berpihak kepadanya. Liam mengatakan bahwa dirinya memiliki pacar saat itu. Mulai hari itu, Katria sudah jarang bermain dengan Michelle, Michelle juga terlihat semakin membencinya saat Katria sudah berteman akrab dengan Rhea dan Zela.
Sejak saat itu pula, dia mulai mengangumi Alvan dan melupakan Liam. Katria tau bahwa cintanya kepada Liam hanyalah cinta monyet, karena setelah jatuh hati kepada Alvan dia tidak pernah tertarik dengan lelaki mana pun.
Lalu kenapa dengan sekarang? Kenapa Liam kembali hadir? Katria bingung dengan rencana yang sudah di atur oleh semesta. Katria tidak tau apa yang bakalan terjadi kedepannya. Hanya satu yang terlintas di benak Katria sekarang.
Bagaimana kah keadaan Michelle? Di mana gadis itu sekarang menempuh pendidikannya? Katria ingin bertemu Michelle, ingin bertanya bagaimana keadaan teman SMP-nya itu. Hanya dari Liam dia bisa mendapatkan Informasi, tetapi dia terlalu malas jika harus bertemu dengan lelaki itu. Katria lelah berpikir, dia tertidur karena kelelahan.