Aura sudah bersiap-siap dengan celana kulot plisket berwarna milo dan hoodie berwarna cream nya. Lalu ia langsung tancap gas ke rumah sakit Sardjito seperti janjinya kepada Lifa untuk sampai di sana pada pukul sepuluh pagi.
Sesampainya di parkiran rumah sakit, Aura langsung bergegas menuju kamar rawat inap Lifa. Saat Aura sudah mulai mendekati keberadaan kamar rawat inap Lifa ia melihat siluet dua lelaki sedang duduk pada kursi panjang yang tersedia di depan kamar rawat inap Lifa. Tentu saja ia mengenali kedua orang lelaki tersebut. terlihat saling berbincang namun entah mengapa terlihat suasana mencekam. Sepertinya kedua lelaki tersebut sedang terlibat percakapan yang serius.
Aura tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar rawat inap Lifa dan mau tidak mau harus melewati kedua lelaki tersebut, "Hai Mas, Bang Fahri," Ia menyapa keduanya.
Raga yang kebetulan duduk menghadap Aura langsung menjawab dan mengangkat tangan kanannya. Sedangkan lelaki yang Aura panggil dengan sapaan Bang Fahri harus berbalik untuk membalas sapaannya. Saat lelaki yang tak lain adalah kakak Lifa itu langsung berdiri dan memeluknya.
"Kangen banget aku sama anak nakal ini. Udah tiga tahun nggak ke Jogja kamu sekarang udah jadi begini aja," ucap Fahri sembari menepuk kepala Aura.
"Salahnya sendiri malah ke Belanda," ledek Aura.
"Ya kan buat sekolah, Dek. Udah sana masuk. Rame tuh temen-temenmu di dalam," ujar Fahri dengan mendorong tubuh Aura segera masuk ke kamar rawat inap Lifa.
"Iya deh iya," ucap Aura sembari berjalan ke arah pintu.
"Eh Haqi balik nggak minggu ini?" tanya Fahri sebelum Aura masuk.
"Dia sampai kemaren Rabu di rumah sih, Bang. Nggak tahu deh kalau Sabtu-Minggu ini balik lagi atau nggak," jawab Aura, "ada yang mau ditanyain lagi nggak, Bang? Sebelum aku masuk nih".
"Halah, kayak mau pergi kemana aja kamu," ucap Fahri dengan tawanya, "wes sana kamu masuk o".
"Ya wes," jawab Aura, "Mas Raga! Semangat ya! Rada garang itu" Sembari menunjuk Fahri. Lalu ia segera masuk ke kamar rawat inap Lifa. Terdengar suara dumelan dari Fahri "Jan tenan kuwi bocah".
Benar saja saat Aura masuk ke dalam kamar rawat inap Lifa, sudah terlihat batang hidung Raya dan Finka yang sedang memegang satu buah sterofoam yang ia yakini telah menjadi menu sarapan mereka pagi ini. Tak hanya itu, Di dekat mereka juga terdapat wanita paruh baya berkerudung merah maroon dengan memangku balita yang sudah ia ketahui bernama Risa. Lalu ia menghampiri Om Ramli yang tak lain adalah Papa dari Lifa dan Bang Fahri yang sedang mengobrol dengan Mas Irham.
"Assalamu'alaikum Om!" sapa Aura saat sudah berada di depan Om Ramli yang sudah mendapatkan senyuman dari Ramli dari ia memasuki kamar rawat inap Lifa tersebut.
"Wa'alaikumsalam, Nak!" jawab Ramli sembari menerima ciuman di tangannya dari Aura, "Gimana kabar kamu sama Bunda?"
"Alhamdulillah baik dan sehat Om, Hehe," jawab Aura dengan terkekeh.
"Alhamdulillah. Mas mu masih sering balik ke Jogja?" tanya Ramli.
Ramli sudah mengenal keluarga Aura sejak lama. Ia adalah salah satu sahabat dari almarhum ayah Aura. Ia dan ayah Aura juga merintis satu perusahaan bersama. Dan setelah ayah Aura meninggal akhirnya ia meneruskan untuk tetap mengelola perusahaan tersebut karena Fahri dan Haqi tidak ada yang berminat melanjutkan Perusahaan yang bergerak di Bidang tekstil itu. Tak heran jika Lifa sangat dekat dengan Aura karena mereka sudah mengenal satu sama lain sejak dari kecil. Dulu Ramli dan keluarganya tinggal di Jogja. Namun setelah istrinya meninggal dan anak laki-lakinya harus melanjutkan kuliah S2 nya di Belanda, akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke NTB karena sedang merintis perusahaan baru di sana. Sedangkan Lifa tetap kekeuh ingin melanjutkan kuliah di Jogja. Ia memutuskan untuk mengalah dengan setiap bulannya pulang ke Jogja untuk menemui anak perempuan kesayangannya tersebut.
"Kemaren dari sabtu sampai rabu di rumah, Om. Ada kerjaan di sini jadi agak lamaan," jawab Aura.
"Lha ini pulang lagi nggak?" ujar Ramli dengan tawanya.
"Lha itu nggak tahu, Om. Kalau pulang lagi kebangetan sih. Anak Bunda banget dia," jawab Aura dengan senda guraunya.
"Ini lho, Mas. Mas nya Aura ini merantau tapi setiap minggunya selalu pulang ke rumah," tunjuk Ramli kepada Mas Irham.
"Wahduh apa nggak bangkrut itu, Pak? Haha," jawab Mas Irham dengan tawanya.
"Demi ketemu adek sama Bundanya, Mas. Jadi dibela-belain pulang setiap minggu," ujar Ramli dengan tersenyum penuh arti. Irham pun paham dengan maksud Ramli.
"Udah sana gabung sama Dirga, Nida, Raya dan Finka. Dari tadi udah berisik di sini. Belum ketambahan kamu lho padahal," perintah Ramli.
"Siap, Om. Mari Mas," ucap Aura sembari berjalan ke arah kumpulan ke empat temannya yang sedang asyik bermain UNO lagi. Aura tersenyum saat berpapasan dengan wanita paruh baya yang sedak duduk pada sofa bed. Sedangkan Risa sudah bergabung dengan komplotan pemain UNO tersebut.
"Sampai juga Lu," sapa Dirga saat Aura sudah duduk di sampingnya.
"Bodo amat, Aku kan bilangnya emang jam sepuluh tadi malam," jawab Aura, "Aku ikutan dong!"
"Tunggu sesi ini selesai dulu lah!" ucap Finka dengan menggerutu.
"Risa bisa main ini?" tanya Aura yang berada di sebelahnya.
"Bisa, Kak. Tadi diajarin sama Kak Raya," jawab Risa dengan menunjuk Raya.
"Lu ketemu sama Raga nggak di depan tadi?" tanya Dirga dengan menatap Aura.
"Iya lagi ngobrol serius sama Bang Fahri tadi. Kenapa emangnya?" jawab Aura dengan penasaran.
"Kaget gue tadi jam enam udah muncul aja di sini. Entah disuruh sama Lifa apa begimana kagak tahu deh," ujar Dirga dengan mengeluarkan kartunya.
"Om Ramli sama Bang Fahri nyampai sini jam berapa emangnya?" tanya Aura sembari menerima uluran sterofoam dari Raya, "Thank you, Ray!"
"Daripada gabut," ujar Raya.
"Baru landing jam setengah delapan. Gue sama Raga yang jemput di Bandara," jawab Dirga.
"Oh Gitu, kamu ambil mobil berarti?" kepo Aura, "Eh kartu dia kuning. Jangan keluarin itu gaes!" sembari menunjuk kartu terakhir yang berada di tangan Dirga.
"Bangke lu! Dateng-dateng rese banget!" protes Dirga sembari menatap Aura dengan gemas, "Iya lah. ya keleus gue jemput naik motor!"
"Ada Risa. Mulutmu tu dijaga kalau ngomong," wanti Aura "Woles dong Bang. Gitu aja ngambek. Cemen banget jadi cowok," yang hanya mendapatkan respon rambutnya yang di usap dengan gemas oleh Dirga.
Kumandang adzan dhuhur akhirnya terdengar. Permainan UNO sudah usai karena mereka sudah bosan memainkannya. Sedangkan Dirga sudah pergi satu jam yang lalu bersama Bang Fahri untuk ke rumah Lifa. Keluarga Risa, Mas Irham beserta ibunya juga baru saja berpamitan pulang karena Mas Irham akan menghadiri kondangan pernikahan temannya.
Raga terlihat sedang berbincang-bincang dengan Lifa dan Om ramli. Sepertinya ada calon mantu sedang berusaha mendekati calon mertuanya. Ntah lah ada apa diantara Lifa dan Raga. Aura dan teman-temannya hanya bisa melihatnya dari kejauhan dan ya sejauh ini niat Raga yang mereka baca sepertinya memang itu. Mereka berempat akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin saja dan lanjut untuk sholat dhuhur di Masjid Rumah Sakit.
Saat mereka berempat sedang berjalan ke kantin, Hand phone Aura berbunyi dari dalam saku celananya. Aura langsung mengeluarkan hand phone nya dengan cepat sebelum nada dering tersebut selesai.
"Assalamu'alaikum, Kenapa?" sapa Aura dengan malas saat sudah menjawab panggilan telpon tersebut.
'Wa'alaikumsalam, Jemput Mas di Giwangan dong, Dek!' jawab Haqi yang tidak lain adalah penelepon Aura.
"Ya Allah! balik lagi? Aku ini baru di Sardjito. Mager lah! Balik naik Oh-jek atau Trans Jogja aja lah, Mas," jawab Aura dengan menghela napasnya.
'Justru itu. Aku mau jengukin Lifa sekalian ini. Makanya minta kamu jemput biar setelah itu langsung ke Sardjito lagi,' balas Haqi dengan memaksa.
"Halah, aku males panas-panasan sampai sana," protes Aura.
'Ayolah! ntar sebelum pulang ke rumah mampir Hartono deh,' ucap Haqi dengan paksa.
"Iya-iya. Aku jemput!" ucap Aura sembari mematikan sambungan telponnya.
Finka menatap Aura yang terlihat kesal, "Siapa yang telpon, Ra?"
"Gebetan mu minta di jemput di Giwangan," jawab Aura, "aku nggak jadi makan di kantin ya, Gaes. Mau jemput Mas haqi dulu".
"Mas haqi balik lagi? ya ampun! Haha. Yang sabar ya, Ra" ucap Nida dengan gelak tawanya.
"Dasarnya emang anak mami dia mah," dumel Aura, "udahlah aku balik ke kamar Lifa dulu ya. Mau ambil tasku. Bye Gaes!" sembari berlari ke arah kamar Lifa.
Aura langsung memasuki kamar rawat inap Lifa tanpa mengetuk pintunya. Ketiga orang yang sedang bercakap-cakap tersebut langsung menghentikan percakapannya.
"Kok balik lagi, Ra?" tanya Lifa dengan mengerutkan keningnya karena Aura telihat terburu-buru.
"Nggak jadi makan siang di kantin, Lif. Mas Haqi minta dijemput di Giwangan," jawab Aura sembari mengambil waist bag nya yang berada di sofa bed.
"Haqi pulang lagi ya? udah di giwangan dia?" tanya Ramli.
"Iya, Om. tadi barusan telpon minta jemput katanya mau ke sini juga habis itu," jawab Aura.
"Kamu telpon Dirga atau Fahri aja. Kan mereka ada di rumah to. Deket itu dari Gedong kuning. Suruh mereka aja yang jemput biar sekalian nanti ke sini. Kamunya juga nggak perlu bolak balik, Nak," usul Ramli.
"Oh iya ya, Om. Aura kok malah nggak kepikiran gitu. Haha," jawab Aura.
"Makanya jangan panikan!" celoteh Lifa, "Buruan telpon mereka sebelum mereka balik ke sini."
Aura langsung mengikuti saran Om Ramli dan Lifa. Ia berjalan ke luar ruangan dan duduk di kursi panjang depan kamar Lifa. Ia langsung mencari kontak Dirga pada hand phone nya dan menelpon sahabat laki-lakinya itu.
'Halo! Kenapa, Ra?' sapa Dirga setelah menjawab telpon Aura.
"Anu, Ir. Kamu sama Bang Fahri sekarang dimana? Masih di rumah Gedong Kuning?" tanya Aura dengan menggigit-gigit jempol tangannya.
'Masih, Ra. Bang Fahri baru bersih-bersih. Kenapa sih emangnya? Panik banget Lu!' jawab Dirga.
"Minta tolong jemputin Mas Haqi di Giwangan bisa nggak, Ir?" tanya Aura.
'Mas Haqi balik ke Jogja lagi? Udah di sana dia sekarang?' tanya Dirga dari seberang telpon.
"Iya nggak tahu lagi dah si anak mami itu. Iya udah di Giwangan katanya barusan telpon aku," jawab Aura, "Tolong di jemput ya, Ir. Ntar bawa dia ke Sardjito aja sekalian sama kalian. Soalnya dia bilangnya mau jengukin Lifa kalau udah aku jemput tadi".
'Iye-iye. Gue jemput sekarang, Ra' ucap Dirga dengan lembut.
"Makasih banget ya, Ir! ntar kalau udah ketemu dia tolong keplakin kepalanya ya. Gedek banget aku sama dia," ucap Aura dengan gemas.
'Gue keplak dia auto dibales tonjokkan sama dia. Bangke Lu!' omel Dirga, "lu jangan lupa kabarin dia kalau yang jemput gue."
"Ah elah. Ya udah deh ntar aja aku tabok di sini," ucap Aura dengan pasrah, "Oke siap Bang!"
"Weslah tak On The Way ke Giwangan sek. Ntar dia ndak nunggu lama ngomel-ngomel pula sama gue," ucap Dirga lalu mematikan sambungan telponnya dengan Aura.
Aura langsung menelpon Haqi dan memberitahukan perihal Dirga yang akan menjemput kakak laki-lakinya tersebut. Haqi pun setuju saja dengan itu. Namun ia membatalkan tawarannya sebelumnya kepada Aura yang akan mengajak adiknya semata wayangnya tersebut untuk ke Hartono Mall. Emang dasarnya ngeselin kakak laki-laki satu-satunya yang ia miliki itu.
Aura kembali masuk ke kamar rawat inap Lifa. Setelah berbincang-bincang dengan ketiga orang yang berada di ruangan tersebut, Aura langsung menyusul ketiga temannya yang masih berada di kantin. Saat berjalan menuju ke kantin. Ia tidak sengaja berpapasan dengan lelaki yang sangat ia kenali siluetnya dan ia berharap semoga saja lelaki itu tidak menyadarinya. Untung saja ia selamat sampai kantin. Setelah memesan bakso dan jus strawberry Aura langsung menuju meja yang sudah ditempati oleh ketiga temannya. Ia langsung mendudukkan diri pada kursi yang kosong.
"Nggak jadi jemput Mas Haqi, Ra?" tanya Finka dengan tatapan penasarannya.
"Nggak jadi. Aku males panas-panasan, Fin," jawab Aura dengan mengambil satu bungkus kerupuk rambak yang tersedia pada meja mereka.
"Yah! nggak jadi ketemu my Bebeb," ucap Finka dengan cemberut, "Kok nggak Lu jemput sih, Ra?"
"Males aku. Biar dia mandiri lah," ucap Aura dengan datar.
"Tahu gitu gue jemput, Ra. Sekalian pendekatan," ujar finka.
"Halah, Omong doang! Kalau ketemu sok-sokan malu-malu kucing sama dia. Gilo aku," dumel Aura.
"Ya kan gue jual mahal, Ra!" protes Finka dengan tatapan sengitnya pada Aura.
"Mas Haqi tuh belum bisa move on dari Mbak Rifa. Harusnya kalau kamu niat serius sama dia ya kudu getol deketinnya," ucap Aura.
"Good damn! yang di kamar Lifa ada calon mantu yang baru pendekatan sama calon mertua dan yang di sini baru pendekatan sama calon adik ipar. Haha," ucap Nida dengan tawanya.
"Ogah banget aku jadi adik iparnya dia!" sewot Aura.
"Eh calon adik ipar nggak usah sok kerad deh!" ucap Finka dengan nada sok lembutnya.
"Anjir geli banget ya Allah!" ucap Aura dengan ekspresi jijiknya.
"Udah yang paling bener lanjut makan aja deh kamu, Fin" ujar Raya dengan menunjukkan sendoknya di dekat mulut.
"Haha, Ngakak banget astaga! Emang nggak direstuin semesta kamu mah buat jadian sama Mas Haqi, Fin," ucap Nida dengan cekakakan.
"Eh anda sang bibit pelakor! Diem aja deh! Tidak ada yang merestuimu dengan Mas Haqi juga kali," sewot Finka.
"Asli dah. Mau kamu atau kamu nggak ada yang aku restuin sama dia," ucap Aura dengan menunjuk kedua sahabatnya.
"Kapokmu kapan to, Gaes! wes ndang di maem kui lho!" ucap Raya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sebelum janur kuning melengkung. Gue masih bisa deket-deketin dia. Mau dengan atau tanpa restu dari Lu adik ipar," ledek Finka.
"Lucu sih kalau akhirnya diantara kita ada yang jadi sama Mas haqi. Auto kagol pasti Aura. Haha," ucap Nida dengan tawanya.
"Naudzubillah ya Allah! jangan kabulkan doa mereka!" ucap Aura dengan amit-amit.
Mereka berempat setelah selesai menyantap makan siangnya langsung segera menuju ke masjid rumah sakit untuk melaksanakan sholat dhuhur di sana.
TBC