3. Hujan Bunga Edelweis

1847 Kata
Kepalanya rasanya sangat pusing sekali. Terlalu banyak pikiran yang membuat kepalanya terasa sangat sakit. Sepanjang perjalanan menuju Segara Anak, Asia mencoba untuk fokus. “Asia, kamu enggak apa-apa?” Kamelia menatap Asia khawatir. “Enggak apa-apa kok, memangnya kenapa?” tanya Asia yang merasa aneh dengan pertanyaan dari Kamelia. “Kamu dari tadi diam saja, jadi aku khawatir.” “Siapa yang diam? Ingat ya fokus, jangan sampai pikiran kosong!” teriak Dion yang ada di barisan paling depan. “Iya Kak!” seru Kamelia. Asia yang memperhatikan Kamelia segera membuang pandangannya dan mendengus. Saat membuang pandangannya itu, Asia melihat ada bunga edelweiss yang ada di sampingnya jatuh dari tangkainya. Kening Asia berkerut melihat bunga yang jatuh itu. Tanpa sadar Asia bahkan menghentikan langkahnya karena matanya yang menatap hal ganjil seperti itu. “Asia duluan ya.” Yayan menepuk pundak Asia. Asia tidak beraksi dengan hal itu dan terus memperhatikan bunga yang tidak hanya satu yang jatuh. Tanpa sadar, Asia hendak berjalan mendekati bunga edelweiss yang terjatuh dari tangkainya itu. Hendrik yang melihat Asia hendak keluar dari jalur segera menahan tangan Asia. Asia menoleh ke sampingnya dan mendapati Hendrik menatapnya khawatir. “Kenapa?” tanya Hendrik bingung. “Aku mau ke sana,” tunjuk Asia dengan dagunya. “Bunganya memang bagus, tapi kamu enggak sadar kalau itu dekat jurang?” Hendrik geleng-geleng kepala. Ucapannya terdengar lembut walau sebenarnya dia kaget dengan apa yang dilakukan Asia sangat berbahaya. “Aku liat ada bunga edelweiss yang jatuh, jadi aku penasaran.” “Aduh, Asia… mana ada bunga edelweiss jatuh dari tangkainya.” Hendrik sedikit mendorong tubuh Asia agar terus berjalan. “Sana kembali ke belakang Kamel,” suruh Hendrik karena Asia yang diam tadi membuat Yayan mendahuluinya. Asia tahu jika bunga edelweiss dianggap sebagai bunga abadi karena tidak mudah layu dan jatuh dari tangkainya, tapi apa yang dilihatnya tadi terasa seperti momen yang langka. “Aku enggak sadar loh kamu berhenti.” Kamelia menoleh ke arah Asia yang hendak mendahuluinya. “Tadi agak sedikit capek,” kilah Asia. “Sekarang udah enggak kan?” tanya Kamelia. Asia mengangguk, dia merasa diremehkan oleh Kamelia. Dibanding Kamelia, jelas Asia lebih unggul dari tenaga dan kesehatan badan. Asia sudah lebih terbiasa mendaki dan pergi ke alam akibat jurusan Biologi yang dia ambil. Terlebih Asia berniat mengambil tema skripsi tentang keanekaragaman hayati yang pastinya membuatnya harus ke alam. “Kamu khawatir pada orang yang salah, Mel!” seru Sani yang ada di depan Kamelia dan Asia. “Kenapa memangnya?” tanya Kamelia. “Kelihatan jelas kalau Asia itu kuat, apalagi Asia juga anak jurusan Biologi yang udah biasa pergi ke gunung, hutan atau pantai buat penelitian.” “Tapikan yang namanya perempuan pasti….” “Apa yang dibilang Sani bener kok, aku enggak apa-apa. Ini udah biasa.” Perasaan bangga dan senang itu muncul di hati Asia karena Sani ternyata tahu jika dirinya lebih kuat dibandingkan Kamelia. Ini bagus untuk menyadarkan Kamelia jika dia tidak selemah yang Kamelia pikirkan. “Iya udah, tapi kalau kamu capek kasih tahu ya.” Kamelia tersenyum lembut. Akhirnya mereka tiba di area Segara Anak. Mereka beristirahat sambil makan beberapa cemilan sebelum akhirnya mendirikan tenda. Tenda akhirnya selesai dibangun dan Asia memilih untuk menikmati pemandangan danau Segara Anak daripada harus di dalam tenda bersama dengan Kamelia yang tengah beristirahat karena kelelahan. “Asia.…” Hendrik menepuk pundak Asia. “Jangan melamun, enggak baik.” Asia memandangi Hendrik yang mengambil tempat duduk tepat di sampingnya. “Enggak jagain Kamel?” tanya Asia. “Kamelkan tidur, yakali gue masuk ke tendakan.” Ada tatapan geli pada mata Hendrik saat mengatakan hal itu. “Kok mendadak sih?” tanya Asia. “Apanya?” “Lamar Kamel. Aku bahkan enggak tahu kamu mau lakuin lamaran di puncak Rinjani.” “Yang lain juga enggak tahu loh.” Hendrik mengambil batu di depannya. “Jadi semuanya juga pasti sama kagetnya sama Kamel.” Batu itu kemudian Hendrik lempar ke dalam danau. Asia mengangguk mengerti dengan penjelasan Hendrik. Dia bingung harus bersikap bagaimana di samping Hendrik saat ini. “Istirahat sana, aku enggak mau kamu sakit, As.” “Di dalam tenda sumpek. Aku tidurnya nanti aja setelah makan malam.” “Seenggaknya jangan duduk di sini. Kakimu itu harus diluruskan.” “Aku tahu, tapi lagi pengen gini aja.” Hendrik bangun dari duduknya, dia menyodorkan tangannya ke arah Asia. “Sini bangun,” ajaknya. Asia melihat uluran tangan Hendrik. Uluran tangan itu yang selalu Asia harapkan, tapi dia tidak pernah mendapatkannya. Di saat dia sudah mendapatkannya, Hendrik malah akan menikah dengan Kamelia. Sedikit ragu, Asia pun menerima uluran tangan Hendrik. Tangan Hendrik terasa hangat, rasa yang dia butuhkan di saat hatinya mendingin karena Hendrik juga. Asia memaksakan senyumnya terukir saat menerima uluran tangan itu. “Makasi,” ucapnya kemudian. “Yuk ke sana,” ajak Hendrik. Tangannya yang sedikit menggenggam tangan Asia pun langsung dia lepaskan begitu saja, yang membuat Asia juga segera melakukan hal serupa. “Daripada duduk kek orang susah, mending rebahan gini!” seru Yayan sambil menggelar alas dan rebahan di sana. “Wih boleh juga.” Hendrik mengambil tempat di samping Yayan. Asia melirik masih ada sisa tempat di sana. “Ikut!” serunya lalu saat Asia akan tiduran di dekat Hendrik, Dion lebih dulu rebahan di samping Hendrik. “Kalau muncul itu bilang-bilang kek!” Asia ingin marah karena tempatnya diambil, tapi dia tidak bisa melakukannya, jadi dia sengaja marah dengan alasan yang lain. “Males, udah ah gue mau rebahan.” Dion memunggungi Asia. Asia dengan kesal tiduran di antara Dion dan Yayan. Mereka menikmati waktu merebahkan badan di bawah langit yang masih tampak biru. Semilir angin membuat mereka terbuai di sana, hingga waktu untuk makan malam memaksa mereka menghentikan istirahat mereka dan menggantinya dengan membuat makan malam. Asia membantu masak seadanya karena para pria lah yang lebih banyak mengambil alih kompor. Dibanding Asia, Kamelia bahkan tidak membantu sama sekali. Kamelia mengobrol dan tertawa dengan yang lainnya. “Aromanya makin enak,” seru Kamelia. “Yakan Sia?” tanya Kamelia. “Iya, enak banget. Aku enggak sangka kalau aromanya bikin nafsu makan naik.” Lagi-lagi Asia mengembangkan senyum palsunya. Dia juga lelah jika seperti ini, dipaksa untuk pura-pura bahagia, padahal dia sudah tersiksa. “Nih, nih, nih udah mateng semuanya. Yuk makan!” perintah Dion. Mereka berenam berkumpul dan makan bersama. Selama makan, candaan dan godaan terus tertuju pada Hendrik dan Kamelia. Asia hanya bisa tertawa dengan semua candaan dan godaan itu. “Aku udahan dulu ya.” Asia sudah menyelesaikan makan malamnya dan tidak ada alasan lagi untuk dia diam di sini. “Mau ke mana? Baru aja selesai makan malam,” tanya Yayan. “Aku capek, jadi mau rebahan di tenda aja.” Asia bangun dari duduknya. “Sia, aku temenin ya?” Melihat Kamelia yang akan bangun dari duduknya, Asia pun buru-buru menahannya. “Enggak usah, kamukan masih mau ngobrol sama yang lainnya. Biar aku sendiri aja yang masuk.” “Yakin?” tanya Kamelia memastikan. Asia mengangguk meyakinkan. “Enggak apa-apa kok.” “Ya udah nanti aku masuk.” Asia kembali mengangguk. Sebelum dia pergi, dia sempat melirik Hendrik dan Hendrik memberikannya senyuman. Asia buru-buru masuk ke dalam tenda dan merebahkan dirinya di dalam sana. Asia tidak bisa tidur dan hal itu membuatnya mulai memikirkan tentang hal-hal yang sudah dilaluinya hari ini. Jika bisa, Asia ingin melupakan hari ini. Bagaimana tidak, Asia sangat iri sekali dengan Kamelia. Kenapa harus Kamelia yang mendapatkan Hendrik? Kenapa bukan dirinya? Tanpa sadar Asia sudah berpikir seperti itu dalam waktu yang lama. Suara resleting tenda yang terbuka membuat Asia seketika pura-pura tidur. “Udah tidur ternyata,” ucap Kamelia dengan suara pelannya . Dia tidak ingin bicara dengan Kamelia. Di diamnya itu, Asia mencoba mendengar suara sekitarnya. Awalnya masih banyak suara yang terdengar di luar tenda, hingga akhirnya hanya suara jangkrik saja yang terdengar. Asia bangun dan memilih untuk keluar tenda. Dia butuh udara segara untuk mendinginkan kepalanya. Di luar tenda benar-benar sepi sekali. Suara jangkrik terdengar memecah kesunyian malam. Bintang di atas langit terlihat bersinar dengan terang. Pandangan Asia tertuju pada api unggun di depannya. “Kapan hidup bisa adil?” lirih Asia. Asia mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan susah payah. Dadanya terasa sangat sesak sekali dan tanpa Asia bisa cegah, dia menangis untuk hidupnya yang terasa buruk. Jika hidup tidak lebih baik, entah kenapa Asia lebih baik memilih untuk mati saja. Di saat Asia menangis dalam diamnya itu, dari arah danau Segara Anak Asia melihat sesuatu yang bersinar dengan warna biru yang indah. Buru-buru Asia mengusap air matanya dan pergi menuju ke arah sinar biru itu. Sampai di pinggir danau, tubuh Asia sedikit condong ke depan, berniat untuk meraih batu yang bercahaya itu. Saat tangannya sudah mendapatkan batu itu, tangan Asia terasa seperti ditarik ke arah danau dan saat itu juga tubuh Asia jatuh ke dalam danau. Pinggir danau yang hanya sebatas mata kaki itu, mendadak menjadi dalam hingga mampu membuat tubuh Asia tenggelam di dalamnya. “Haaah….” Asia tanpa sengaja membuka mulutnya hingga membuat air masuk ke dalam mulutnya. Tubuh Asia tidak bisa digerakkan sama sekali, hanya tangannya yang Asia bisa gerakkan untuk menggapai sesuatu di depannya, tapi tidak ada yang bisa dia gapai di dalam air yang semakin lama semakin dalam. Di sisa-sisa tenaganya mencoba untuk menggapai sesuatu, Asia melihat sinar yang cukup terang dari atas sana. Setelah itu, sesuatu yang melesat jatuh dalam jumlah yang banyak membuat Asia berhenti menggapai. Awalnya semuanya tampak cepat menghujani dan tak berapa lama kemudian, sesuatu yang jatuh itu melambat hingga Asia akhirnya tahu apa yang jatuh menghujaninya itu. Bunga edelweiss jatuh menghujaninya layaknya hujan. Asia sadar jika ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Bunga yang jatuh ke dalam air akan mengambang dan jika pun tenggelam, bunga-bunga itu tidak akan jatuh dengan mulus seperti bunga yang dilempar dari udara. Rasa sesak yang tiba-tiba terasa membuatnya membuka mulutnya. Saat mulutnya itu terbuka, bunga edelweiss yang jatuh masuk ke dalam mulutnya. Rasa sakit yang seketika menjalar membuat Asia memegangi tenggorokannya. “Biarkan jalan yang penuh bunga edelweiss menuntunmu pada hidup yang penuh dengan petualangan hingga kau mengerti apa itu cinta sejati. Mati untuk cinta yang tidak pernah kau perjuangkan adalah suatu hal yang sia-sia.” Di saat seperti ini, Asia malah mendengar suara yang lembut masuk ke dalam telinganya. Suara yang terkesan menertawakan dirinya karena ingin mati hanya karena sakit hati. Suara itu juga seakan mengatakan jika dia tidak memperjuangkan cintanya untuk Hendrik, jelas itu tidak mungkin karena Asia sudah berusaha semampunya. “Kau tahu, Edelweiss tahu setiap hati yang mencinta.” Asia tersenyum remeh setelah mendengar suara itu lagi. Di saat itu, dadanya terasa sangat sakit sekali. Asia akhirnya sadar jika ajalnya sudah datang. “Dan jika kamu masih ingin mati karena cinta, setidaknya temuilah orang yang benar-benar kamu cintai. Berjuanglah bersamanya hingga kamu merasa takut untuk berpisah darinya.” “Aku harap kamu menemuinya, tapi aku sendiri tidak begitu yakin dengan hal itu. Apalagi gadis sombong sepertimu.” Setelah ejekan terakhir itu, Asia tidak bisa melihat apa-apalagi. Semuanya gelap dan sunyi dan itu membuat Asia merasa semakin sesak dan takut. Ini adalah ajalnya,
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN