Jakarta, 2021.
Grizella bukan sosok cantik bak Dewi Yunani yang kemudian memiliki segudang prestasi seperti kebanyakan tokoh utama dalam sebuah cerita. Rambutnya juga tidak pirang, hanya hitam yang dicat cokelat muda, namun tampak pas di kulitnya. Matanya bukan biru safir layaknya putri cantik untuk pangeran, melainkan cokelat terang dengan binar tulus dan ceria. Dia tidak tinggi menjulang dan berbody layaknya gitar Spanyol seperti idola anak sekolah. Grizella sangat-sangat biasa, tapi dia tergolong cantik dengan porsi yang dia miliki.
“Njir, lo harus lihat Aarave post buat lo!”
Grizella menatap Pita dengan wajah bingung. Seperti tidak mungkin, mereka sudah selesai sedari kemarin. Meski begitu, Grizella tetap meraih ponselnya, mencoba mencari instastory milik Aarave.
Thank you? @zella_qeenR
Grizella mematung di tempat. Fotonya yang tersenyum bahagia bersama Aarave diberi caption seperti itu, bahkan foto cetak itu terbelah dua, memisahkan gambar dirinya dan laki-laki itu. Ah, apa mungkin ini cara yang Aarave pilih untuk mengumbar putusnya hubungan mereka?
“Lo putus, La?” tanya Loka begitu hati-hati.
Grizella tidak bisa berkata iya, dia hanya mampu menatap dua sahabatnya itu dengan pandangan memelas.
“Kok bisa? La, kalau Raka–”
“Nggak masalah kok, lagian salah gue juga yang terlalu bebasin dia.”
“Maksudnya?”
Grizella menatap Pita. “Biar gue aja yang tahu. Lagian dia udah baik banget ke gue .”
“La, sebenernya kita tahu kok kalau ... lo itu cinta sendiri.”
Grizella membuang muka, enggan menatap keduanya.
Apakah sejelas itu tatapan Aarave yang tidak mencintai dirinya? Apa sejelas itu rasa biasa saja milik Aarave terlihat? Tapi, kenapa Grizella tidak menyadarinya? Kenapa Grizella merasa seolah mereka saling berbagi rasa?
Sialan. Bisa-bisanya dia termakan omong kosong dari Aarave!
“Kantin?”
Suara bass itu seolah memecah hening di antara mereka.
“Dia lagi bad mood.”
Raka berdecak. Ditariknya kursi terdekat dengan milik Grizella, kemudian dia duduk dengan tergesa. “Galauin status mantan?” tanya Raka tanpa perlu repot-repot mengecilkan suaranya.
“Daripada galau, lo makan sama kita. Gue traktir deh! Tapi, nanti pulsek ke kedai ya, temenin gue kerja?”
Ah, Grizella sepertinya sangat lemah iman, hanya karena mendengar kata traktir saja mood-nya langsung membaik. Senyumnya bahkan melebar dan benar-benar seperti kehilangan beban.
“Cantik!” gemas Raka sambil mengacak-acak rambut Grizella.
°^°^°^°^°^°
“Enak nggak?”
Aarave mengangguk. Matanya menatap teduh pada Grizelle yang menyuapinya. Ini adalah makan siang kedua mereka di rooftop karena tidak memungkinkan jika mereka harus ke kantin hanya berdua tanpa Grizella dan Marva.
“Aku masak sendiri loh pagi tadi!” seru Grizelle sambil mengacungkan jari telunjuknya yang terbungkus plester bergambar kupu-kupu.
Aarave terdiam menatap gadis itu beserta tangganya yang terluka.
“Arave, gue kena pisau tahu nggak?!” seru Grizella begitu mendudukkan diri di sebelah Aarave. Tangannya disodorkan dengan begitu kasar, seolah menunjukkan betapa kesalnya gadis itu.
“Kenapa?”
Grizella menatapnya sebal. “Kenapa-kenapa, ini gue bilang gue kena pisau!”
Aarave justru terkekeh pelan, tangannya mengusap lembut pucuk kepala Grizella. “Ngapain main pisau, sih?”
Lagi-lagi Grizella merasa sebal dengan Aarave. Gadis itu memanyunkan bibirnya sambil menyodorkan satu kotak nasi berwarna biru pudar.
“Bikin lo nasi goreng sosis, bakso, sayur!” ucapnya membuat Aarave tertawa.
Laki-laki itu segera meraih kotak bekal yang Grizella bawakan, tangannya dengan cekatan membuka kemudian menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.
“Enak,” ucapnya sambil tersenyum tulus.
Sialan. Aarave mengumpat pelan, matanya menatap kembali Grizelle yang masih tersenyum sambil mengacungkan jarinya. Laki-laki itu berusaha sebiasa mungkin, meski nyatanya bayangan itu masih terekam jelas di ingatannya. Kenapa harus de javu?
“Lain kali jangan masak kalau cuma bikin kamu luka,” ucap Aarave sambil tersenyum tipis. Perasaannya benar-benar tidak enak.
“Nggak masalah, ini bentuk ungkapan sayang Grizelle buat Aarave tauk!”
Meski ingin membantah, Aarave akhirnya memilih menganggukkan kepala. Dia hanya tidak ingin berdebat.
°^°^°^°^°^°^°
Entah kenapa Grizella merasa seolah apa yang Raka lakukan itu tidak normal. Mendatanginya ke kelas kemudian memintanya menemani ke kedai, itu jelas bukan Raka sekali. Selama mengenal Raka satu tahun ini, bahkan mendekati dirinya di sekolah bukanlah sesuatu yang biasa. Di sekolah rasanya seperti tidak pernah mengenal.
“Makanan buat Tuan Putri sudah siap,” katanya sembari meletakan satu nampan berisi makanan dan juga minuman kesukaan Grizella.
Laki-laki itu menurunkan semua isi nampan, lalu duduk di hadapannya. Dagu Raka ditempelkan pada nampan kayu yang di dekapannya.
“Lo aneh,” ucap Grizella, tangannya menarik pelan cup coffe yang disediakan Raka.
“Aneh gimana?”
“Kaya suka sama gue.” Kalimat itu terucap mulus tanpa ada kata malu apalagi jaim.
Raka yang diajak berbicara justru tersedak ludahnya sendiri. “Lo ngaco!” Tawa menggema mengiringi kalimat penentangannya.
Grizella yang asik memotong tiramisunya pun ikut terkekeh. “Iya, gue emang lagi ngaco. Abis nggak ada yang suka gue.”
“Lo aja yang nggak sadar, La.”
“Lo pikir gue pingsan apa?!”
“Tapi, serius ya, La, banyak yang lirik lo, bahkan noh banyak kartu nama yang dititipin di kasir buat dikasih ke lo!”
Grizella mendengus. Tentu saja dia tidak semudah itu termakan omongan Raka yang isengnya nggak kira-kira. "Makasih loh kalimat penghiburnya."
“La, gue serius, loh!”
“Ka, nggak lucu.”
“Ih, gue nggak ngelawak ya! Ini gue serius, nggak gue kasih ke elo karena–”
Grizella menaikkan alisnya sebelah. Menatap Raka yang kini sibuk menggaruk tengkuknya tanpa meneruskan kalimat yang dia ucapkan.
“Lo tuh ngomong yang jelas.”
“Nggak.”
“Dasar manusia!” cibir Grizella sambil terkekeh pelan. Gadis itu lebih memilih kembali menyeruput coffe pesanannya daripada menanggapi Raka yang kewarasannya hilang setengah.
°^°^°^°^°^°^°^°
Grizelle menatap kamar depannya dengan senyum merekah. Pintu kaca yang terlapis tirai transparan itu menampilkan kamar yang diterangi lampu dan sesosok laki-laki yang sedang sibuk bermain ukulele. Grizelle masih belum bisa percaya jika laki-laki itu adalah pacarnya, orang yang ternyata begitu dekat layaknya sahabat yang menyimpan rasa untuknya.
Dia tidak munafik soal rasa suka dan nyaman jika bersama Aarave, namun untuk rasa cinta dia belum memilikinya. Makanya, Grizelle sedikit merasa bersalah karena merebut Aarave dari kakaknya. Tapi, tidak salah bukan jika dia ingin melupakan Marva yang menyakitinya dengan menggantikan posisi laki-laki itu?
“Zelle, makan dulu, Sayang!” ingat Rada yang kini berdiri di ambang pintu.
Grizelle langsung beranjak, tersenyum lebar menatap wanita yang begitu dia sayangi ini. “Siap, Mama!”
°^°^°^°^°^°^°
Gerimis melanda, turun setitik demi setitik membasahi bumi. Angin pun sedikit kencang dalam berlari, menimbulkan sensasi sejuk dan dingin yang berhasil menusuk di kulit.
Malam sudah menyapa membawa dua perhiasannya yang tertutup kelabu. Semuanya tersenyum menatap gadis yang kini sibuk berputar di bawah gerimis. Senyum yang jelas tidak mungkin orang lain tahu karena bagi mereka, langit sedang berduka.
Dia Grizella, berputar di bawah gerimis tentu sebuah kebiasaannya. Sebenarnya tidak seseru saat berputar di bawah hujan. Sayangnya, jika menunggu hujan turun, dia pasti sudah harus masuk ke dalam rumah, berlindung agar tidak terkena demam.
“Langit kali ini mendukung gue, gerimis tipis tanda kalau hati gue cuma sedikit sedih!”
Di sisi lain, laki-laki yang sedang asyik bermain ukulele terpaku menatapnya. Mata itu bergantian menatap ke jendela kanan dan kiri. Di sebelah kanan, tepatnya di depan balkon kamarnya, ada Grizelle yang baru saja masuk ke dalam kamar. Dan di sebelah kiri, ada Grizella yang tersenyum sambil menengadahkan kepalanya.
Aarave tidak tahu dia tersenyum untuk gadis yang mana. Yang jelas lengkung itu terlukis tipis seiring dengan petikan ukulele-nya.
°^°^°^°^°^°^°
Jakarta, 2014.
“Bundaaa! Kenapa ada anak cantik di rumah sebelah?!” Aarave tergesa turun saat Bunda baru saja menutup pintu.
“Tetangga baru, A.”
Aarave membuka mulutnya dengan begitu terkejut. Anak kecil berusia 10 tahun itu melompat dengan pekikan kecil. “Yey, akhirnya Aarave punya tetangga cantik!”
Bunda geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya. Berjalan pelan mendekati Aarave, Bunda memberikan sepotong roti dari dalam kardusnya. “Ini dari anak cantik tetangga sebelah.”
Aarave menerimanya. “Beneran, Bunda?” Anak itu memicing tidak percaya, soalnya Bunda sering menggodanya.
“Iya, dia kembar loh, A. Jadi ada dua anak cantik!”
“Wah ... senengnya Aarave! Tapi Bunda, Aarave suka sama yang lihat Aarave di jendela tadi.”
°^°^°^°^°^°^°