Ternyata Mas Pandi...

2415 Kata
Setelah obrolan dini hari tadi, ketika aku bangun satu jam kemudian rasanya ada perasaan ringan. Merasa ada beban yang sedikit terangkat. Meskipun belum sepenuhnya terangkat. Mungkin nanti setelah aku bisa membahagiakan Randu dengan malam-malam panas kami, barulah aku bisa merasa lega. Duh! Kenapa ya omonganku akhir-akhir ini liar? Pasti setan m***m dalam diri Cantika udah merasukiku. Setelah subuh tadi, Randu memilih untuk tidur kembali, karena dia akan pergi agak siang hari ini. Tapi sebagai istri yang baik aku harus pamit, minimal dia tahu lah kalau aku akan pergi bekerja. Geli gak sih ih! "Du, bangun dulu ih!" malah ngulet dia. Mana tidurnya masih pakai sarung sama koko bekas dia solat lagi. "Du, gue mau kerja, lu bangun dulu bentar ih!" kataku sambil mengguncang tubuhnya. Akhirnya dengan sedikit terpaksa dia membuka matanya. "Hih! Udah cantik aja istri gue, sini kiss dulu!" katanya sambil menggapai-gapai mencoba memelukku. "Enggak ah! Nanti lipstik gue berantakan!" kataku menepis tangannya. Dia tertawa. "Lu berangkat jam berapa?" tanyaku. "Jam sepuluhan." Katanya sambil mengambil guling lalu memeluknya dan menjepitnya di kaki. "Kemeja sama celana lu udah gue siapin ya, kalau mau sarapan gue juga udah siapin nasi goreng." kataku menunjuk nasi goreng yang ku simpan di nakas. Dia menjawab dengan deheman. "Oh iya, sprei sama bedcover nanti tolong lepasin terus tilep ya, sekalian bawa ke laundry, gak usah diganti kalau gak bisa biarin aja nanti pas gue balik kerja baru gue pasang sprei sama bed covernya." kataku sambil memasukan ponsel, laptop, dompet lalu mendekat ke arahnya. "Bawa mobil?" aku mengangguk. "Hari ini ada meeting sama penulis di starbuck jadi gue butuh buat mobile," kataku. Dia hanya mengangguk saja. "Kalau bisa jangan pulang malem ya, gue pengen ngajak keluar." katanya. Aku sedikit berpikir. Mas Pandi atasanaku yang paling ganteng tapi jomblo itu moodnya kurang bagus akhir-akhir ini, jadi daripada PHP sama Randu mending nolak lebih dulu. Aku mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur yang kosong, lalu mengangsurkan tangan dan meraih tangannya untuk kucium. "Kalau mau jalan Jumat sore aja deh, kan gue gak lembur tuh, takutnya gue gak bisa balik cepet." dia mendesah pelan tapi mengangguk. Tetap terlihat bahwa dia kecewa. "Gue pergi ya?!" dia mengangguk tapi tak melepaskan tangannya yang memegang tanganku. Merajuk dia ceritanya, bebs. "Run." Dia kemudian menarikku yang sudah berniat untuk berdiri. "Satu morning kiss lah buat gue, pelit amat, lu bisa pakai lipstik lagi nanti." Eh beneran merajuk dia. Berarti teori Cantika bener kalau cowok emang gak bisa lepas dari hal-hal yang nyerempet ke urusan seks. Oke, daripada lihat muka dia merajuk sampai nanti aku pulang, aku memilih mendekat dan memberanikan diri untuk mengecup bibirnya. Dan seketika senyum Randu terbit. Menyebalkan memang dia! Dikasih ciuman aja udah girang apalagi aku iyain buat malam pertama, wah, wah, wah, udah pengumuman kayaknya pakai toak mesjid. Senorak itu emang sahabat tapi suamiku ini. "Ya udah gue pergi ya?!" dia mengangguk lalu kembali menarik selimutnya sampai menutupi d**a dan aku hanya bisa bergeleng saja melihat kelakuan Randu seperti itu. *** "Aruna?" kata seorang laki-laki yang berdiri dihadapanku. Ganteng, badannya tegap, kaca mata yang membingkai wajahnya membuat dia terlihat lebih dewasa tapi tetep ganteng. "Evan?" tanyaku akhirnya sambil menunjuk dia. Dia mengangguk. Lalu mendekat ke arahku dan duduk dikursi kosong di sampingku. "Ya ampun, gue kira editor penerbitnya bukan elu, eh ternyata mantan gebetan gue jaman SMA." katanya polos sambil tertawa. Akupun ikut tertawa. Gimana gak ketawa kalau dia mengingatkan kenangan kami saat SMA dulu. Jadi, bebs. Evan ini dulu teman SMA-ku. Satu angkatan cuma beda kelas. Aku kenal dia karena kita sama-sama masuk ekskul mading, malah kita pernah jadi pengurus mading selama dua tahun berturut-turut. Soal karya, gak usah ditanya. Dia orang yang paling produktif dalam soal berkarya, malah dulu aku suka dia karena jatuh cinta pada karya-karyanya yang selalu buat aku baper. Tapi sayang, jodoh gak berpihak, karena dia memilih mundur saat dia menyangka bahwa Randu adalah pacarku. Nasib percintaanku memang terkadang semenyedihkan itu lo bebs. "Kok gue juga gak ngeuh kalau itu elu sih? Waktu gue disuruh seleksi naskah yang masuk, akhirnya gue pilih naskah yang elu kirim dan gak nyangka kalau itu elu." kataku tertawa. Jadi gini bebs, kantor penerbitan tempat aku bekerja ini selalu rutin mengadakan seleksi penulis yang ingin mengirimkan naskah untuk diterbitkan, baik itu berupa buku ataupun ebook. Nah, setiap naskah yang terpilih, kalau penulisnya kebetulan berdomisili di Bandung kita akan bertemu secara langsung untuk membicarakan beberapa kesepakatan, tapi kalau penulisnya berdomisili di luar kota, biasanya kita akan berkomunikasi via email atau w******p. Nah, bulan ini yang terpilih itu Evan Adinata yang ternyata nama penanya Penulis Senja. Bandung emang sesempit itu loh, bebs. "Gila gak nyangka! Akhirnya ketemu elu lagi dan elu banyak berubah ternyata, tambah cantik." Oke selain jago bikin karya dia juga jago ngerayu dan ngegombal, sejak dulu gak berubah. Aku tertawa, "Udah berapa puluh cewek yang lu puji dan lu gombalin?" kini giliran Evan yang tertawa lalu bergeleng-geleng. "Elu gak berubah dari dulu, kalau ngomong nyeplos." Katanya masih dalam tawa. "Dan surprise nya, cuma elu yang sejak dulu gue gombalin, karena sampai sekarang gue masih jomblo." katanya memmbuat aku seketika membulatkan mata kemudian menatapnya heran. "Asli jomblo?" dia mengangguk. "Kasian amat!" kataku asal. Membuat dia kembali tertawa. "Sialan!" makinya membuat kami sama-sama tertawa. "Jadi mimpi jadi penulisnya udah terwujud nih ceritanya? Udah berapa buku yang terbit?" tanyaku mengingat bahwa dulu menjadi penulis adalah mimpi terbesarnya. Dia bergeleng sambil tersenyum, manis bebs senyumnya, "Kalau enggak dapet kesempatan dari penerbit elu kayaknya gue gak bakalan punya kesempatan buat nerbitin buku deh, masih berkutat aja kayaknya jadi penulis Wattpad." katanya enteng. Sementara aku hanya menatapnya tak percaya. "Selamat elu orang yang beruntung berarti, penerbit gue kan cuma nerbitin buku-buku best seller dan penulis keren," kataku jumawa membuat dia tertawa. "Lu lucu, itulah kenapa gue dulu suka sama elu." katanya polos. Cowok dan kebangsatannya! "Sekarang masih suka gak? Aku pun kini menjadi salahsatu dari vangsat itu. Bukannya menjawab dia malah tertawa, ngakak lagi, bebs. "Lu kerja dimana selain nulis?" tanyaku untuk mengalihkan omongan Evan yang lagi-lagi nyerempet ke masa lalu kami. "Gue ngajar sekarang, Run, nih!" katanya sambil membuka jaket yang dia pakai dan menampakan baju kaki ciri khas seragam PNS yang dia pakai. "WOW! Bapak PNS ternyata." dia terkekeh. "Lu udah nikah?" aku mengangguk mantap. "Yah kecewa gue, kirain bakal ada nostalgia cinta SMA." katanya dengan wajah yang dibuat-buat sedih. Aku bergeleng lalu tertawa. "Ngarep!" kataku lalu menyerahkan draft kontrak kerja dan mengangsurkan ke arahnya. Evan meraihnya lalu mulai membuka lembaran draft kontrak, "Nikah sama siapa? Gue kenal?" bukannya menjawab aku malah tertawa. "Sama Randu Mahardika, senior kita yang bikin elu keder dan milih gak jadi nembak gue." Dia melotot merespon kata-kataku lalu menyemburkan tawanya. "Udah nyangka banget, dia yang bakal jadi suami elu!" katanya. "Makanya gue gak pernah percaya soal persahabatan antara cowok dan cewek, karena 90 persen karena ada maunya," katanya terkekeh. "Udah ah! Kan kita mau meeting, bukan mau bahas rumah tangga gue." kataku memilih untuk mengakhiri perbincangan kami mengenai hal pribadi. Statusku dan Evan kini hanya sekedar editor dan penulis, jadi mari bersikap profesional. *** "Jadi tuh penulis gebetan lu waktu SMA?" tanya Cantika hiperbolis. "Dia yang ngegebet gue, bukan gue yang ngegebet dia." kataku enteng membuat dia berdecak. "Serah lu ah, Maemunah. Yang jelas tuh orang pernah naksir-naksiran sama elu gitu?" aku mengangguk. "Oke?" tanyanya. Bukannya menjawab aku malah tergelak. "Masa lu gak tahu selera gue?" aku balik bertanya dan aku yakin sekarang dia pasti sangat kesal. "Gue lupa selera elu. Mau se-oke apa pun selera lu, laki lu tetep Randu Mahardika, si Sahabat Surga." Selorohnya membuat aku tertawa. "Eits! Jangan lupa dulu ada yang terang-terangan godain lakik gue, padahal statusnya udah beranak pinak, malah muji-muji kalau laki gue ganteng lah, bodynya oke lah, lupa lu?" dia tertawa kencang yang langsung aku pukul lengannya karena semua rekan kerjaku sudah melotot. "Aruna, ke ruangan saya!" aku berdiri dari kubikelku dan Mas Pandi sudah berdiri di depan pintu ruangannya. Aku mengangguk lalu buru-buru menghampirinya. "Duduk!" katanya sambil menunjuk kursi di hadapannya. Aku mengangguk lalu mengikuti apa yang diperintahkannya. "Gimana meeting sama Evan Adinata?" tanyanya langsung begitu aku duduk dihadapannya. "Oke kok, Mas. Ga ada kendala. Ternyata dia temen saya waktu SMA, jadi saya gak terlalu susah komunikasi. Saya juga udah komunikasikan apa-apa aja yang harus ditambah dan harus dikurangin dari naskahnya, sesuai dengan aturan kebahasaan dan penerbitan." kataku menjelaskan. Mas Pandi mengangguk-anggukan kepalanya tanda menegerti. "Kamu sudah kasih deadline kapan naskah yang ada di dia harus selesai?" aku mengangguk. Selama beberapa menit dia terdiam, hanya menatap kaca jendela besar di ruangannya, aku pun melakukan hal yang sama karena memang tak ada yang ingin aku tanyakan dan aku sampaiknya. Sesekali kudengar helaan napasnya. Fix, dia banyak pikiran. "Mas, sory kalau saya lancang, Mas Pandi lagi banyak pikiran ya?" oke Aruna dan kekepoannya. Siap-siap jadi boomerang. Mas Pandi kan beberapa hari ini moodnya random banget, persis perawan yang PMS. Untuk kesekian kalinya aku mendengar dia menghela napas, sebelum akhirnya dia mengeluarkan suara. "Kamu kenal suami kamu berapa lama hingga akhirnya memutuskan untuk menikah?" Gusti nu agung! Jangan sampai apa yang dikatakan Diana kemarin benar. Itu loh bebs, soal Mas Pandi patah hati karena aku menikah. Masa iya sih? "Kok gak dijawab, Run? Gak suka ya saya nanya kayak gitu?" aku menggeleng dengan cepat. "Dua puluh tahunan lebih, Mas." kataku. Dia kembali menghela napas. "Dia yang kamu kenalin sebagai sahabat kamu itu?" aku mengangguk mantap. Sumpah ih, gak ngerti ke arah mana omongan atasanku ini. Bukan gak ngerti sih, takut aja kalau tebakanku bener, jadi pura-pura gak ngerti, gitu loh, bebs. "Kamu cinta sama dia?" kan, kan, ujungnya pasti pengen tahu perasaanku sama Randu. Hampir semua nih yang tahu kalau aku sama Randu sejak dulu hanya bersahabat nanya kayak ginian. Gak suka banget sih kalau akhirnya aku dan Randu memilih untuk menikah. Emang salah ya kalau sahabat jadi suami istri? Itu Ayudia bing slamet sama Ditto Percussion apa ngalamin hal-hal kayak gini juga gak sih? Masa aku harus tanya mereka? "Run." Aku mengerjap, "Eh iya, mas? Nanya apa tadi, Mas? Soal cinta ya?" kataku ragu. Perlahan dia mengangguk. "Saya gak ngerti definisi soal cinta, Mas. Soalnya, sebelum memutuskan untuk menikah, saya pernah pacaran dengan alasan kami saling mencintai, tapi malah gak jadi, bahkan seiring berjalannya waktu cinta malah luntur. Tapi yang jelas saya sayang sama suami saya " kataku jujur. Ini asli jujur loh, Bebs. Emang gitu kok. Jangan dikira kalau seorang Aruna Pradasari itu sengenes itu ya, biarpun aku baru menikah di usia 28 tahun dan gilanya memutuskan menikah dengan sahabatku sendiri, udah kayak gak ada pilihan lain. Gini-gini aku juga pernah beberapa kali pacaran. Malah dulu saat kuliah, bertahan sampai bertahun-tahun. Tapi perlahan hubungan yang menyatu atas dasar cinta itu perlahan hambar dan akhirnya memutuskan untuk selesai. Dan ujung-ujungnya aku memilih Randu sebagai suamiku. jadi aku beneran gak tahu apa definisi cinta. Kini dia menghela napas sekali lagi. Ini orang beneran banyak banget bebannya kayaknya. Berat lagi kayaknya. Belum ada setengah jam aku duduk di sini aja, aku sudah mendengar helaan napasnya beberapa kali. Terus mukanya kusut mulu. "Coba kalau saya dulu gak banyak mikir dan gak ngulur-ngulur waktu ya, pasti saya gak akan se-menyesal ini," aku menaikan satu alisku. Sumpah gak ngerti maksud dari omongannya. "Hah? Maksudnya apa ya, Mas? Saya gak ngerti sumpah," kataku akhirnya. Bodo amat mau dibilang lemot, emang kagak ngerti kok sama omongan dia. Buat kesekian kalinya dia menghela napas, lalu kini pandangannya ia alihkan padaku. hih, tatapannya nusuk-nusuk loh, bebs. Ngeri. Natapnya itu kayak dia kalau lagi ngomelin aku pas lagi bikin salah soal kerjaan. Dalem banget. Kayak siap nerkam. Ngeri ah! "Saya suka kamu, Aruna. Sejak kamu mulai bekerja di sini enam tahun lalu, saya udah suka sama kamu." WOW! Kaget! Sampai-sampai mulutku terbuka sempurna dan kututup dengan sebelah tanganku. Mataku jelas melebar. Gak nyangka kalau si bujang lapuk tapi ganteng ini bakalan ngomong segamblang ini. "Sejak kamu masuk tim saya, saya suka kamu. Saya kagum sama kamu. kamu cantik, lucu, pintar, gesit, kerjaan kamu rapih, meskipun kadang kamu jutek dan omongan kamu pedes tapi kamu selalu baik sama siapapun, termasuk saya. Laki-laki tua dan kaku." kekehnya. Ya ampun bebs! Ini omongannya sumpah bikin aku salah tingkah. Sopan gak yah kalau pamit keluar buat balik kerja? Ini awkward banget, sumpah! "Jujur saya minder, karena yang PDKT sama kamu rata-rata cowok muda dan keren, siapa yang gak ngakuin kalau Ardi keren? Saya aja sebagai laki-laki mengakui. Makanya saya selalu mengulur waktu." katanya lagi. Sumpah, sumpah, ini gak disangka-sangka banget. Kok malah jadi kasian sih sama si Mas. "Saya orangnya kaku Aruna, gak bisa merangkai kata, tiap kali mau memberanikan diri untuk ngomong pasti gagal karena grogi, sampai akhirnya saya nyesel sendiri waktu kamu kasih undangan sama saya." katanya tersenyum tipis dengan mata yang sendu. "Saat saya lihat undangan itu, artinya kesempatan saya untuk memiliki kamu hilang sudah," katanya terkekeh pelan. "Maaf saya kemarin gak berani datang ke pernikahan kamu." katanya pelan. Jadi ini toh alasannya kenapa dia gak datang kemarin. Karena dia suka aku dan merasa kecewa. Ya ampun! "Mas Pandi, saya___" "Gak apa-apa kok, namanya juga jodoh. Kalau saya gak bisa memiliki kamu berarti kamu bukan jodoh saya, saya coba ikhlas." katanya masih dengan senyum tipis. "Tapi ternyata susah ya mau ikhlas itu." kekehnya. "Maaf ya kalau akhir-akhir ini saya malah gak bisa kuasain emosi saya dan melampiaskannya sama kalian." Oke! Akhirnya ketahuan sekarang kenapa seminggu ini dia tegang banget mukanya sama uring-uringan terus. Efek patah hati ternyata. Dan parahnya dia patah hati karena aku. Luar biasa memang! "Kamu boleh balik ke meja kamu." aku mengangguk lalu berdiri lalu berjalan menuju pintu. Tapi langkahku terhenti saat dia memanggilku. Mau tidak mau aku berbalik lalu kembali menghampirinya saat dia mengangsurkan sebuah kantong kertas berlogo salahsatu toko mas yang cukup terkenal di Bandung. "Ini udah lama saya beli buat kamu." katanya mengangsurkan tas tersebut. "Saya gak tahu harus kasih ini ke siapa, jadi saya tetap kasih sama kamu sebagai hadiah pernikahan kamu dari saya. Sekali lagi selamat atas pernikahan kamu." aku mendekat melongokkan kepalaku ke dalamnya dan saat melihat isinya, aku merasa kaget. Kotak perhiasan, Bebs, dan yakin satu set karena kotaknya cukup besar. "Mas, ini terlalu berlebihan. Buat calon pacar mas Pandi aja nanti ya." kataku tak enak. Dia menggeleng. "Ini saya beli buat kamu. Jadi ini sudah hak kamu. Setelah ada ditangan kamu terserah kamu mau apakan, dijual juga boleh, lumayan kok harganya." kekehnya. Aku berpikir cukup lama, hingga akhirnya aku memilih untuk menerimanya, urusan mau diapakan ya urusan nanti. Yang penting sekarang aku terima dulu sebagai rasa hormatku pada atasanku. Iya atasanku, sejak dulu hingga sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN