Bab 6: Firasat

2138 Kata
  CHAPTER 6Sebenarnya bukan tanpa alasan Abigail merasa ketakutan saat mendengar kalimat terakhir John barusan. Bagaimana tidak? Pria itu mengucapkan kata - kata soal bantuannya yang sama sekali tidak gratis, sementara gadis itu dengan mata kepalanya sendiri baru saja melihat hal -hal yang tidak sepantasnya. Garasi mobil John tampaknya terhubung dengan kamar salah satu penghuni rumah --- yang entah siapa, mungkin adik atau kakaknya --- dan mereka menampilkan adegan percintaan panas melalui celah jendela yang terbuka. Sialnya, Abigail sudah melihat adegan itu tanpa sengaja sejak mobil John terparkir di sini.   Dua sejoli yang dimabuk nafsu dan cinta itu sudah mulai sejak tadi sepertinya, karena saat John dan Abigail sampai, pintu kamar sudah tertutup. Perempuan cantik yang ada di dalam itu pasti juga sudah memutar kunci kamarnya untuk memerangkap mangsanya yang saat ini duduk di atas ranjang dengan gugup. Kaki telanjangnya menapaki lantai menuju ke arah sang  kekasih.      "Kau benar - benar tidak mau melihatku?" Gadis itu kesal karena prianya terus saja menunduk.      Detik berikutnya wanita mungil itu melepaskan kaosnya dan menurunkan roknya sekaligus. Rok putih itu meluncur bebas melewati kulit porselennya. Menyisakan celana dalam dan bra perpaduan warna kuning dan biru yang menutupi kedua area sensitif gadis itu. Dia berdiri di hadapan Kekasihnya yang malah membuang muka, tak berani melihat ke tubuh sexy sang gadis. Tangan mungil itu lantas meraih dagu si pria yang malu - malu, dan menariknya hingga wajah laki-laki itu mengarah ke arah wajahnya.    "Apa tubuhku cacat, hingga kau tidak mau melihatnya?" Ia bertanya dengan bibir yang cemberut.    "Bu-bukan seperti itu Nana. A-aku terlalu gugup. A-aku takut mimisan lagi karena terlalu panas."    Ah, rupanya nama gadis itu Nana -- Abigail membatin dalam hati. Dia melirik John, tapi sudut matanya tak bisa lepas dari pemandangan panas itu.    "Kalau begitu tutup saja matamu, biarkan aku melakukannya."     Sang pacar tampaknya tak mau mengecewakan gadis yang dipanggil Nana itu, dia pun menutup matanya. Nana tersenyum lalu menundukkan kepalanya. Dia mengecup bibir kekasihnya dengan rakus. Melumat bibir bawah dan atas kekasihnya --- memaksa laki-laki itu untuk membuka mulutnya.    Mengerti keinginan Nana. Lelaki itu pun membuka mulutnya, dan membuat Nana dengan leluasa bermain dalam mulutnya. Tangan Nana mengelus bahu lelaki itu. Satu persatu membuka kancing kemejanya dan mengelus kulit eksotis dibalik kemeja itu. Terdengar desahan tertahan kekasihnya dan Nana sungguh merasa senang. Dia lantas melepaskan kemeja itu dari tubuh kekasihnya.   Tangan Nana turun menyentuh sesuatu menonjol dibalik celana prianya. Seketika sang kekasih melepaskan ciuman dan melenguh. Nana benar-benar menyukai melihat pemandangan kekasihnya yang sedang terangsang. Wajahnya yang merona dan nafasnya yang memburu merupakan candu baru bagi Nana yang terus menginginkannya. Dia mendorong tubuh pria itu hingga terbaring di atas ranjang. Tak lupa Nana juga melepaskan sepatu dan celana lelaki itu hingga menyisakan boxer dengan tonjolan yang menggoda. Jemari gadis itu menyentuh tonjolan itu membuat kekasihnya melengkungkan tubuh ke belakang.   Dalam satu gerakan Nana menurunkan celana pacarnya dan bukti gairah pria itu pun terbebas dari perangkapnya. Jemari Nana perlahan mengelus benda tegang itu membuat lenguhan lelaki itu semakin keras. Dia menunduk dan mengecupnya, membuat sang kekasih meremas lembut rambut Nana. Mulut mungil wanita itu terbuka untuk mencumbunya. Kepala gadis itu naik turun membuat mata pejantan itu semakin menggelap. Mulut Nana yang hangat dan gerakan naik turun membuatnya ingin meledak.   "Jin-ku sayang, bersiaplah pada permainan intinya." Nana melepaskan branya dan menurunkan celana dalamnya.    Benda kenyal kembar itu bergantung di d**a perempuan itu. Melihatnya membuat tubuh pria yang bernama Jin itu kembali terasa panas. Hanya melihat tubuh sexy kekasihnya saja sudah membuat Jin ingin meledak. Nana mengambil sesuatu di nakas mejanya. Dia membuka bungkusnya dan memasangkan benda berbahan karet itu pada milik Jin.   "Kita mulai." Nana menggigit bibir bawahnya, dan sepertinya terlihat begitu menggoda di mata Jin.   Nana mulai merasakan gairah Jin yang mendesak dalam dirinya.   "Ahhkk!!" Jerit Nana saat dia langsung menurunkan bokongnya.    Wajah kesakitan Nana begitu jelas saat tubuh mereka bersatu. Abigail mengerjap kaget, kemudian melirik John yang masih memangku tubuhnya. Sial, pria itu menyadari gerakan kecil gadis itu. Dari situ Abigail tahu bahwa John benar - benar cerdas.   “Ada apa?” Pria tersenyum miring sambil menatap intens Abigail. “Kau tampak terkejut, apa yang baru saja kau lihat?”   Abigail langsung berpura - pura bodoh. “A-aku takut gelap.” jawabnya cepat, “ngomong - ngomong, soal bayaran itu apa bisa lain kali saja?”   John tampak menaikkan sebelah alisnya. Sementara itu sudut mata gadis itu kembali pada celah jendela yang menampilkan pergumulan panas itu. Kondisinya adalah Jin sedang menurunkan kepalanya hingga bersembunyi di ceruk leher Nana. Dia menyedot kulit eksotis sang kekasih hingga meninggalkan kissmark di sana. Bibirnya turun mencium d**a Nana yang kenyal.    Gadis itu melengkungkan dadanya, merasakan perlahan dia menaiki tangga puncak kenikmatan. Perlahan Jin menggerakkan pinggulnya dan Nana terlihat melupakan rasa sakit yang tadi menghantamnya. Sepertinya Jin memberikan kenikmatan berlipat-lipat pada Nana. Gerakan pria itu bahkan semakin cepat, membawa Nana semakin tinggi mendaki puncak kenikmatan. Jemari Nana memasuki hutan rambut gelap milik Jin.  “Sebaiknya kita pergi dari sini.” John memecahkan lamunan Abigail yang tengah asyik menyaksikan adegan panas tanpa izin itu. Sesungguhnya ia tahu. Termasuk ketakutan wanita itu terhadap kondisi dirinya yang akan dipaksa melakukan hubungan s*x sebagai bentuk ‘terima kasih’ yang diminta lelaki itu sebelumnya. “Kau terlalu berlebihan memikirkan sesuatu.” lanjutnya.   Abigail lantas menatap sorot mata kelam milik John. Sebelum akhirnya lelaki itu membawa sang gadis keluar dari mobil, yang sialnya dalam posisi masih di gendongan pria itu. Dengan sengaja John tidak menurunkan Abigail, akan tetapi langsung membawanya memutari mobil dan mendudukkan wanita itu di kursi penumpang. Setelahnya mereka benar-benar pergi dari sana.   Abigail pun benar - benar bisa bernafas lega sekarang. Terutama saat melihat John dengan lahap menyantap bento di hadapannya. Padahal tadi ia sempat berpikir John akan membawa dirinya ke kamar dan memaksanya untuk b******a. Namun, ternyata dugaannya salah. Bayaran yang harus dibayar atas pertolongan John Raymond adalah bento. Itulah sebabnya mereka mampir di sebuah restoran Jepang yang tidak terlalu jauh dari rumah John.  "Kau rakus sekali, memangnya kapan terakhir kali makan?" Abigail sibuk menggeleng pelan saat melihat John sudah menyantap mangkuk kedua.    Laki-laki itu berhenti makan dan mengingat kapan terakhir dia makan. "Mungkin tadi pagi."    "Tadi pagi? Memangnya kau tidak makan siang? Kenapa?" Gadis itu menyesap minumannya.  "Tidak ada yang membuatkannya untukku." Jawab John santai.    Gadis itu mengangguk paham, dengan sengaja mengeluarkan pertanyaan pancingan. "Apa kau tinggal sendirian?"    "Aku punya seorang adik, namanya Nana.” John masih melahap bentonya. “Tapi dia mengelola sebuah restoran bersama kekasihnya di siang hari.” lanjutnya. Lelaki itu memicing, namun cepat - cepat ia samarkan dengan senyum tipis sebelum menyantap lagi makanannya. “Bagaimana denganmu? Kau tinggal dimana?"    Tampak berpikir sebentar, akhirnya Abigail menjawab, "Aku tidak punya tempat tinggal.” ia menjeda sepersekian detik, merancang skenario di kepalanya. “Sebenarnya ada, tapi … aku kabur dari rumah."   "Apa kau bertengkar dengan orang tuamu?" John masih mengunyah makanannya, tapi dia tahu kalau gadis di depannya ini sedang berbohong.    Abigail mengangguk. "Mereka selalu mengaturku. Membuatku kesal. Aku membutuhkan ruang untuk bernapas sejenak."    "Kalau begitu kau bisa tinggal di rumahku." John menawarkan sesuatu yang tidak mungkin bisa ditolak gadis ini. Dia penasaran, apa yang sebenarnya diinginkan oleh perempuan ringkih nan polos macam dia.   "Di-di rumahmu?" Kaget Abigail. Sumpah, ia benar-benar tidak menyangka kalau John akan langsung mengajaknya untuk tinggal bersama. Ini terlalu cepat, dan alarm kewaspadaannya otomatis menyala. “Bukankah aku bilang punya adik perempuan bernama Nana?” John tersenyum tipis, beberapa kali pria itu menangkap gerakan tangan yang menggosok hidung dari wanita itu. Menurut psikologi, berbicara dengan gelisah sambil menyentuh anggota tubuh yang sama berkali-kali, terutama hidung, bisa jadi pertanda bahwa seseorang sedang berbohong. "Jadi kau tenang saja, ada Nana juga di sana. Tidak mungkin kita hanya tinggal berdua saja.”   Abigail kembali menghela nafas lega, satu kekhawatirannya baru saja lenyap. Namun, itu justru menimbulkan kekhawatiran yang baru. John sangat peka bahkan hanya dari gerakan kecil saja. Ini cukup berbahaya dan perlu diwaspadai, karena lelaki itu bisa melakukan apa saja. Dia jenius, dan butuh usaha ekstra untuk mengelabui pria itu.    “Jadi ini adalah pertama kalinya kau ---”    Pertanyaan John terputus begitu deringan ponselnya terdengar. Tentu saja laki-laki itu langsung meraihnya, kemudian berdiri dan berjalan menjauh dari Abigail. Namun, bukan anggota polisi namanya kalau tidak punya kemampuan pendengaran yang terlatih. Samar - samar dari suara dan gerakan bibir John, gadis itu mencoba mencuri dengar.    "Aku sudah mendapatkannya Jay, tepat seperti katamu." John terlihat serius berbicara dengan lawannya. “Iya, baiklah. Mari bertemu di tempat biasa.”   Abigail baru saja menggeser bangkunya agar dapat mendengar percakapan lebih jelas, akan tetapi John tahu-tahu memutar tubuhnya. Lelaki itu sadar bahwa gadis ini juga sedang berusaha mencuri dengar pembicaraannya barusan. Dengan cepat John mematikan teleponnya, tepat setelah sebuah perintah dan perjanjian disetujui dari seseorang di seberang sambungan telepon itu.     Setelah selesai, laki-laki itu kembali ke hadapan Abigail dan tersenyum pada gadis itu. "Aku harus pergi. Aku akan meminta Nana menjemputmu."    "Tunggu, RM." Abigail memanggil John, lalu menahan laki-laki itu pergi.    "Mengapa kau selalu menolongku?" Tanya Abigail penasaran. Dia hanya bertemu dengan John sekali, dan mereka sama sekali belum melakukan apa - apa selain berkenalan malam ini. Tapi, dengan mudahnya laki-laki itu malah menerima dia di rumahnya. Ini benar - benar aneh, dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Firasatnya mengatakan bahwa ada yang tidak beres.  “Karena aku tertarik padamu.” John tersenyum miring, kemudian ia menatap mata jernih Abigail yang penasaran. “Bahkan sejak kau datang dan masuk dalam kerumunan, tatapanku tak bisa lepas darimu. Sampai jumpa nanti." John berjalan pergi meninggalkan gadis itu dengan rahangnya yang terjun bebas.     Sebenarnya apa yang diucapkan John tidak sepenuhnya salah. Ia memang terlibat sampai sejauh ini dengan gadis itu karena tertarik begitu melihatnya masuk ke kerumunan. Bahkan semakin menarik lagi saat melihat respon - respon polos tapi penuh kewaspadaan dari gadis ini. Ia belum tahu apa yang akan dilakukannya nanti, atau besok pada Abigail. Satu hal yang jelas adalah … gadis ini punya tujuan dan maksud tertentu. John lantas menghubungi Nana dan meminta sang adik menjemput gadis buruannya.    Sementara itu Abigail yang tertinggal di restoran Jepang cepat saji justru tengah kebingungan. Bagaimana bisa semudah itu RM mengatakan hal seperti itu? Ini benar - benar aneh. Kami tidak saling mengenal dan dia dengan mudahnya menerimaku tanpa banyak bertanya macam - macam. Apa untuk orang seperti dia, aku ini sama sekali tidak membahayakan? Atau … memang ada sesuatu yang tidak aku sadari sebelumnya?   Gadis itu meraih ponselnya dan menghubungi sang kakak. Abigail harus menunggu sedikit lama hingga akhirnya mendengar suara kakaknya.    “Kak, di mana posisimu sekarang?"    "Di kantor polisi. Aku terjaring razia." Nada kesal terdengar dari suara August.    Seketika tawa Abigail pecah mendengar jawaban kakaknya. Gadis itu bisa membayangkan wajah August yang sedingin es itu sedang sangat kesal saat ini.    "Eiy, berhenti tertawa, Abby!"    "Iya, iya, maaf. Sudah menghubungi Steven, ‘kan?" Gadis itu mencoba berhenti tertawa.    "Sudah. Dia akan segera kemari. Bagaimana denganmu? Apa kau berhasil mendekati RM?"    "Lebih dari pada berhasil, dia bahkan mengizinkan aku untuk tinggal di rumahnya."    "APA!!!"   Refleks, Abigail menjauhkan ponselnya karena teriakan berlebihan sang kakak. "Tenang, Kak. RM tidak tinggal sendirian, dia punya seorang adik perempuan bernama Nana."     "Kenapa RM semudah itu membiarkanmu tinggal dalam rumahnya? Apa dia sebodoh itu, atau punya rencana lain? Katamu dia cerdas, ‘kan?"    "Dia bilang kalau dia tertarik padaku. Bukankah sudah aku bilang sebelumnya, perempuan adalah kelemahan para lelaki." Abigail tersenyum penuh kemenangan.     "Oke, mari lupakan itu. Anggap saja dia memang benar tertarik padamu, tapi kalau memang seperti itu kenyataannya daripada membawamu tinggal dirumahnya, kenapa dia tidak membawamu ke hotel saja? Paham maksudku, ‘kan?"    Abigail mendadak kesal, “Jadi kau mau kau tidur dengannya, begitu?”   “Bukan, perasaanku tidak enak.”   “Kakak tenang saja, aku yakin bisa menjaga diri dengan baik. Lagipula aku sudah memasang alat pelacak di anting-antingku, jadi Kakak bisa melacak posisiku kapan saja.” Gadis itu menjeda sejenak.  “Oh ya, Kak, baru saja aku mendengar RM berbicara dengan seseorang --- tapi aku tidak tahu siapa. Dia hanya mengatakan mereka akan bertemu di tempat biasa. Itu saja."     "Aku akan menyelidikinya nanti. Kau harus terus waspada dan berhati-hati lah. Jangan menelponku jika masih ada orang-orangnya RM."    "Astaga, memangnya aku sebodoh itu apa?" Abigail menarik napas panjang. “Sudah ya, Kak, adiknya RM akan segera datang untuk menjemputku.”         Sebenarnya gadis itu tahu betul, bahwa bukan hanya kakaknya yang merasakan firasat buruk. Jauh di dalam hatinya, ia juga merasakan perasaan yang sama. Namun, ini sudah hampir setengah jalan, tidak ada cara untuk kembali … dan demi kelancaran misi Abigail memang harus melakukannya. Satu-satunya pilihan yang bisa dia ambil adalah … agar tak ambil pusing dan lebih memilih memikirkan rencana selanjutnya sambil menunggu Nana datang.      * * * * *       Bersambung di 2110 kata, yuhuu~ by the way, ini benaran lho panjang banget chapternya hahaha. Semoga kalian syuka yah. Betewe ada yang mengikuti jejak August curiga sama Joonie kah? Atau selaw santai kayak abigail?    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN