Bab 2 : Mati, Sudah!

1341 Kata
Istri pertama berhak menikung istri kedua, karena dalam pernikahan syarat dan ketentuannya hanya satu: yang mendapatkan cinta suami, dialah yang menang -Salwa- Aku memperbaiki posisi tas selempang di atas pundak saat kaki baru saja menapaki halaman rumah megah yang akan menjadi saksi perjalanan hidupku ke depannya. Udara dalam mulut tertahan keluar saat aku menggembungkan pipi, sebuah kebiasaan ketika berpikir keras. Apa aku bisa kuat berada di dalam sana, sementara setiap harinya akan selalu ada pemandangan yang membuat mual saja. Pada akhirnya, aku hanya bisa mengeluarkan napas secara kasar saat tidak menemukan cara untuk mengatasi masalah yang satu ini. Lemas juga malas, kaki ini dipaksa melangkah memasuki rumah berlantai dua itu. Di ruang tamu, aku melepaskan tas selempang. Lalu mengempaskan tubuh di atas sofa. Pandangan tertuju pada langit-langit ruangan. Libur satu minggu sepertinya tidak menyenangkan. Biasanya kalau lagi free seperti sekarang ini, aku akan menghabiskan waktu di kamar untuk melanjutkan revisi naskah. Namun, mood sekarang tidak mendukung. Kedua mata terpejam akibat lelah di seluruh tubuh, juga pikiran. Menikmati detik demi detik berlalu dalam keheningan .... Aku langsung membuka mata saat sebuah ide muncul dalam benak. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya, ya? Tas selempang aku ambil lagi, sebelum menuju kamar di lantai dua. Mungkin membuat outline lebih bagus daripada harus meratapi nasib seperti tadi. Laptop sudah ada di depan mata. Aku tersenyum sekilas. Sekarang waktunya untuk membuat outline merebut hati suami sendiri dari wanita seperti Adelia. Biar saja dianggap licik, toh juga Revan suamiku. Dan aku paling tidak suka berbagi hak milik. * "Wih, keluarga bahagia baru pulang liburan." Aku tersenyum setelah mengeluarkan kalimat penuh sindiran itu. Tidak ada tanggapan pasti, kecuali senyuman Adelia yang tampak mengejek. Ketiganya sudah duduk di atas kursi makan masing-masing. Aku ikut duduk, lalu menyiapkan pizza yang kubawa dari rumah tamu. "Pizza bisa menaikkan berat badan dengan cepat. Yakin mau makan itu?" Aku memasang wajah malas menghadap lelaki yang baru saja berbicara itu. "Bomat!" "Tomat? Saya bahas pizza, Salwa." Aku rasanya ingin tertawa. Astaga ... orang ini ternyata kurang update dengan perkembangan zaman. Ah ya, usianya kan memang tua, wajar saja. "Bodo amat! Aku gak peduli!" Aku menyantap makanan di depan dengan penuh nikmat. Awalnya, aku berpikir itu akan membuatnya marah, tapi nyatanya salah. Ia santai menyantap makanan di piringnya. "Salwa ...." Aku bergeming. Malas berbicara dengan Revan. "Malam ini, Vania tidur sama kamu." "Nggak! Males aku ngurus anak orang. Lagian mamanya kan ada." "Hitung-hitung kamu belajar jadi ibu, Salwa, supaya nanti tidak terlalu kaget setelah punya anak." "Punya anak? Gimana caranya kalau suami sendiri gak pernah nyentuh istrinya? Anaknya dari mana?" Aku tertawa garing, lalu meneguk ludah untuk menghilangkan gugup. "Mungkin dengan suami kamu nanti, kalau kita sudah cerai." Uhhuk! "Maksudnya?" Gelas di tangan berpindah tempat ke atas meja secara kasar. "Lupakan!" "Aku gak bisa lupa gitu aja! Maksud kamu apa? Kamu mau ceraiin aku gitu? Jadi niat kamu nikah sama aku apa?" Persetan dengan perut yang terus memberikan sinyal untuk segera diisi. Nyatanya, mendengarkan kalimat itu dari Revan berhasil menghancurkan semua mood, bahkan semangat makan. "Lupakan, Salwa." Kilatan tajam itu tampak jelas saat Revan mendongak. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena ada Adelia yang mengusap pundaknya, Revan langsung berubah jinak. Dasar! "Kasih tau aja, Mas. Biar dia paham." Dan seolah ingin menambah keyakinanku, Adelia mengatakan kalimat itu dengan gampang. Aku berdiri, mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. Saat mencoba mencerna ini, aku teringat sesuatu. Revan memiliki hubungan kerja dengan Mama, sebagai tonggak awal dia di bidang arsitek. Aku tersenyum miring. "Aku bakalan bilang semuanya sama Mama!" Selepas mengeluarkan kalimat itu dengan nada bergetar, kedua kaki aku paksa untuk berlari menuju lantai dua. "SALWA!" Haha! Aku menemukan kelemahan Tuan Es! Aku segera mengunci kamar, lalu menyandarkan punggung di daun pintu. Saatnya mengakhiri semua ini. Kamar yang kurang rapi ini semakin berantakan saat aku menarik selimut, bantal, dan lainnya dari tempat tidur demi mencari benda pintar berwujud ponsel. Di mana ...? Di mana ...? Aku menggembungkan pipi sembari menilik ke seluruh penjuru kamar. Oh ayolah, muncul! Di mana aku menaruhnya tadi? Ingat ... ingat ... ing--astaga! Di ruang tamu! Aku kan tadi memesan pizza di ruang tamu. Di dalam d**a mulai berdebar tidak karuan. Semoga saja Revan tidak menemukannya. Kalau tidak, akan sulit menghubungi mama. Dengan langkah pelan, aku menuruni anak tangga. Terasa sepi di lantai dua. Aku menghela napas. Mungkin mereka ada di ruang keluarga. Semangat, kedua kaki ini segera menuju tempat terakhir kali aku memainkan ponsel. "Mencari ini?" Oh sial! Kenapa dia bisa duduk dengan santai di sofa yang kutempati tadi sambil memamerkan benda yang kucari-cari? "Kembalikan ponselku!" Aku berjalan maju. Dia ikut berdiri, hingga kepalaku harus mendongak demi bisa melihatnya. Ah, salahkan badan ini yang hanya 157 cm, sementara dia 183. Aura mengintimidasi dari Revan tidak menurunkan sedikit pun egoku. "Untuk sementara, benda ini saya sita! Sampai kamu jadi gadis baik, dan tidak bertingkah aneh-aneh!" "Aneh apanya sih, Van?" Aku menghentakkan kedua tangan, lalu menunduk untuk mengurangi pegal di leher. Dasar jerapah! Belum puas, kembali aku menengadahkan wajah. "Aku juga perlu bahagia, Van! Dan kamu seenaknya bawa aku ke kehidupan aneh kamu ini!" "Kamu bisa tidak, Salwa, tidak usah melawan? Saya berjanji, saya dan Adelia tidak akan mengganggu kamu jika kamu jadi gadis baik, setidaknya sampai saya putus kontrak dengan Nyonya Arviansyah. Lalu, saya akan menceraikan kamu. Dan kamu akan bebas." "Ck! Kamu sama Adelia emang nggak ganggu. Tapi liat kalian berdua mesra-mesraan mulu bikin belekan tau, gak!" Sial! Sepertinya aku harus menggunakan high heel tiga puluh senti jika ingin berhadapan dengan Revan. Leherku ... pegal. "Bilang saja cemburu, Salwa." "What the ... cemburu? Emang cowok kayak kamu pantes buat dicemburuin? Mendingan cemburu sama ikan daripada kamu." "Terserah. Ponsel ini tetap saya sita! Setiap hari, saya yang akan antar jemput kamu untuk mencegah kamu berbicara dengan Nyonya Arviansyah." "Revan ...." Aku mendesah lelah. Namun, ia tidak peduli. Mantap kakinya melangkah menjauh menuju ruang keluarga. Amarah dalam diriku semakin meningkat. Sebagai pelampiasan agar aku tidak mendaratkan tangan di wajah datar itu, kedua jemari mengepal kuat. "Revan!" Aku memanggil sambil mengikutinya dari belakang. Saat ia bersiap untuk berbalik, aku mengumpulkan tenaga agar berpusat pada lutut, dan ... Bugh! Mampus sudah masa depan. Aku tidak tau seberapa kuat, tapi sepertinya serangan di selangkangannya cukup kuat sampai ia terlihat begitu kesakitan. "Kalau kamu sendiri gak bisa adil sama dua istri, mending gak usah deh bikin bahagia istri yang satu, tapi istri yang lainnya menderita. Gak guna tau, gak?!" * Sekarang, bagaimana cara menghubungi Mama dan memberitahukan otak busuk Revan? Mama termasuk orang selektif. Tidak sembarang orang yang bisa menghubunginya. Beliau hanya memiliki satu nomor pribadi, yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Sementara nomor telepon perusahaan, e-mail, dan lainnya dipegang oleh sekretaris Mama. Tidak mungkin kan aku memberitahu urusan pribadi ini lewat e-mail. Aku mengubah posisi menjadi telentang menghadap langit-langit kamar untuk memikirkan rencana. "Salwa ...." Tubuhku langsung merinding mendengar suara baritone itu. Ludah bahkan sulit mengalir di tenggorokan untuk mengurangi gugup. Tarik napas ... buang. Wajah dibuat santai, padahal sebenarnya aku takut. Revan tidak mungkin memberikan hukuman sepele atas perbuatanku tadi. "Kenapa? Mau bujuk aku buat gak hubungin Mama? Hah! Telat! Aku udah bilang semuanya ke Mama!" Aku tertawa sumbang. Namun, Revan tampak tidak peduli dan malah mengunci pintu kamar dari dalam. "Eh, ngapain pintunya dikunci?" Aku memundurkan tubuh sampai berada di pinggir tempat tidur. Melihat seringai tipis Revan, sudah berhasil membangkitkan ketakutan besar dalam diriku. Takut jatuh cinta. Ah, entah bagaimana perasaan Tuhan saat menciptakannya. "Jangan mendekat! Ini kamar aku. Kamu gak bisa seenaknya di sini." Aku tidak bisa berbohong, suara yang keluar terdengar bergetar. "Kalau kamu berani macam-macam, aku bakalan kasih yang lebih dari yang di ruang tamu tadi!" Saat takut seperti ini, aku hanya bisa memeluk bantal guling sebagai senjata terakhir. Tuhan ... bantu aku. Revan merangkak naik. Di sisi lain ranjang, dia mulai melepaskan satu persatu kancing kemejanya. Aku semakin bergetar, juga takut. Audzubillahi minal iblis seperti Revan dan segala pesonanya. "Kenapa takut, Salwa? Saya hanya ingin adil pada kedua istri saya. Berhubung kemarin Adelia sudah, sekarang giliran kamu." s**t! Kenapa senyumnya sangat menggoda iman? "Sekarang rasakan objek pukulan lututmu tadi!" Dan ... mati sudah! *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN