PART 18

2453 Kata
Sekarang komplotan Konco Kentel ditambah dengan Haqi dan Fahri sedang berada di dalam mobil Dirga untuk melaksanakan malam mingguan pada kawasan Malioboro. Dua lelaki yang sudah matang pada mobil tersebut adalah pencetusnya. Mereka yang sudah lama di perantauan itu ingin mengulang lagi kenangan yang ada pada kota kelahiran mereka. Para adik-adik tercinta hanya bisa mengikuti kemauan dua sahabat karib tersebut karena secara tidak langsung mereka juga akan mendapatkan makan malam gratis untuk kali ini. Kapan lagi mendapatkan traktiran dari kedua laki-laki yang sudah termasuk mapan ini. Bagaimana tidak mereka sebut begitu? keduanya sudah bekerja di perusahaan besar plus ternama pula dan yang pastinya memiliki jabatan yang tidak kaleng-kaleng juga yang mereka miliki.  Setelah Dirga selesai memarkirkan mobilnya di dalam parkiran Mall Malioboro, Mereka langsung bergegas keluar dan bergabung dengan orang-orang yang memadati trotoar yang sudah disulap dengan apik untuk para wisatawan yang berbondong-bondong untuk berdatangan ke salah satu tempat wisata utama Yogyakarta tersebut.  "Akhirnya bisa ngerasain malam mingguan di sini lagi," ucap Fahri dengan senyum yang menghiasi wajahnya.  "Lha kowe kesuen nang Belanda, Bro," ucap Haqi sembari menepuk pundak Fahri.  "Yo piye meneh, Bro. Niatnya cuma dua tahun eh malahan keterima kerja di sana juga. Ya wes trabas wae lah sing penting halal. Wes takdire ngono ketokke," jawab Fahri.  "Yo sopo reti emang takdire manggon nang kono kowe, Bro!" ujar Haqi dengan tawanya.  "Wahduh, Abot e nek urip dhewean nang kono! Adoh ngko seko Lifa karo Papa. Nek arep bali tiap minggu ra kober duite," ucap Fahri dengan terkekeh.  "Wah ngeyek aku nek iki jenenge," balas Haqi dengan menghela napasnya dan menatap adik perempuannya yang berjalan di depannya dengan sahabat-sahabatnya.  "Muk guyon wae lah, Bro! Aku iki yo karo jajal golek-golek kerjaan nang Indonesia wae. Ben iso kumpul karo keluarga," sahut Fahri dengan senyumnya.  "Mas! Ke kopi Joss ya!" pinta Aura dengan membalikkan tubuhnya.  "Oke," jawab Haqi sembari mengacungkan jempolnya.  Mereka ber tujuh bergegas berjalan ke kawasan tenda-tenda Kopi Joss yang berada di sekitar Stasiun Tugu Yogyakarta. Aura langsung berjalan ke arah salah satu tenda kopi joss yang terlihat sangat ramai dari kejauhan.  "Aku nasi kucing nya 3, sate usus 1, sate telur puyuh 1, sate kulit goreng 1. Minumnya kopi joss 1 sama air putih," ucap Haqi dengan memberikan dua lembar uang seratus ribuan kepada Aiura saat mereka sudah sampai pada warung kopi joss dengan tenda berwarna biru. Ia memilih untuk mencari tempat yang nantinya akan mereka pakai untuk makan.  Akhirnya mereka ber tujuh sudah berkumpul duduk lesehan dengan makanan yang tersaji dengan melimpah dihadapannya. Seperti biasa para gadis-gadis tidak memperbolehkan para lelaki untuk menyentuh makanan yang ada untuk prosesi foto dan update story terlebih dahulu.  "Ayok kita foto bareng!" pinta Aura dengan mengambil ponsel kakak laki-lakinya lalu memberikannya kepada Dirga, "Dari kamu, Ir. Biar semua kelihatan". Mereka menikmati makan malam dengan diselingi  canda gurau yang dilayangkan satu sama lain. Setelah selesai menyantap makan malam, Mereka memutuskan untuk berjalan di sekitaran Malioboro. Mereka membeli beberapa camilan makanan dan duduk pada kursi-kursi yang berada di sepanjang trotoar Malioboro.  "Mas, pinjam Hand phone mu!" ucap Aura yang duduk di samping Haqi.  "Buat apa?" tanya Haqi dengan mengeluarkan hand phone nya dari saku celananya.  "Minta foto-foto tadi," jawab Aura sembari mengambil hand phone yang disodorkan Haqi kepadanya.  "Bagi dong, Ra!" ucap Finka yang duduk di sebelah Aura.  "Sabar ya, Bun! Habis ini aku share ke grup," ujar Aura yang sibuk memilih foto-foto yang ada di layar LCD I-phone Haqi.  "Ih tangan Mas ngapain sih ke pundakku?" tanya Aura saat menyadari Haqi merangkulnya saat ini.  "Lha sama adik sendiri masa nggak boleh!" sewot Haqi dan semakin mengeratkan rangkulannya dan mendapatkan tawa dari Finka, Raya, dan Nida. Sedangkan Dirga dan Fahri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat interaksi kakak-beradik di hadapannya saat ini. "Lu minggir dulu deh, Fin! Gue mau ngefoto mereka terus kirimin ke Bunda biar tahu kelakuan anak-anaknya," ucap Dirga sembari mengarahkan kamera hand phone nya ke arah adik-kakak yang sedang beradu mulut namun tidak melepaskan rangkulannya satu sama lain.  "Ah elah!" jawab Finka yang langsung berdiri dari duduknya dan berpindah ke kursi batu yang berada di samping Dirga.  "Mas! Ra! Lihat sini dong!" ucap Dirga dengan mengarahkan jarinya pada kamera hand phone nya. "Apaan sih, Ir?" omel Aura.  "Udah pose yang bener aja sih! kebanyakan protes lu mah!" perintah Dirga, "Mas Haqi senyum napa jangan kaku kayak kanebo kering gitulah mukanya!" "koe nek bukan adiknya Adit uwes tak tendang, Ir!" jawab Haqi dengan menatap tajam Dirga.  Setelah Dirga selesai memotret kedua kakak-adik tersebut. Ia meminta tolong kepada orang yang kebetulan berada di sekitar mereka duduk untuk mengambil foto mereka ber tujuh dengan kamera hand phone nya. Posisi formasi mereka masih sama dengan Aura dan Haqi. Lalu Raya, Nida, dan Fahri. begitu pun Dirga dan Finka yang malas untuk pindah lagi di tempatnya sebelumnya.  Pukul sembilan malam mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Mereka memutuskan untuk mengantarkan Nida pulang terlebih dahulu karena rumahnya yang jauh yaitu di kawasan Bantul jika ia ikut balik lagi ke rumah sakit untuk mengambil motor malahan bolak balik pikir para pejantan di mobil Dirga. Sedangkan untuk Raya dan Finka mereka berboncengan saat berangkat tadi karena rumah mereka satu arah. Nantinya mereka akan dikawal oleh Haqi dan Aura yang kebetulan juga satu arah dengan mereka.  Hand phone Dirga sudah berada di tangan Finka menjadi tontonan ketiga gadis yang duduk pada kursi belakang. Sedangkan sang empunya mobil malah sudah tertidur di kursi tengah dengan Aura. Nida dengan iseng mengambil foto Dirga yang tertidur pulas dengan Aura yang lendetan pada bahunya.  "Haha, Kalau mereka tahu pasti ngamuk besok," ucap Raya dengan menahan tawanya.  "Kirim ke grup ya semua fotonya, Fin! Nggak sabar aku mau nge-upload nya," ujar Nida.  Foto-foto dari hand phone Dirga sudah Finka kirimkan ke grup w******p konco kentel mereka. Kedua sahabatnya langsung buru-buru mendownload foto-foto tersebut. Mereka sibuk dengan hand phone nya masing-masing. "Rumahmu Bantulnya mana, Dek?" tanya Fahri yang menjadi sopir mobil Dirga.  "Eh anu, Mas. Di daerah Kampus ISI, Mas," jawab Nida dengan gagap. Ia terkaget karena sedang fokus-fokusnya mengedit foto-foto yang akan ia upload dengan hand phone nya. "Oke. Ntar tunjukin ancer-ancer jalan masuknya ya," perintah Fahri.  "Siap, Mas!" ucap Nida dengan mantap.  Setelah mengantarkan Nida pulang, Fahri langsung bergegas melajukan mobil untuk kembali ke rumah sakit. Aura dan Dirga yang sudah terbangun tidurnya hanya dapat merengut saat mengetahui adanya foto mereka yang tertidur tadi pada grup mereka. Aura langsung memposting foto mereka saat bareng-bareng di Kopi Joss dan Malioboro tadi ia jadikan dalam satu frame. Lalu ia meng upload fotonya dengan sang kakak laki-lakinya dengan caption emoticon melet, api, love berwarna hitam.  Terdapat banyak chat masuk dari teman-teman Aura. Aura mulai membalas satu persatu chat-chat yang ada. Saat ia membuka story w******p ia membuka story yang dibuat oleh Dirga.  "Ihh! kok di upload sih, Ir?" omel Aura sembari menunjukkan status w******p Dirga yang tak lain adalah foto mereka yang ketiduran. Pantas saja anak-anak divisi penalaran BEM nya menjadikan topik dirinya dan Dirga di grup mereka.  "Lah status juga punya gue. kok Lu yang sewot!" dengus Dirga, "Nggak bakalan gue hapus juga walaupun lu ngemis-ngemis". "Pantesan Lu jomblo terus, Ir. Orang foto adek gue mulu yang dipampang," ejek Haqi.  "Mohon sadar diri dong, Mas. Lu kan jomblowan gagal move on pula," tandas Dirga dengan songong.  "Lu kagak capek apa jadi pawangnya adek gue?" tanya Haqi.  "Selama win to win mah selow lah, Mas!" jawab Dirga dengan mantap.  "Nggak paham Mas sama kalian berdua," pungkas Haqi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.  "Masih mending Aura punya polisi, Qi. Lha Lifa barusan putus udah ada gebetan baru aja. Mana yang ini nyalinya patut diuji banget," ucap Fahri dengan menghela napasnya.  "Ya bagus dong. Langsung move on tuh Lifa daripada Aura jomblonya kagak jelas banget alasannya. Yang deketin ada banyak tapi ke ghosting semua. Lama-lama ku jodohin sama Adit atau Dirga wae lah," dumel Haqi dengan gemas.  Aura langsung menjambak rambut Haqi, "Sadar diri ya anda! Kisahmu juga belum kelar aja sama Mbak Rifa. Songong kali ngoreksi kisah cinta orang lain. Lagian kalau pada ke rumah digalakkin sama kamu, Mas. Gimana mereka mau sama aku coba kalau kakaknya aja begono," proters Aura dengan kesal.  "Ya berarti mereka nggak serius sama kamu. Baru digituin udah mundur ki piye. Simpel toh, Dek!" ucap Haqi dengan tegas.  "Hilih, Bacot aja! Move on dulu sana barulah ikut campur urusan cintaku," ucap Aura dengan nada mengejek.  "Cangkem mu astaghfirullah! wes pener e kowe karo Adit nek ora Dirga. Opo sisan kowe wae, Ri? gowo wae nang Belanda sisan rapopo," ujar Haqi dengan sengit. "Piye, Ir? aku mah manut piye Aura wae. Haha," jawab Fahri dengan tawanya.  "Manut ae, Bang. Le penting iseh podo-podo single e," ucap Dirga  dengan tawanya yang langsung dihadiahi tabokan pada tangannya dari Aura.  "Sableng kabeh!" umpat Aura.  Raya dan Finka hanya bisa syok melihat keganasan kedua kakak beradik itu. Aura sering bercerita kepada mereka jika kakak laki-lakinya itu sering sekali bertingkah menyebalkan. Tapi mereka tidak menduga jika separah itu. Bahkan adu mulutnya sangat lambe lamis. Pantas lah Aura juga bermulut pedas plus tukang nyinyir. Ternyata oh ternyata tidak bukan itu adalah titisan dari sang kakak satu-satunya.  Akhirnya mereka sampai juga di rumah sakit. Setelah berpamitan dengan Om Ramli dan Lifa serta mengambil barang-barang mereka. Mereka langsung bergegas ke parkiran. Finka dan Raya langsung menuju motor Raya. Sedangkan Aura dan Haqi langsung menaiki motor Aura yang terparkir di bagian depan parkiran. Untung saja di mobil Dirga tadi ada satu helm yang memang selalu Dirga siapkan pada  "Tunggu mereka di depan wae, Mas!" ujar Aura dengan menepuk pundak Haqi. Haqi langsung menyalakan motor dan mulai mengegas motor Aura keluar dari parkiran.  "Rumahnya Raya tuh yang pernah kamu bilang deket UII?" tanya Haqi saat mereka sudah berhenti di depan pintu masuk parkiran.  "Iya, Mas. Rada ngalang sedikit lah sama rumah kita," jawab Aura dengan memainkan tali tas ransel kakaknya yang sedang ia gendong.  "Nggak dikit juga lah, Dek. Mayan itu. Kasian dia sering antar jemput kamu," ucap Haqi.  "Aku nggak pernah nyuruh lho ya! Raya sendiri yang mau jemput katanya sekalian jalan," ucap Aura membela dirinya.  "Iya-iya, Mas Paham Dek!" ucap Haqi dengan malas.  "Dibilangin beneran dia ngomong gitu sendiri. Lagian aku juga sering jemput dia kok," ucap Aura tak terima.  TIN TIN TIN  Raya dan Finka sudah berada di belakang mereka. Haqi mempersilahkan mereka untuk jalan terlebih dahulu. Lalu disusul oleh dirinya dan Aura dari belakang.  "Mas, Kenapa pulang lagi sekarang? kan kemaren udah lama di rumah," ucap Aura dengan penasaran.  "Terserah aku to, Dek! Nggak ada yang ngelarang juga kalau aku pulang ke rumah. Yang ada cuma dipalakin sama kamu," ucap Haqi dengan nada menyindir dan nyinyir.  "Nggak gitu juga sih. Mas emang nggak ngerasa boros gitu? Setiap minggu pulang lho," ujar Aura dengan ragu.  "Perkara uang mah gampang dicarinya. Tapi bisa ketemu kamu sama Bunda itu sulit banget kalau nggak di seloin. Pesan ayah dulu buat jagain kamu sama Bunda. Tapi karena Mas akhirnya harus merantau mau nggak mau dengan cara kayak gini Mas jagain kalian," jawab Haqi dengan menghela napasnya.  Aura terkaget dengan jawaban dari sang kakak. Ia tidak menyangka Haqi akan berbicara seperti itu. Selama ini Kakak laki-lakinya terlihat sangat cuek dan kaku. Ia pikir kakak laki-lakinya sering pulang ya karena ingin pulang dan kangen dengan dirinya dan bundanya atau masakan buatan bundanya. Ternyata tersirat suatu alasan yang ia dapatkan dari wasiat ayahnya.  "Mas, Nggak capek apa Sabtu-Minggu bolak balik Semarang-Jogja? Padahal kan bisa aja Mas tidur di kosan gitu," ucap Aura dengan gamang.  "Kalau dibilang capek atau nggak. Pastilah capek. Tapi dengan ngelihat kalian stres selama kerja dari senin sampai jum'at hilang semua. Kalau Mas di kosan rasanya malah jadi nggak tenang dan yang ada malah cuma tidur doang," balas Haqi dengan santai.  Aura tanpa sadar meneteskan air mata mendengar jawaban sang kakak yang ia miliki satu-satunya itu. Ternyata Haqi memiliki visi-misi yang sama dengannya. Dia selalu memikirkan semua tindakannya selama ini dan pastinya keluarga menjadi pertimbangannya. Salah satu contohnya yaitu pemilihan calon Universitas yang akan ia jadikan tempat melanjutkan studi perkuliahan. Sebenarnya ia ingin memilih salah satu universitas terkemuka di Bogor. Walaupun Bunda dan haqi merestui hal itu. Namun jika ia tetap memenuhi egonya bundanya akan sendirian di Jogja. Ia tidak mau itu terjadi. Belum lagi biaya yang dikeluarkan pastinya akan menjadi lebih mahal. Ia tidak mau merepotkan Haqi juga. Maka dari itu akhirnya ia memutuskan untuk memilih salah satu Universitas Negeri yang berada di Yogyakarta. Beruntungnya ia langsung diterima dengan jalur SNMPTN dan ia juga menjadi mahasiswa penerima beasiswa unggulan di kampusnya.  Aura tidak melanjutkan percakapannya dengan sang kakak. Tapi ia mengeratkan pelukanya kepada sang kakak. Ia tidak ingin Haqi mengetahui bahwa ia menangis.  "Kamu ngantuk, Dek?" tanya Haqi sembari mengusap tangan Aura yang berada di perutnya.  "He'em," jawab Aura dengan singkat.  "Ya udah pegangan yang kenceng. Ntar gelebak malah berabe," ujar Haqi dengan mengeratkan kedua tangan Aura pada perutnya.  Finka sudah diantarkan sampai rumahnya. Lalu sekarang tinggal mengantarkan Raya. Haqi mengikuti motor Raya dengan pelan karena Raya pun juga mengendarai motornya dengan santai. Setelah kurang lebih tiga puluh menit berjalan akhirnya mereka sampai juga di depan rumah Raya.  "Makasih ya, Mas! Itu si Aura udah ketiduran malahan," ucap Raya sembari turun dari motornya.  "Santai kok, Dek. Sama-sama! Udah biasa dia kayak gini. Emang dasarnya tukang molor aja anakanya," balas Haqi dengan melirik sang adik. Aura memang kalau tidur sudah seperti orang mati. Bahkan dia sering sekali tidur lebih dari delapan jam jika tidak ada kegiatan dan ditambah dengan sedang mendapatkan jatah menstruasi. Bunda nya kadang sampai gedeg sendiri untuk membangunkan anaknya bungsunya tersebut.  "Hehe, Iya Mas," jawab Raya dengan terkikik.  "Hmm, Mas boleh minta nomermu, Dek?" tanya Haqi sembari mengeluarkan hand phone nya dari saku jaketnya dan terlihat sekali ekspresi terkejut dari Raya, "Buat mantau Aura aja kok. Kayaknya dia juga deket banget sama kamu selain sama Lifa dan Dirga". Haqi langsung memberikan klarifikasinya karena memang itu niat yang mendasari dirinya untuk meminta nomor telpon Raya. "O-oh. Boleh, Mas," jawab Raya dengan gagap. Kemudian dia mengetikkan nomor telponnya pada hand phone Haqi yang sudah disodorkan kepadanya.  "Namain sekalian ya," ucap Haqi dengan lembut.  "Siap, Mas!" jawab Raya dengan sigap.  Setelah selesai bertukar nomor telpon. Haqi berpamitan untuk pulang. Ia sudah tidak tahan untuk segera menempelkan tubuhnya pada kasur kesayangannya. Sesampainya di rumah ia langsung membangunkan Aura dan meminta Aura membukakan pintu garasi. Selepas itu mereka langsung bergegas membersihkan dirinya masing-masing dan masuk ke dalam kamarnya untuk istirahat karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh lima menit. Sebelum tidur Aura memainkan hand phonenya dan terlihatlah dua pesan w******p teratas a.k.a pesan terbaru yang masuk.  Raya Tuek: Udah sampai rumah belum, Ra? Mas Fasa: Wah, Malmingan rame-rame ya dek Aura memilih untuk membalas pesan Raya saja karena pesan dari Raya memang butuh jawaban sekarang. Sedangkan pesan dar Fasa menurutnya masih bisa dijawab esok hari bersamaan dengan teman-temannya yang lain.  TBC  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN