Bab 1 : Pernikahan Balas Budi

942 Kata
Luka selalu ada obatnya. Tinggal kamu yang memilih; mencarinya atau membiarkan dirimu tetap terluka. - Salwa - Aku berdiri di sudut ruangan, mematung bak orang bodoh menyaksikan lelaki yang menjadi suamiku itu kini tengah berbincang hangat dengan penghulu, saksi, dan wanita yang menjadi istri barunya. Apa ini? Aku terdiam sambil mencerna semua kejadian di sini. Ada apa? Kenapa menjadi seperti ini? "Revan!" Akhirnya aku tidak tahan dengan kebungkaman ini. Aku memanggilnya hingga beberapa pasang mata tertuju padaku. Mereka tampak kebingungan. Revan hanya mengibaskan salah satu tangannya, lalu kembali terlibat perbincangan serius, menurutku. Karena wajah lempeng itu semakin datar. Sampai tiga puluh menit kemudian, beberapa orang akhirnya pulang. Menyisakan aku, Revan, wanita yang dinikahinya, juga anak kecil berusia tujuh tahun. "Apa ini?" Aku mendekat padanya. "Jangan sekarang, Salwa. Saya lelah!" Setelah mengucapkan kalimat itu, ia menenteng tangan anak kecil dan wanita tadi menaiki anakan tangga menuju lantai dua. Sementara aku luruh ... Semangat. Keyakinan. Harapan. Kekuatan. Baru kali ini aku merasa tidak dihargai, dan mengetahui itu, rasanya sesak. Apalagi yang tidak menghargai di sini adalah ... suami sendiri. Sakit. * Aku menyisir rambut yang masih basah di depan cermin. Tatapan kosong tertuju ke depan. Membayangkan apa saja yang dilakukan sepasang manusia di kamar sebelah. Lalu menilik ke arah jam. Jarum pendek sudah menunjuk pas di angka enam. Aku melangkah lesu ke arah tempat tidur. Duduk. Menikmati semua rasa sakit di dalam d**a. Orang yang dipercayakan ibu untuk menjagaku ternyata malah berkhianat dan memberikan luka tambahan bagiku. Malam pertama yang seharusnya aku lalui penuh cinta, malah hanya sendiri sambil meringkuk kesakitan. Di dalam d**a ini, terasa diremas kuat. "Salwa!" panggilnya malam tadi. "Iya?" Tepat saat aku menoleh, dia memeluk erat pinggang kekasihnya dengan mesra. "Kamar kamu di sana." Ia menunjuk sebuah pintu di sudut lorong. "Bisa saya meminta tolong?" Meneguk ludah yang mirip kerikil yang menyakitkan, aku mengangguk. "Jaga Vania, ya?" Aku tertawa dalam hati. Aku kebagian menjaga anaknya yang berusia tujuh tahun. Vania, anak mereka di luar nikah. Mereka tidak direstui hingga akhirnya nekat. "Oke," jawabku pelan. "Kamu sama Tante Salwa dulu, ya?" Adelia, wanita penyebab semua rasa sakit di dalam d**a ini menyahut. "Tapi, maunya sama Mama." Gadis kecil itu merengek. Iya! Terus, Vania! Ganggu malam pertama mamamu! "Gini deh!" ucap Adelia sembari berjongkok. "Kalau Vania bobo dulu satu malam sama Tante Salwa, besok kita liburan. Sama Papa. Mau?" Dengan bodohnya gadis kecil itu mengangguk antusias. Sial! Aku tersenyum kecut melihat buah hati mereka tengah tertidur pulas. Seakan tidak ada masalah apapun. Ya. Tidak mungkin ia mengerti yang aku rasakan sekarang ini. Aku ingin melampiaskan kekesalan pada anak ini. Namun, ia sama sekali tidak berdosa. Daripada memikirkan semua ini, mungkin menyibukkan diri adalah hal yang paling baik. Dapur pilihan yang tepat. Aku mengabaikan gadis manis itu di atas tempat tidur. Mencepol rambut asal, aku keluar kamar. "Vania di mana?" Bersamaan saat aku keluar, suamiku, Revan, berdiri di depan pintu. "Di dalam. Masih tidur." Tatapannya terhunus tajam untukku. Ciri khas yang membuat jantung ini mulai berdetak keras ... untuknya seorang. Tanpa mengucap apapun yang dikhususkan untukku, dia melangkah memasuki kamar. Mengabaikan segala rasa sakit. Di dalam d**a ini. * "Tante, aku maunya selai cokelat, bukan kacang!" pekik Vania. Aku membuang napas kesal. Kenapa jadi pembantu begini? Sementara orang tuanya? Di sana. Duduk manis di sofa cokelat sambil memamerkan kemesraan. "Okey," jawabku dengan nada yang dilembutkan. Sekilas, kulirik Revan. Jujur, aku ingin berbicara padanya. Lima menit saja. Hanya untuk mempertanyakan maksudnya atas semua ini. Apa dia ingin menyiksaku? "Ck! Tante lama! Aku mau sama Mama aja!" Vania berteriak keras. Ya Tuhan, berikan kesabaran melimpah untukku. Sepertinya, sekarang adalah kesempatan yang baik. Adelia sibuk membujuk anak keras kepalanya itu untuk makan. Sementara Revan duduk membaca koran. "Revan ...." Hanya geraman pelan sebagai jawaban atas panggilanku tadi. Aku tersenyum miris. "Aku boleh bicara?" Kasar, lelaki itu meletakkan surat kabar di atas pangkuannya. "Kalau mau bicara, silakan. Tidak perlu bertele-tele. Kamu pengganggu sekali, Salwa!" Nyeri sekali di dalam d**a. Hingga aku harus menggigit bibir agar tidak berteriak padanya. "Kamu kenapa ngelakuin ini?" "Melakukan apa?" "Menikahiku," ucapku pelan. "Lalu menikahi Adelia. Di hari yang sama. Tanpa membicarakan ini terlebih dahulu. Kenapa?" Mata elangnya seakan ingin mencabik-cabik seluruh kekuatan dan keberanian dalam diri. Aku menunduk untuk menghindari hal paling menakutkan itu. "Kamu belum tahu, Salwa?" tanya Revan dengan nada rendah. Aku meneguk ludah dengan gugup. "Saya menikahi kamu itu hanya untuk balas budi sama ibu kamu! Jadi, jangan berharap terlalu lebih!" "Apa aku tidak bisa memiliki tempat yang sama seperti Adelia, Revan?" "Tentu tidak! Kamu bukan pilihan saya! Saya hanya mencintai Adelia dan Vania, bukan kamu!" "Rev ...." "Saya tidak ingin berurusan dengan kamu, Salwa. Hanya beberapa bulan saja saya akan bertahan dengan kamu. Karena setelah ibu kamu meninggal, saya akan langsung menceraikan kamu!" Aku mundur. Kalimat itu bagaikan tamparan telak. "Revan ..." Suaraku bahkan bergetar saat menyebut namanya. "Sudah! Saya lelah!" Ia beranjak dari tempatnya duduk, lalu menghampiri keluarga kecilnya yang sedang sarapan. Kalau kamu tidak bisa memberiku tempat, Revan. Aku sendiri yang akan mengambil tempatku. * Aku tersenyum puas kala jari-jemari dengan lincahnya menari di atas keyboard laptop. Dengan iringan bayangan di otak yang terus berputar, aku tak lelah menorehkan imajinasi. Lalu terhenti. Saat semua bayangan tiba-tiba menghilang karena adegan keluarga kecil di rumah ini kembali memenuhi pelupuk. Sial! Aku kesal! Aku mengubah posisi menjadi telentang menghadap langit-langit kamar. Kubiarkan imajinasi membentuk sebuah adegan film di atas sana. Satu demi satu bayangan mulai muncul, yang menjadi penuntun tindakanku selanjutnya. Tentu tidak mungkin aku diam saja. Setiap hak harus diberikan pada orang yang bersangkutan. Dan di sini, aku sebagai istri pertama harus mendapatkan hakku. Jika Revan tidak bisa memberikannya, aku sendiri yang akan mengatur rencana untuk mendapatkannya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN