"Gue kira udah balik lu, Run," tanya Diana saat kami berpapasan di depan lift lalu masuk bersama ke dalam lift.
"Atasan gue noh, yang gantengnya kebangetan, yang udah sebelas dua bales sama Hamis Dawud itu moodnya lagi oke banget, sampe-sampe anak-anak editor fiksi semua kagak ada yang bisa balik siang, ada aja yang bikin dia ngomel, masalah halaman kurang pas lah, lembar catatan di belakang kelebihan lah, sampai-sampai biodata penulis aja dia komentarin, heran gue, PMS kali ya," cerocosku. "Kita aja ini bisa balik karena dia udah balik setengah jam yang lalu, makanya kita kabur, bodo amat sama kerjaan, padahal gak ada yang kejar deadline," gerutuku lagi yang membuat Diana tertawa.
"Dia patah hati gara-gara elu kawin," aku memencet tombol untuk menahan pintu lift dan mempersilahkan Diana keluar terlebih dahulu, barulah aku yang keluar.
"Sialan ih omongannya," kataku membuat Diana lagi-lagi tertawa.
"Beneran ih! Dia curhat sama Mas Yudis noh, elu kagak tahu aja," aku menatap Diana horor, sumpah gak tahu kalau alasan dia baik padaku selama ini karena dia naksir aku. Pantas kadang kalau aku bertingkah dia jarang komen, paling Cuma geleng-geleng aja. Laki emang semua sama, baek kalau ada maunya. Eh Randu enggak kok, dia selalu baik.
Eh baru inget tuh lakik. Katanya dia mau pulang hari ini karena besok dia diminta memantau proyek di Bandung jadi mau tidak mau dia harus pulang lebih dulu. Sementara timnya tetap pada rencana semula, pulang pada hari Sabtu.
Selama dinas di Bali komunikasiku dan Randu lancar-lancar saja. Dia tidak terlihat aneh-aneh. Sama saja seperti saat aku dan dia bersahabat. Setiap ke luar kota dia akan menghubungiku layaknya minum obat, sehari tiga kali. Pertama saat bangun tidur, siang saat kami makan siang dan terakhir kami akan Vcall menjelang tidur. Sama seperti dulu kami akan bercerita mengenai keseharian kami dari pagi hingga malam.
"Lu pulang sendiri?" tanya Diana saat aku berjalan ke arah parkiran. Aku mengangguk.
"Randu masih di Bali, udah empat hari," kataku lalu memencet alarm pada kunci mobil lalu membuka pintu. "Gue duluan ya udah pengen leyeh-leyeh," pamitku sebelum masuk ke dalam mobil pada Diana yang sama-sama akan masuk ke dalam mobil.
"Iye, hati-hati!" katanya. Aku mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Karena lelah aku sudah tak kuasa ingin leyeh-leyeh di kamar karena itulah aku memacu mobilku lebih cepat, ya agar cepat sampai rumah.
***
"Run, bangun! kebluk banget!" aku mengerjap beberapa kali saat mendengar suara seseorang dan tepukan di punggungku. Tapi sumpah nih mata kok sepet sih, susah banget diajak melek.
"Elu mah emang kurang ajar ih, Dek!" gumamku sambil menggerak-gerakan kakiku kesal. Ini pasti si anak curut yang emang selalu sialan dan kampret dalam waktu bersamaan. Tengah malam bangunin kakaknya. Please gak usah gangggu deh.
"Run, bangun!" sekali lagi. Eh kurang ajarnya manggil nama lagi sama aku.
"Dek, gue bilangin mama ya, udah berani kagak sopan sama__" gerutuku sambil berbalik dan ternyata bukan Arya yang membangunkanku tapi ada laki-laki tinggi besar yang berdiri di samping ranjangku sambil melipat tangannya di d**a. Randu. Kaget dong, makanya langsung bangun, duduk bersandar sambil menggulung rambutku asal.
"Gue kira Arya," kataku dengan suara serak. "Jam berapa sih?" tanyaku sambil melirik jam di dinding, gila baru jam 3.00.
"Kebo dasar!" gerutunya sambil duduk di atas tempat tidur, membuka jaket dan sepatu yang dipakainya. "Di telepon suruh buka pintu susah bener, untung Arya aktif dan gak kebo kayak elu, kalau dia sama kebonya kayak elu, bisa-bisa gue tidur di luar," katanya. Selebay itu loh, Bebs dia. Padahal gak dibukain pintu sama aku, dia tinggal loncat aja ke sebelah kali, pasti emaknya mau buka pintu. Udah jadi the prince of drama emang.
Dia kemudian membuka kemeja lalu celananya hingga menyisakan kaos oblong berwarna putih dan boxernya. Lalu tidur tengkurap.
"Lah, terus ngapain bangunin gue kalau lu mau tidur?" kataku berdecak, dia terkekeh sampai punggungnya bergetar.
"Sengaja biar lu bangun," katanya enteng lalu terkekeh.
"Kuncoroooooo!" teriakku sambil menggeplak punggungnya membuat dia tertawa dan meringis secara bersamaan.
"Jahat lu! Peluk kek, cium kek, bilang kangen kek, suami balik malah dipukul," katanya sambil berbalik menjadi terlentang.
"Bodo amat!" kataku sambil berdiri.
"Kemana heh? Kangen-kangen dulu sini!" katanya dengan tangan yang menggapai-gapai, berusaha meraih tanganku.
"Pipis. Mau ikut?" kataku. Dan aku tahu itu adalah sebuah ajakan yang salah pada si buaya yang lapar.
"Boleh emang?" katanya dengan mata berbinar dan senyum lebar.
"Ngarep!" kataku sambil berjalan ke arah kamar mandi dan melaksankan hajatku di sana. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa lega melihat dia sudah berada di rumah dan pulang dengan selamat. Apa ini yang namanya perasaan seorang istri, akan tenang ketika melihat suami yang dicintainya selamat sampai rumah. Eh,apa tadi cinta? Masa iya?!
Saat keluar dari kamar mandi kulihat Randu sedang sibuk dengan ponselnya sambil berbaring. Karena masih ngantuk dan ini baru jam tiga pagi, aku memilih untuk bergelung kembali dalam selimut.
Begitu aku naik dan masuk ke dalam selimut, Randu menghentikan aktivitasnya, menyimpan ponselnya di nakas lalu berbaring miring dan menarikku lebih dekat. Duh, entah kenapa ya kok aku masih degdegan aja kalau diginiin Randu, padahal nikah udah seminggu, selama seminggu itu juga dia melakukan hal-hal yang lebih intim dibandingkan saat kami masih mengikrarkan diri sebagai sahabat. Tapi kok masih belum imun gitu lo.
"Sibuk banget ya sampai pulang malem?" katanya sambil mencium pelipisku. "Tadi Arya yang bilang katanya elu kayaknya kecapean jam sebilan baru balik," dia seakan menjelaskan kenapa dia sampai tahu kalau aku pulang malam.
Aku mengangguk, "Mas Pandi lagi PMS kayaknya. Seminggu ini uring-uringan terus, ada aja yang bikin dia ngomelin kita. Kita bisa kabur pulang jam sembilan aja karena liat dia pulang duluan," curhatku. "Padahal deadline kerjaan fiksi baru akhir bulan, kampret emang si bujang lapuk,"gerutuku membuat Randu terkekeh.
"Namanya juga kacung, selama kita masih butuh kerjaan ya harus mau dapet perlakuan kayak gitu," katanya enteng.
"Sialan!" kataku sambil memukul dadanya. "Mentang-mentang di kantor lu jadi atasan, sombong amat!" gerutuku. Randu meraih tanganku lalu menciumnya beberapa kali hingga akhirnya dia menggengam tanganku erat. Duh, kenapa coba manis gini bikin deg-degan aja.
"Biarpun gue atasan, tapi gue gak pernah semena-mena sama anak buah gue," aku mencebik tak percaya. Lagi-lagi dia terkekeh. "Kalau gak percaya tanya aja sama Frans," aku menggedikan bahuku acuh.
"Sekalian aja lu suruh gue tanya Tiara," kataku enteng membuat dia tergelak.
"Nah, itu lebih bagus. Biar elu sekalian tahu gimana manisnya gue dulu sama dia," katanya membuat aku berdecak.
"Vangsat emang lu!" kataku sambil memiringkan posisi tidurku. Ngapain sih bahas manis-manis sama Tiara. Mau pamer sama aku? kampret si Randu. Lah kenapa coba aku marah? cemburu? Hih, masa iya?!
"Cemburu?" katanya sambil menarikku kembali dalam pelukannya.
"Enak aja! siapa elu gue mesti cemburu," kataku ketus.
"Gue suami elu lah. Baru gue ke Bali 4 hari aja lu udah amnesia," katanya enteng malah cium-cium kepala aku lagi. Bikin merinding aja lu bambaaaang! "Lagian ya, bagus kalau lu cemburu tandanya lu udah cinta sama gue dan gue seneng," katanya sambil terkekeh.
"Sekarep elu lah Bambaaaaang! Gue ngantuk!" kataku ketus sambil memejamkan mata. Eh tunggu ah jangan dulu tidur ada hal penting yang mau aku bahas dengan Randu.
Aku berbalik, tidur miring hingga kini berhadapan dengan Randu, ternyata dia sudah memejamkan matanya. Wajah lelah sangat kentara sekali.
"Du, lu tidur," tanyanya dan dia hanya menjawab dengan deheman. "Jangan dulu tidur dong gue mau ngomong bentar," kataku sambil mengguncang tubuhnya pelan.
"Entar pagi aja, gue pengen tidur dulu, siang ini gue harus mantau proyek pembangunan RSUD di Bandung Selatan," katanya masih dengan mata yang terbuka.
"Hih kalau nanti gue keburu lupa," kataku. "Du, buka mata dulu bentaran ih!" kataku sambil membuka mata Randu yang terpejam. Eh, udah kebuka malah merem lagi, ya udah aku pencet aja hidungnya. Hingga matanya melotot dan mulutnya terbuka lebar. Emosi dia pasti.
"Geblek! Istri durhaka," teriaknya membuat aku kaget tapi tetap tertawa. "Lu kagak sopan ah, Run!" katanya sambil mengatur napasnya. "Kalau gue mati gimana? Enak di elu lah pasti langsung nyari suami baru, belum gue apa-apain lagi!" hih omongannya, vangsat!
"Kalau ngomong elu suka sialan deh, Du!" gerutuku, sementara Randu kini sudah tidur terlentang sambil melipat kedua tangannya di d**a. Dengan mata yang masih tetap terpejam. "Bangun dulu bentaran!" kataku mengguncang lagi tubuhnya.
"Iya gue bangun! cepet ah ngantuk!" katanya memaksakan untuk membuka mata. Kini aku memiringkan tubuhku, menopang kepalaku dengan sebelah tangan.
"Tapi janji jawab pertanyaan gue jujur," kulihat Randu memutar bola matanya kesal. Hih tapi kok ganteng sih si sahabat surga kalau lagi mode gitu. Baru sadar sekarang, padahal mode kayak gitu udah pernah aku lihat juga sejak jaman dia menyebalkan. Gini emang kalau kelamaan jomblo, suka telat sadar.
"Du, janji dulu ah!" kataku lagi saat dia tidak juga menjawab.
"Ya Allah Aruna Pradasari, lu seneng banget sih nyiksa suami sendiri, iye iye gue jawab jujur, cepet gue ngantuk!" kan kan kan, kalau gini bukan sahabat surga lagi tapi sahabat bangsatnya keluar.
"Iye ah jangan marah-marah juga kali. Heran kenapa sih semua lakik sama gue kok emosi mulu bawaaannya," kataku. Randu menoleh lalu melotot.
"Semua lakik? Maksudnya lakik siapa lagi tuh? Lu selingkuh selama gue ke Bali," dan kini akulah yang memutar bola mata. Reaksinya selebay itu loh, bebs. Tapi kok keliatan lucu sih kalau mode gitu. Ada manis-manisnya juga. Halah Aruna, udah sakit emang!
"Hih, selingkuh dari Hongkong, mana ada yang gitu!" kataku kesal. "Elu, si Arya, Mas Pandi, maksud gue ah! Udah gue mau tanya!" kataku kesal, tapi kulihat wajah tegang Randu sudah sedikit mengendur.
"Ya udah buruan ah, nanya apa?" katanya ketus.
"Soal seks," kataku pelan membuat Randu menoleh lalu mendengus.
"Ngantuk ah!" katanya malah menutup wajahnya dengan tangan.
"Ih, elu mah!" kataku sambil berusaha melepaskan lengan Randu dari wajahnya tapi susah. "Du, please!" akhirnya dia menyerah lalu melepaskan tangannya dan membuka mata. Itu sebuah tanda kalau dia mau mendengarkan pertanyaanku.
"Emang bener buat cowok seks itu penting?" tanyaku pelan dan terbata-bata. Sumpah malu banget, tapi penasaran dengan apa yang dikatakan Cantika beberapa hari lalu soal Pria dan Seks.
"Gak mau jawab ah gue!" katanya lalu berusaha kembali menutupi wajahnya dengan lengan tapi langsung aku tahan membuat dia berdecak.
"Ih, jawab dulu. Kalau Cantika bilang penting, terus menurut lu sebagai seorang cowok apa seks juga penting?" Randu mengangkat tubuhnya. Dia kini duduk sambil bersandar di headboard sambil melipat tangannya di d**a. Mukanya kenceng, bebs. Dia kesel berarti.
"Lu bahas soal kehidupan seks rumah tangga kita sama Cantika?" aku menggeleng. Bohong dikit gak papa kali ya, karena kalau tahu aku membahas aktivitas seks aku dan dia pada Cantika dia pasti marah. Dia bilang kan urusan rumah tangga dan apapun di dalamnya itu uruasan aku dan dia, gak ada orang lain yang harus ikut campur. Sekalipun orang tua kami. Haram hukumnya katanya, Bebs. Ada-ada aja emang si vangsat satu.
"Kalau gak cerita ngapain bahas kayak gituan?" katanya sambil menatapku tajam.
"Ya gue aja nanya sama dia, dia kan lebih paham soal kayak gituan dibanding gue," aku berkilah. Randu bergeleng seakan tak percaya. "Du, gue Cuma ngerasa bersalah aja sama elu," dia mengangkat sebelah alisnya, mungkin tak mengerti apa yang aku katakan.
"Ya soalnya malam sebelum elu ke Bali, kita kan ciuman lama banget tuh, sebagai perempuan gue tahu lah kalau lu udah on fire banget, tapi pas lu minta gue masih belum siap," kataku. Randu masih diam memerhatikan aku berbicara. Tatapannya itu loh, bebs. Bikin ngeri. Kayak ada yang nusuk-nusuk sampai d**a.
Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya, sebelum akhirnya aku melanjutkan apa yang ingin aku katakan. "Abis itu kan elu masuk kamar mandi, di sana lama banget, elu___" sumpah gak sanggup lanjutinnya. Selama kurang lebih dua puluh tahun sahabatan sama dia, aktivitas seks bersama pasangan masing-masing dulu gak pernah kita bahas. Sama sekali. Jadi malu aja harus bahas ini sama Randu sekarang, meskipun udah suami istri.
Malah aku gak tahu dengan siapa Randu pertama kali berciuman. Entah dengan Gea atau dengan Tiara, tapi aku tahu dia pernah. Aku pasti bukan yang pertama, aku yakin. Karena kalau belum pernah dia gak mungkin se-oke itu ketika berciuman denganku. Gak tahu apa karena mantan-mantanku semua payah ya dalam hal cium mencium makanya pas sama Randu aku ngerasa dia oke banget tuh. Ya Allah ngapain coba mikirin yang gitu! Fokus sama Randu Aruna, Please!
"Gue gak mau jawab ah!" Randu memerosotkan tubuhnya, malah kini dia tidur membelakangiku dan menutupi tubuhnya sampai d**a.
"Du, kok malah tidur sih," kataku mengguncang tubuh Randu. Dia malah tak bergeming, saat aku lihat dia memejamkan matanya. "Ya udah deh tidur aja!" kataku akhirnya menyerah dan tidur dengan posisi membelakangi dia.
Saat aku hendak memejamkan mataku, tiba-tiba Randu bergerak, membalikan tubuhku dan kini kami saling berhadapan. Dia kemudian memelukku erat, mencium puncak kepalaku beberapa kali.
"Kalau lu tanya apa seks buat gue penting? Gue jawab, dulu waktu belum nikah seks gak penting bagi gue karena gue gak punya pasangan halal. Jujur waktu pacaran sama mantan-mantan gue dulu, gue pernah ciuman tapi gak kepikiran buat lebih dari sekedar ciuman, tapi setelah gue nikah, jelas itu penting. Buat apa gue punya istri tapi urusan biologis aja gue harus ngandelin tangan gue," sumpah kaget dengernya. Makin gak ada artinya banget sih aku sebagai istri.
"Tapi gue gak mau ketika melakukan hubungan suami istri Cuma gue yang mau sementara elu terpaksa, hanya untuk memenuhi kewajiban elu sebagai istri, kesannya gue egois banget sih jadi suami, dan gue nikah buat ibadah, bukan hanya untuk memuaskan urusan biologis gue. Jadi sekali lagi gue bilang, gue sabar sampai elu mau nyerahin apa yang udah jadi hak gue dengan ikhlas," katanya. Kapan sih Randu gak manis gini, bikin meleleh. Pantes Tiara cinta mati. Tapi gue yang beruntung dapetin dia. Kelaut aja sonoh Tiara!
"Dulu sekalipun gue tegang karena nonton film bokep, gue masih bisa nahan lo, sekarang gak tahu kenapa malah gak bisa nahan banget, pasti deh setelah ciuman sama elu, gue harus ngeluarin pake tangan, kalau enggak kepala gue migran," katanya sambil terkekeh malu. Dan justru perkataan jujurnya itu malah membuat aku semakin merasa bersalah.
"Du, gue minta maaf ya," kataku mendongak. Randu mengangguk lalu kembali mencium puncak kepalaku lembut. "Ada beberapa alasan kenapa gue belum ngasih hak lu," Randu menatapku dalam seakan meminta penjelasan. "Pertama mungkin ini ketakutan gue sendiri sih soal malam pertama, gue takut karena katanya seks untuk pertama kali itu sakit banget, makanya gue belum siap," Randu tergelak yang seketika saja membuat aku kesal dan memukul lengannya yang masih memelukku.
"Kedua, kita menikah tanpa cinta, malah terkesan gue jebak elu dalam pernikahan ini dengan semua tuntutan nyokap gue. Gue takut, setelah elu ambil sesuatu yang berharga dalam diri gue, suatu hari nanti lu ketemu orang lain yang bikin elu cinta mati banget dan lu milih ninggalin gue. Cowok sekalipun dia duda gak akan jadi omongan orang, sementara cewek, status janda pasti bakalan sulit diterima di masayarakat," dan sesaat setelah aku berbicara mengutarakan isi hatiku, tawa Randu menggema, membuatku memberengutkan wajahku lalu mendorong tubuh Randu untuk menjauh.
"Tidur! Tidur!" kataku sambil memunggunginya. Kesel bener sama si bambang. Susah bener kalau diajak ngomong serius.
Randu menghentikan tawanya, lalu menarikku kembali mendekat. Dagunya kini menempel di puncak kepalaku.
"Kalau lu punya pikiran kayak gitu, itu salah besar dan ternyata biarpun lu udah kenal gue sejak kita kecil, lu gak berusaha kenal gue lebih dalam," katanya seakan berbisik. Suaranya yang ngebas bikin merinding, bebs.
"Lu pernah lihat gue selingkuh?" aku menggeleng. "Nah itu lu tahu, berarti gue setia," katanya. "Run, gue emang belum cinta sama lu, tapi dari dulu sampai sekarang, sengeselin apapun elu, gue tetep sayang sama lu. Gue gak akan mutusin nikahin elu kalau gue gak yakin bahwa elu adalah perempuan yang gue pilih buat menghabiskan sisa hidup gue. Lu juga harus tahu, bahwa siapapun cewek yang gue ajak pacaran dulu ternyata gak ada yang berhasil gue ajak nikah, Cuma elu yang gue ajak berumah tangga," katanya.
"Dulu mereka gak pernah terima ada lu di samping gue, mereka pasti marah saat gue ceritain elu, saat gue bandingin mereka sama elu, mereka selalu kesel saat gue muji elu depan mereka, puncaknya mereka selalu minta gue milih, milih mereka apa elu, dan jawabannya selalu gue pilih elu, karena buat gue elu lebih dari apapun," katanya sambil mengecup kembali puncak kepalaku dan mengeratkan pelukannya.
"Saat sama elu, gue gak tahu apa itu definisi cinta makanya gue bilang mungkin sekarang gue belum cinta sama elu, yang gue tahu gue sayang sama elu, gue gak mau kehilangan elu, gue pengen bahagia terus sama elu, bahkan waktu elu dituntut nyokap lu buat nikah dan mulai dijodohin, gue malah ketar ketir sendiri, ada rasa gak rela lu nikah sama orang lain, ada rasa gak rela aja bakalan ada orang lain yang lu kasih perhatian selain gue dan pastinya bakalan ada orang lain yang jadi prioritas elu dan gue gak mau itu terjadi. Gue mau tetap gue yang jadi prioritas elu. Gue tetep mau jadi orang pertama yang denger keluh kesah elu tentang apapun, makanya tiba-tiba aja gue istikharah," aku Cuma diem, bebs, denger semua penjelasan dia. "Setelah beberapa kali istikharah, gak tahu kenapa gue mimpiin elu, seminggu berturut-turut, gue mimpi kita duduk bareng dipelaminan sambil pake baju nikahan gitu, makanya gue yakin itu jawaban dari doa gue. Makanya, gue mantap buat ngelamar elu,"
Randu membalikan tubuhku, merangkum wajahku dengan kedua tangannya, "Lu harus yakin kalau gue gak akan melakukan seperti apa yang lu takutkan, gue terima elu apa adanya, bahkan saat lu panggil gue dengan panggilan aneh elu gue tetep ngerasa bahagia, karena itulah Aruna, perempuan tengil, gampang marah, kalau kesel merepet, si kepo yang gue kenal sejak umur gue enam tahun. Gue juga gak perlu jadi orang lain untuk bisa dapet perhatian dari lu," katanya lalu mengecup bibirku. Cuma kecupan ya bebs, bukan ciuman penuh napsu.
"Sekali lagi gue tegaskan, kalau lu tanya sama gue, seks itu penting enggak buat gue, jelas penting tapi buat gue yang paling penting itu elu nyerahinnya dengan ikhlas sama gue dan gak merasa ketakutan gue bakal ninggalin elu, karena gue libatin Allah saat milih elu," katanya.
"Jadi lu gak masalah kan kalau gue masih belum bisa ngasih hak lu?" tanyaku iseng.
"Kan gue bilang gue bakal sabar nunggu sampai elu ikhlas, tapi jangan lama-lama juga, bosen gue pakai tangan sendiri, gak puas, gue pengen ngerasain sensasi lain, ngegoyang elu misalnya," katanya sambil tertawa.
"Sialan!" kataku memukul lengannya dan tawa Randu terdengar semakin kencang.
"Udah ah tidur! Geli gue lama-lama ngomongin soal kayak ginian sama elu," katanya sambil terkekeh lalu memelukku erat sambil memejamkan matanya. Sementara aku masih menatapnya.
Kalau dia menganggap bahwa aku adalah perempuan yang dipilihkan Allah untuknya, mungkin aku juga begitu, Randu adalah jodoh yang dipilhkan Allah untukku. Dan aku beruntung akan hal itu, karena mungkin kalau yang jadi suamiku bukan Randu Mahardika, mungkin aku sudah dikutuk menjadi istri durhaka saat aku memilih untuk menunda malam pertama. Tapi dia memilih sabar menunggu.
Dia memang sahabat surganya Aruna Pradasari.
***