"Yang cocok acara besok menurutku Ruang Seminar, Aula Lantai 3, Laboratorium komputer, dan Ruang Sidang 1 dan Ruang Sidang 2 ya? Kita keep dulu lima ruangan itu untuk Fakultas Teknik," ucap Fasa saat mereka sudah selesai melakukan checking ruangan yang ada pada Fakultas Teknik dan sekarang keduanya sedang mendiskusikan hasil survey tadi pada rumah makan yang menjual aneka serba sambal yang saat ini mereka datangi.
"Iya, Mas. Untuk pengajuan suratnya mau kapan? Harus secepatnya kan?" ucap Aura dengan mencatat daftar tempat yang sudah layak untuk mereka pilih menjadi tempat terselenggaranya rangkaian acara Dies Natalis Universitas nya tersebut.
"Kita check semua ruangannya dulu. Setelah kita yakin mana aja yang bisa dipakai baru kita ajukan saat rapat besar besok. Kita target untuk minggu ini udah selesai gimana? Biar pas rapat besar kita udah setor mana aja ruangannya dan bisa minta surat untuk peminjaman tempatnya ke sekretaris," ucap Fasa dengan serius.
"Oke, Mas. Aku setuju kayak gitu. Yang belum di check sama kita ada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas sastra dan Bahasa, Perpustakaan, Fakultas Psikologi, dan Fakultas MIPA. Untuk Fakultas Teknologi Pertanian dan Peternakan yang biasanya dipakai untuk acara-acara besar ada Ruang Seminar, Ruang sidang 1 dan Ruang sidang 3, Laboratorium Digital, dan Aula," terang Aura dengan menatap Fasa.
"Oke, Dek. Besok aku coba kontak teman-teman yang anak Fakultas itu untuk tanya-tanya sistemnya gimana dan ruangan apa aja yang sekiranya cocok," ucap Fasa, "nanti kirimin aku daftar nya itu ya!".
"Misi Mas, Mbak! Ini untuk pesanannya," ucap pelayan Rumah makan yang sudah membawa baki dengan makanan dan minuman yang sudah tersusun rapi di atasnya. Aura langsung membereskan notes catatannya agar tidak memenuhi meja mereka. Setelah itu pelayan mulai meletakkan satu persatu hidangan yang ada.
Mereka mulai menyantap makanan yang berada di hadapan mereka. Aura berusaha untuk menikmati hidangan miliknya. Fasa juga terlihat fokus dengan makannya.
"Hari ini nginep lagi atau pulang, Dek?" tanya Fasa memecah keheningan.
"Pulang, Mas. Hari ini jatahnya Dirga sama satu temenku lagi, hehe," jawab Aura dengan cengirannya.
"Maaf ya malah sampai malam kamu pulangnya. Temanmu yang tadi jadinya gimana? balik ke rumah sakit duluan atau masih nunggu di kosan temen kamu?" ucap Fasa dengan sorot mata teduh.
"Eh-nggak papa kok, Mas. Masih jam setengah tujuh juga ini. Terhitung nya masih sore, hehe," ucap Aura dengan tawanya, "udah aku suruh balik duluan aja, Mas. Nanti aku balik naik Oh-jek aja".
"Ntar aku antar aja ya. Motormu di rumah sakit kan, Dek?" tanya Fasa dengan cepat.
"Ng-gak usah, Mas. Malah ngerepotin ntar," jawab Aura dengan membentuk tanda silang menggunakan kedua tangannya dan gagap.
"Nggak kok. Kebetulan aku besok juga nggak ada kuliah, nanti aku ikutin kamu dari belakang," ucap Fasa dengan lembut.
"Beneran lho, Mas! Aku bisa pulang sendiri. Jam segini juga masih ramai kok," tolak Aura dengan panik.
"Haha, ya nanti lihat sikon ya. Ayok dilanjut lagi makannya," ucap Fasa sembari memegang sendok nya kembali dan mulai menyantap makanannya kembali dengan santai.
Sedangkan Aura dengan canggung mulai mengambil sendok nya kembali. Fasa bisa melihat jika Aura sebenarnya sedang gelisah saat ini. Tapi berusaha mengontrol dirinya untuk tenang. Fasa memutuskan untuk segera menghabiskan santapan makan malamnya. Ia tidak mau untuk mengajak ngobrol Aura saat ini karena wanita di hadapannya ini sejak tadi terlihat terus menunduk dan diam seribu bahasa.
Akhirnya makan malam mereka selesai juga. Aura memaksa untuk membayar makanan mereka. Katanya gantian ia mentraktir Fasa saat ini. Fasa yang awalnya tidak mau akhirnya luluh juga. Fasa memutuskan untuk duluan ke motor dan Aura masih mengantri di kasir. Setelah selesai bertransaksi di kasir, Aura langsung berjalan ke arah motor Fasa terparkir dan terlihatlah sang empunya motor sudah mengenakan helm full face nya dan duduk di atas motornya. Sebenarnya Aura ingin sekali ke rumah sakit menggunakan Oh-jek. Tapi ia tidak ingin berdebat di parkiran.
"Udah selesai? Ini helmnya," ucap Fasa sembari memberikan helm milik Aura yang ia pegang.
"Oh-eh makasih Mas," ucap Aura dengan terbata-bata. Ia kaget dengan perlakuan Fasa. Untung saja keadaan parkiran ini redup cahaya jadi wajahnya yang sudah dipastikan akan menjadi kepiting rebus ini tidak akan terlihat oleh Fasa.
Untung saja hari ini Aura mengenakan celana jadi memudahkannya untuk melangkahkan kakinya untuk naik ke motor Vix*on Fasa yang tinggi. Tingginya tubuhnya hanya 157 cm. Jadi butuh effort juga untuk naik ke motor Fasa. Ia menjadikan pundak Fasa untuk menjadi pegangan karena di sini tidak ada trotoar jadi lumayan jua untuk melangkah naik ke boncengannya.
"Udah, Mas. Maaf ya malah jadi tumpuanku hehe," ucap Aura dengan menyamankan posisi duduknya.
"Santai, Dek. Motornya emang ketinggian aja, Haha. Ini ke rumah sakit ya?" ucap Fasa dengan terkekeh.
"Hehe, aku yang pendek kayaknya, Mas. Eh iya kan, Mas? Soal yang tadi Mas beneran mau ngikutin dari belakang?" tanya Aura dengan canggung.
"Ya kalau kamu mau. Nanti Mas ikutin dari belakang, Dek. Lagian udah jam delapan juga kan. Biar aku juga nggak khawatir gitu," ucap Fasa sembari mulai fokus untuk mengendarai motornya.
"Hah? Gimana, Mas? Nggak denger," jawab Aura dengan mendekatkan posisi kepalanya di pundak Fasa.
"Nanti aja," jawab Fasa daripada mereka teriak-teriak di jalanan.
Akhirnya mereka sampai di rumah sakit juga. Aura langsung turun dari motor Fasa. Lalu ia melepas helm yang berada di kepalanya.
"Mau masuk dulu atau langsung pulang, Dek? tanya Fasa setelah helm full face nya sudah terlepas dari kepalanya.
"Masuk bentar, Mas. Soalnya mau ambil barang-barang buat di bawa pulang," jawab Aura dengan menatap Fasa, "Mas, beneran mau ngikutin aku dari belakang?"
"Ayok aja kalau kamu mau, Dek. Lagian udah jam segini juga. Rumahmu jauh pula," jawab Fasa dengan melihat jam yang terpasang di tangan kanannya.
"Maaf ya, Mas. Aku jadi ngerepotin Mas mulu," ucap Aura dengan lesu.
"Santai kok, Dek. Udah tanggung jawab aku harus nganter kamu pulang. Yuk masuk! Biar nggak tambah kemalaman kita pulangnya," ucap Fasa dengan tersenyum.
Sesampainya di kamar rawat inap Lifa, ketiga manusia yang berada di ruangan tersebut menatap heran kedatangan Fasa. Tumben Aura mau bersama dengan Fasa. Padahal tadi malam Aura menolak dengan tegas kehadiran Fasa jikalau ikut menginap di sini bersama Raga.
"Hai, Bro!" sapa Dirga kepada Fasa.
"Iya, Ga. Sorry ya baru nganterin Aura balik sini jam segini," ucap Fasa.
"Oh, Santai aja, Bro. Makasih udah dianterin balik jam segini," jawab Dirga.
Aura mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya. Nida memperhatikan Aura yang sibuk melipat bajunya.
"Kamu pulang malam ini, Ra?" tanya Nida dengan menatap setiap gerakan tangan Aura.
"Iya, Nid!. Kasian Bunda di rumah sendiri," jawab Aura dengan menggendong tas ranselnya yang sudah berisi segala barang-barangnya.
"Ir, bajumu aku bawa dulu ya. Besok aku balikin kalau udah bersih," ucap Aura ketika sudah berada di hadapan Dirga.
"Lu yakin balik sekarang? Udah jam setengah sembilan gini," ucap Dirga dengan menatap jam dinding yang menempel pada ruangan tersebut.
"Aku yang nganter, Ga. Nanti aku ikutin dari belakang," ucap Fasa dengan cepat saat Aura akan menjawab pertanyaan Dirga.
"Nggak papa nih, Bro? Kalau nggak biar gue anterin aja," ucap Dirga menatap Fasa. Ia ingin melihat keyakinan Fasa untuk mengantarkan Aura pulang.
"Kamu di sini aja. Biar aku yang antar dia pulang, Ga," jawab Fasa dengan mantap.
"Oke lah kalau gitu. Thank you ya, Bro," ucap Dirga dengan menepuk pundak Fasa, "sampai rumah kabarin gue ya lu!"
"Siap, Ir!" ucap Aura dengan memberi hormat kepada Dirga, "aku balik dulu ya, Nid, Lif! InsyaAllah besok ke sini lagi. Papa mu jadi ke sini besok kan, Lif?"
"Oke. Hati-hati ya, Ra. Nggak usah ngebut-ngebut bawa motornya," ucap Nida.
"Iya, paling sampainya sore, Ra. Kamu harus ke sini. Ada Bang Fahri juga lho!" ucap Lifa dengan mengedipkan matanya.
"Mantap! Besok aku ke sini jam sepuluh-an deh," ucap Aura, "Yuk, Mas! Keburu tambah malam lagi."
"Jangan lupa pakai jaket lu! Nggak usah ngebut-ngebut!" Perintah Dirga.
"Siap, Bang! Jaket ada di jok motor," ucap Aura.
Akhirnya ia pulang dengan diikuti oleh Fasa dari belakang. Aura diantarkan hingg benar-benar sampai depan rumah. Setelah pamitan dengan Bunda Aura, Fasa langsung memutuskan untuk segera kembali ke kosannya agar tidak tersasar di jalan. Karena jalan menuju rumah Aura ternyata cukup rumit juga. Terlalu banyak belokkan yang ia lewati tadi. Apalagi ini sudah larut malam dan lingkungan jalan sekitar sudah sangat sepi serta ia harus melewati kawasan sawah-sawah. Pantas saja Dirga tadi memastikan dirinya benar-benar mau mengantarkan Aura untuk pulang.
TBC
.