Prolog

223 Kata
Aku tengah duduk gelisah. Bersama dia yang sudah kuperhatikan sejak lama. Impian setiap malam kini menjadi kenyataan. Aku menjadi istrinya. Di dalam mobil yang akan mengantarkan kami pada rumah baru, aku hanya bisa terdiam sembari menatap jendela. Merasakan bagaimana debaran jantung tak ingin kembali normal. Dia duduk di sampingku. Berjarak dua jengkal. Sedang menilik kemacetan melalui jendela mobil. Terlihat santai. Bahkan saat ijab qabul sekalipun. Ah, memang begitu dirinya. Mobil mulai melambat. Memasuki area rumah bercat putih gading. Terdiri atas tiga lantai. Di lantai dua dan tiga terdapat balkon di depan pintu besar. Taman di depan rumah begitu asri. Diisi bunga berwarna-warni dan tanaman rapi berwarna hijau. Dia terlihat buru-buru memasuki rumah. Hingga tak sempat menungguku meski sejenak. Tak apa. Karena memilikinya adalah kebahagiaan terbesar. Sepertinya sudah ada banyak orang di sini. Mungkin kejutan lagi dari lelaki yang sudah menjadi suamiku itu? Ah, si muka datar ternyata romantis juga. Aku terkekeh pelan. Namun, tubuh ini terpaku di ambang pintu. Saat melihat dia tengah duduk bersama seorang wanita yang mengenakan batik putih cantik. Hampir sama sepertiku. Mereka duduk, di hadapan penghulu. Siap melakukan akad. Terkejut. Kaku. Tidak bisa bicara. Aku hanya terdiam di ambang pintu. Dengan d**a yang terasa nyeri. Kecewa. Lalu, semuanya selesai. Suamiku ... menikahi wanita lain, tiga jam setelah menikahiku. Dia menikahi kekasihnya. Ternyata benar. Dia tidak akan pernah mencintaiku. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN