Tepat pukul delapan aku baru sampai rumah. Di carpot kulihat mobil Randu sudah terparkir, aku memilih memarkirkan di sebelah mobilnya karena memang sejak aku menikah spot parkir di rumahku menjadi lebih sempit karena ada tambahan satu mobil yaitu milik Randu, meski sesekali dia akan memarkirkan mobil di rumah mamanya.
"Assalamualaikum!" teriakku saat masuk ke dalam rumah.
"Walaikumsalam!" jawab mama dan papa. Hanya mereka berdua, Randu sepertinya di kamar, atau mungkin ke rumah mamanya.
"Kebiasaan pulang malem, udah punya suami juga." kata mama saat aku menghampirinya dan mencium tangannya. Aku hanya nyengir saja lalu beralih pada papa.
"Si Mas udah pulang sejak sore, lo! Ini istrinya jam segini malah baru pulang." Aku terkikik mendengarnya.
"Mas Randunya kemana?" Tanyaku.
"Di kamar kayaknya, kasian belum makan. Tadi diajak makan katanya nunggu kamu." Kata papa.
Aku hanya ber'oh' ria sambil naik ke atas, ke kamarku. Saat sampai kamar, pintu kamar terbuka, dan Randu terlihat sedang bekerja. Meja kerjanya sudah dia pindahkan ternyata.
Aku masuk ke dalam kamar, menyimpan tas dan kantung kertas yang berisi hadiah dari Mas Pandi di atas meja rias. Merasa ada sosok lain yang memasuki kamar, Randu membalikan tubuhnya dan menghentikan pekerjaanya. Sebelum menghampirinya, aku memilih untuk menutup pintu kamar dan masuk dulu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Gue mandi dulu ya." Izinku pada Randu, dia mengangguk lalu memilih untuk kembali fokus pada pekerjaannya.
Hampir lima belas menit di dalam kamar mandi, aku keluar hanya dengan handuk yang membelit tubuhku. Seminggu menikah aku sudah mulai membiasakan diri berpenampilan seperti ini di depan Randu. Ya dia kan suamiku, jadi sudah sah dong?!
Aku memilih menggunakan baju tidur model terusan tanpa lengan berbahan satin. Seksi? jelas! Panjangnya saja hanya sebatas paha. Nanti sih kalau keluar aku lapisin cardigan, malu lah ada papa.
"Yuk makan!" aku menghampiri Randu dan mengajaknya makan. Randu menatapku tak berkedip, lalu malah menarikku agar aku duduk dipangkuannya.
Duh, dia kenapa sih, bikin salah tingkah aja?!
Aku juga bego sih. Udah tahu dia ngebet minta jatah ena-ena malah pake baju kayak gini lagi, jelas dia ngiler. Ternyata si Randu bisa ngiler juga sama sahabatnya sendiiri. Geli kalau dipikirin. Pengen ngakak bawaannya.
"Apaan sih, Du, ah?!" kataku berusaha kembali berdiri dan melepaskan diri dari pelukannya.
"Bentar dong, gak tahu kenapa seharian ini gue kangen sama elu, aneh gak sih?" bukannya menjawab aku malah menggedikan bahuku cuek lalu kembali berusaha berdiri tapi lagi-lagi Randu malah menahanku. Lalu dengan kurang ajarnya dia malah mengecup tengkukku, menggigitnya kecil-kecil membuat bulu kudukku meremang.
Dia terkekeh saat tahu aku bergidik, "Di kantong kertas apaan?" tanyanya membuat jantungku seketika berdetak lebih kencang. Ini sih yang dari tadi aku takutkan. Memang gak salah kalau atasan kita memberikan sebuah kado. Tapi menurutku memberikan satu set perhiasan untuk pernikahan anak buahnya terlalu berlebihan. Dan jelas Randu akan bertanya hal ini.
Aku berdiri, lalu bersandar di meja kerjanya. Randu memajukan kursinya, mendekatkan dirinya padaku dengan memposisikan tangannya di kanan kiri pinggangku. Dia mencium perutku beberapa kali, membuat gelenyar aneh dan seakan ada ribuan kupu-kupu yang terbang diperutku. Geli, bebs.
Ini kenapa sih si Sahabat Surga? Sejak pulang dari Bali, bawaanya lengket mulu, udah kaya dipakein lem aja sih? Katanya belum cinta tapi gini amat sih. Apa kebelet malam pertama kali ya? duh jadi gak enak nih!
Aku berdehem untuk menormalkan detak jantungku yang sejak tadi tak karuan, antara ketakutan menceritakan soal hadiah dari Mas Pandi dan sikap manis Randu akhir-akhir ini.
"Oh, itu hadiah dari Mas Pandi. Waktu kita nikah kan dia gak sempet dateng, jadi dia kasih gue hadiah itu." Kataku. Dia mendongakkan kepalanya lalu manatapku tak percaya.
"Baik amat! Gue liat satu set loh itu perhiasannya." Jadi saat aku di kamar mandi dia udah liat hadiahnya. Duh!
"Gue udah nolak tadi, gak enak juga. Tapi dia maksa ya udah." Kataku. Dia kembali menatapku tak percaya.
"Kok gue gak percaya ya?!" Katanya. Aku tertawa.
"Udah ah, nanti gue ceritain. Sekarang ayo makan, gue laper!" kataku sambil mengajaknya untuk berdiri. Randu Diam tak bergeming malah menarikku kembali ke pangkuannya saat aku akan melangkah, hingga kini aku sudah duduk kembali dipangkuannya dengan Randu yang memelukku dari belakang.
"Gue cowok kali, Run. Gue tahu mana tatapan cowok yang biasa aja, sama tatapan cowok yang suka." Katanya. Aku membalikan kepalaku, lalu menatap Randu dan merangkum wajahnya dengan kedua tanganku.
"Kalau gitu sekarang gue mau liat cara elu natap gue, biar gue tahu lu suka gak sama gue." Dia terkekeh. Lalu memajukan wajahnya mengecup bibirku lembut.
"Gue mah sayang sama elu malah udah nyerempet ke cinta, bukan suka lagi."
Anjrit!
Najong!
Kata-kata itu sukses membuat wajahku memerah. Sumpah? Demi apa? duh kok malah jadi salah tingkah gini sih.
***
Setelah makan tanpa menunggu lama Randu langsung meminta penjelasan dariku mengenai satu set perhiasan yang ternyata emas putih yang diberikan Mas Pandi untukku. Hingga dia marah dan kini cemberut.
"Du, lu mau gue balikin perhiasannya?" Dia tak menjawab, melah menggedikan bahunya tak acuh lalu kembali fokus pada gambar rancangan gedung miliknya.
"Du, ih malah gambar lagi! Gue lagi ngomong juga." Kataku. Dia masih diam saja seakan menganggapku tak ada.
Randu menghentikan kegiatan menggambarnya lalu menyimpan alat gambar yang sejak tadi dia pegang lalu fokus menatapku.
"Run, sekarang gini deh, kalau gue balikin posisinya ke elu gimana, Tiara yang jelas-jelas mantan gue yang ngasih barang, lu masih mau terima?" jelas aku menggeleng dengan cepat. "Nah!" Dia menjetikan jarinya. Menyebalkan banget ih! "Itu lu tahu perasaan gue gimana saat tahu atasan lu yang ternyata suak sama elu ngasih satu set perhiasan emas. Dan itu dia bilang emang sengaja beli buat elu, udah sejak lama." Kata Randu sambil menjetikkan jarinya. Dia membalikan kembali tubuhnya menghadap meja kerjanya.
"Tapi kan kalau Tiara beneran mantan elu, dia juga keliatan banget masih cinta sama elu dan ngarep balikan sama elu, sementara gue baru tahu perasaan Mas Pandi aja hari ini." Kataku beralasan.
Randu yang sudah bersiap untuk kembali menggambar lagi-lagi menghentikan lalu kembali menghadapku, menatapku tajam sambil melipat kedua tangannya di d**a.
"Apa bedanya? Perasaan dia sama elu sama kayak perasaan Tiara ke gue." Iya juga sih. Tapi kan sayang kalau dibalikin. Harganya lumayan cuy, ya gue tahu berapa total perhiasan yang Mas Pandi kasih karena dia kasih semua lengkap dengan suratnya. "Gue terang-terangan nolak bolu yang dia mau kasih ke gue waktu itu, di depan elu." dia menekankan kata 'di depan elu' gitu banget sih si Sahabat Surga. "Lu tahu alasannya?" aku menggeleng. Eh, dia malah mendesah. Lalu membalikan tubuhnya ke arah meja kembali.
"Ye, malah marah! ya emang beneran gue gak tahu Bambaaaaang!" kataku. Dia berdecak lalu melempar pinsil ke meja kerjanya. Waduh si sahabat surga beneran marah ini mah.
"Run, berenti ya manggil gue dengan sebutan kayak gitu, gue suami lu dan umur gue jels lebih tua dari elu, sopan dikit bisa kan?" katanya dengan nada suara yang meninggi membuat aku menatapnya ngeri.
Lah dia seriusan marah!
"Ya lagian elu nyebelin banget sih
" kataku. "Lagian ngapain juga sih masalahin hadiah itu, gue kan gak ada perasaan apa-apa sama dia," kataku menegaskan. "Lagian kalau emang gak suka jual aja, duitnya gue pake traktir temen-temen gue, kalau engga gue pake buat belanja, gampang! Lumayan juga!" kataku.
"Lu emang sengaja bikin emosi gue naik ya?" Randu mencengkram tanganku saat aku berhenti berbicara dan akan meninggalkannya. Marah beneran dia. Tapi kok gini amat sih? Kan aku niatnya jujur. Terbuka, gak mau nutup-nutupin apapun dari dia. Eh dia malah marah! kagak faham!
"Run, dalam agama kita hukumnya dosa kalau seorang istri terima barang dari pria lain, apalagi dia suka sama elu, lu mau dosa?" katanya.
"Gue angkat tangan kalau udah urusan sama dosa!" kataku sambil menepis cengkraman tangan Randu di tanganku. "Besok gue balikin perhiasannya sama Mas Pandi, kalau perlu gue resigne sekalian, biar lu puas!" kataku sambil menjatuhkan diri di tempat tidur dan menutupi tubuhku dengan selimut.
"Nah, itu lebih bagus! biar pas gue pergi dan pulang kerja lu ada di rumah," katanya ketus.
"Randu sialan!" teriakku kesal dan dia malah tertawa saja.
***
"Heran gue, yang salah siapa yang cemberut siapa?!" kata Randu saat aku masuk ke dalam mobil. Hari ini dia memaksaku untuk mengantar ke kantor padahal aku sudah bilang hari ini harus meething dengan penulis.
"Gak usah mulai deh, Du. Masih pagi jangan bikin mood gue berantakan." kataku ketus sambil memasang sabuk pengaman di tubuhku.
"Terus apa kabar dengan mood gue waktu bayangin bahwa ada cowok lain yang kasih satu set perhiasan sama bini gue?" katanya sambil menekankan kata 'satu set perhiasan' padaku.
"Lah terus apa kabar sama mood gue saat tahu kalau elu ke Bali sama 'mantan pacar' elu?!" kataku membuat dia terbahak.
"Lu cemburu?" katanya tersenyum jahil sambil memajukan wajahnya.
Aku berdecak, "Diem lu, Bambaaaaang!" teriakku sambil mendorong wajahnya dengan tanganku.
"Ish!" katanya berdecak sambil menepis tanganku.
"Bambang! Bambang! Bambaaaaaang!" teriakku. Dan dia malah bergeleng sambil cemberut.
Mobil melaju dengan kami yang sama-sama diam. Akhirnya untuk mengusir sepi aku menyalakan musik dari ipod yang memang selalu terpasang pada tape mobil milik Randu. Hingga aku memilih lagu berjudul '2002' milik Anne Marie. Sesekali aku ikut menyanyikan lagu yang mengalun. Hingga tak terasa mobil Randu sampai di parkiran kantor penerbitan.
"Gue pergi!" pamitku setelah aku melepaskan sabuk pengaman dan menengadahkan tangan.
Aku meraih tangan Randu lalu mencium punggung tangannya. Randu diam tapi kemudian tangannya terulur mengusap puncak kepalaku. Lalu perlahan dia menarikku ke dalam pelukannya membuatku diam tak bergerak sambil menahan napas.
"Baik-baik di kantor, jangan bikin gue gelisah." katanya sambil melepaskan pelukan kami. Aku diam tapi kemudian mengangguk pelan hingga menerbitkan satu senyuman di bibir sahabatku yang kini menjadi suamiku. Dia merangkum wajahku dan mendekatkan wajahnya, refleks aku memejamkan mata menunggu sesuatu yang hangat dan lembut menempel di bibirku tapi yang kudengar hanya suara kekehan.
"Sialan!" kataku ketus sambil menepis tangannya yang berada di wajahku.
"Ini parkiran Aruna!" Katanya tapi tetap menarik wajahku dan melayangkan satu kecupan di kening, membuatku seketika mengerucut.
"Sekali menyebalkan ya tetep menyebalkan!" kataku ketus membuat dia lagi-lagi tergelak. Aku keluar lalu menutup pintu dengan sedikit membanting tapi entah kenapa ada senyuman yang tak bisa aku hilangkan dari bibirku. Si Sahabat manis pagi ini dan aku suka atau mungkin sudah mendekati cinta.
Duh!
Aku memukul kepalaku agar kewarasannya kembali, karena si sahabat sudah nyaris mendekati sakit jiwa karena tersenyum sendiri.
"Run." Aku membalikan tubuhku saat Randu kembali memanggil namaku.
"Jangan lupa dibalikin!" kata Randu sambil menyerahkan kantong kertas berisi satu set perhiasan pemberian Mas Pandi kemarin yang aku tinggalkan di mobil.
Aku berdecak lalu meraih kantong kertas dengan kasar. Sekali kampret ya terus aja bakalan tetep kampret!
***
Mas Pandi menatapku dengan tatapan heran, tak percaya dan sekaligus sedih saat aku tiba-tiba masuk ke ruangannya dan menyerahkan kembali hadiah pemberiannya kemarin.
"Maaf, Mas, saya gak bisa terima ini." kataku. Desahan pelan terdengar dari mulut Mas Pandi.
"Suami kamu marah?" aku diam tak menjawab pertanyaan dari Mas Pandi. Gak enak dong, bebs kalau harus jujur banget. Biar pun aku kadang mneyebalkan tapi aku masih memiliki jiwa malaikat, walaupun sedikit.
"Padahal ini beneran Cuma sekedar hadiah lo, Run. Saya gak ada niat buat rebut kamu dari dia." katanya terkekeh pelan. Tapi buat aku kekehan Mas Pandi kok kedengeran jadi kayak apa ya, kayak tangisan orang teraniaya git lo, Bebs. Jadi kasian ih liatnya.
"Kan bisa dikasih ke calon istri Mas Padi nanti, kalau udah dapet." kataku. Lagi dia terkekeh.
Dia meraih kantong kertas, "Doain deh biar saya cepet-cepet dapet jodoh." katanya lalu menyimpannnya di dalam laci. Aku mengangguk lalu pamit untuk kembali bekerja.
***
"Masa?" teriak Diana dan Cantika bersamaan saat aku menceritakan masalah Mas Pandi pada mereka.
"Biasa aja kali ah, gak usah pake teriak. Malu tuh orang-orang pada liatin!" katau menunjuk sekeliling warung Bakso Mas Ano yang siang ini lumayan penuh dengan pengunjung. Mereka terkikik lalu bergerak memindai ke sekeliling warung bakso.
"Nah, bener kan omongan gue tempo hari?" kata Diana sambil menyeruput uah bakso yang suah ditiup sebelumnya. "Tapi sih tetep shock lo gue pas tahu dia ngasih satu set perhiasan buat elu. Gila! Kirain yang bakal bertindak diluar dugaan si Ardi doang yang dulu kasih Iphone ke elu biar elu bisa terima dia, eh ternyata Mas Pandi yang kaku aja bisa juga." katanya terkikik.
"Sialan lu! Gue istimewa kali!" kataku.
"Eh, berarti dia yang uring-uringan selama seminggu ini karena dia patah hati dong?!" tanya Cantika histeris dan diangguki oleh Diana sambil tertawa. "Anjrit! Cuma gara-gara Aruna gitu lo, dia sampai bikin kita keder selama seminggu ini, sialan!" makinya membuat aku dan Cantika tertawa.
"Gue kan istimewa di mata cowok-cowok di kantor." kataku jumawa mmebuat Cantika mencebikan bibirnya yang seksi.
Selain Randu, mereka sahabatku. Para perempuan absurd tapi aku begitu menyayangi mereka. Dengan mereka aku tak perlu menjadi orang lain, aku cukup menjadi Aruna Pradasari dan mereka mau menerima aku apa adanya.